Tata Kelola Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi
Disusun oleh :
NAMA : IRDATAMA SANTIA ANINDITA
INSTITUSI
: UPBJJ-UT SEMARANG
EMAIL : ird4.ganteng@gmail.com
Sub tema
:
a) Penataan Penguatan Organisasi,
Penguatan fungsi pengawasan dan Peran Lembaga Perwakilan;
b) Penataan Peraturan
Perundang-Undangan dan Kemandirian Lembaga Peradilan;
c) Penataan Sistem Manajemen SDM
Aparatur, Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas dalam
pelayanan publik; dan Masyarakat Madani yang Kuat dan Partisipatif.
ABSTRAK
Tata Kelola Pemerintahan dan
Reformasi Birokrasi di Indonesia telah dicanangkan sejak Era Reformasi, tetapi
mengalami kelambatan, sehingga dicanangkan kembali pada tahun 2004 sebagai
reformasi gelombang II. Namun Grand Desain Reformasi Birokrasi (GDRB) baru
dibuat
pada tahun 2010 dan diharapkan berhasil sampai tahun 2025. Sedangkan road
map-nya telah dibuat untuk setiap lima tahun sekali. Untuk periode pertama,
dicanangkan tahun 2010-2014 (pemerintahan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono).
Seperti yang kita ketahui tahun 2014
hampir habis, pemerintahan SBY pun akan segera turun namun perubahan perilaku
birokrasi (reformasi birokrasi) belum menunjukan perubah ke arah yang lebih
baik. Yang ada hanyalah semakin banyak ditemukan para pejabat yang tersandung
kasus korupsi, dan pelayanan kepada masyarakat, baik di pusat maupun daerah
masih belum menunjukkan kinerja yang optimal, meskipun pemekaran wilayah
(desentralisasi) telah direalisasikan.Dan semakin banyak aturan-aturan yang
bertumpang tindih yang mengakibatkan berbelit-belitnya birokrasi di Negara kita
ini. Salah satu contohnya adalah yang terjadi di kementrian agama ; untuk
mengurus surat nikah saja sangat susah dan berbelit-belit, dan juga masalah di
pemberangkatan haji atau umroh juga sangat rawan sekali dengan tindakan pidana
korupsi yang dilakukan oleh oknum kementrian.
Program-program pencapain reformasi
birokrasi telah disediakan, aturan-aturan dan standar kinerja pun telah
ditetapkan, namun masih banyak ditemukan pemerintahan di daerah maupun
pusat yang belum mampu mewujudkannya
dengan baik.
Oleh
karena itu lewat tulisan ini saya ingin mengungkapkan mengapa reformasi
birokrasi diperlukan, faktor-faktor apa yang menjadi penghambat reformasi
birokrasi dan beberapa hal yang berkaitan dengan :
d) Penataan Penguatan Organisasi,
Penguatan fungsi pengawasan dan Peran Lembaga Perwakilan;
e) Penataan Peraturan
Perundang-Undangan dan Kemandirian Lembaga Peradilan;
f) Penataan Sistem Manajemen SDM
Aparatur, Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas dalam
pelayanan publik; dan
g) Masyarakat Madani yang Kuat dan
Partisipatif.
ABSTRAK
GovernanceReformsinIndonesiahas beenproposed
sincethe Reform Era,
butis experiencing a delay, so
itlaunchedbackin 2004asthe secondwaveof reform. ButGrandDesignReformsbureaucracy (GDRB) new was madein 2010andare expected
toworkuntil2025, while hisroad-maphas been createdforevery
five years. For thefirstperiod, was
declaredthe year2010-2014(Mr. SusiloBambangYudhoyono'sadministration).
As weall know2014is almostgone, the SBY administrationwill soongo downbutchangesthe behaviorof the bureaucracy(bureaucratic reform) have not indicatedmodifiersto abetter direction. There is onlymore and morediscoveredthatofficialsstumbledcorruptioncases, andservice to the community, both at centraland local levelsstill do notshowoptimal performance, althoughregional divisions(decentralization) has been realized. And the morethe rulesresultingoverlap-belitnya convolutedbureaucracyinourcountry. One exampleis what happened inthe ministryof religion; totake care ofa marriage certificatealoneis verydifficultandcomplicated,andalsoproblemsinHajjorUmrahdeparturealsoveryvulnerableoncethecriminalactsof corruption committedby unscrupulousministry.
As weall know2014is almostgone, the SBY administrationwill soongo downbutchangesthe behaviorof the bureaucracy(bureaucratic reform) have not indicatedmodifiersto abetter direction. There is onlymore and morediscoveredthatofficialsstumbledcorruptioncases, andservice to the community, both at centraland local levelsstill do notshowoptimal performance, althoughregional divisions(decentralization) has been realized. And the morethe rulesresultingoverlap-belitnya convolutedbureaucracyinourcountry. One exampleis what happened inthe ministryof religion; totake care ofa marriage certificatealoneis verydifficultandcomplicated,andalsoproblemsinHajjorUmrahdeparturealsoveryvulnerableoncethecriminalactsof corruption committedby unscrupulousministry.
Achievementprogramsbureaucratic
reformhas been provided, the
rulesand performance standardshad beenset, butstill
commonly foundinlocal and centralgovernmentwerenotable tomake it happenproperly.
Therefore, throughthisarticleIwant torevealwhybureaucratic reformis needed, the factorsthat constrainbureaucratic reformandsome of theissues related to:
Therefore, throughthisarticleIwant torevealwhybureaucratic reformis needed, the factorsthat constrainbureaucratic reformandsome of theissues related to:
a) StructuringStrengtheningOrganizations, Strengtheningsupervisory
functionandthe Role of theRepresentative;
b) StructuringRegulation
LegislationandJudiciaryIndependence;
c) Arrangement ofHuman
ResourceManagementSystemfor Administrative, Professional
andGovernmentReformIntegrityin public service; and
d) StrongCivil SocietyandParticipatory.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di
dalam negara yang mengikuti sistem demokrasi kehadiran partai politik dalam
birokrasi pemerintahtidak bisa dihindari.Menurut teori liberal, birokrasi
pemerintah itu menjalakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses
langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan.Dengan
dmikian birokrasi pemerintah itu tidak hanya didominasi oleh pejabat-pejabat
birokrasi saja yang meniti karier di dalamnya, melainkan pula bagian-bagian
lain yang ditempati oleh pejabat-pejabat politik.Demikian pula sebaliknya di
dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari
partai politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang
profesional.
Ketika
kehadiran partai politik yang berupa pejabat-pejabat politik dalam birokrasi
pemerintah tersebut mulai timbul, maka timbul pulalah suatu pertanyaan tentang
hubungan keduanya.Pertanyaan ini sebenarnya merupakan pertanyaan klasik yang
dahulu pernah di kemukakan oleh Woodrow Wilson sebagai perwujudan dari
perbedaan antara politik dan administrasi.
Di
Indonesia ketika baru saja merdeka tahun 1945, tata kepemerintahan kita
banyak diwarnai oleh kehidupan partai politik. Tidak lama setelah Maklumat
Wakil Presiden Moh.Hatta yang dikenal dengan sebutan Maklumat X pada tanggal 16
Oktober 1945, maka rakyat serentak mendirikan banyak partai politik mulai saat
itu kabinet yang merupakan organisasi eksekutif pemerintahan mulai dipimpin
oleh partai politik.Kabinet Presidensial yang telah ditetapan oleh UUD 1945
hanya berlaku beberapa bulan saja dan kemudian diganti dengan Kabinet
Parlementer.Kabinet Parlementer ini diberlakukan dalam negara yang berdasarkan
UUD 45 yang mengikuti Kabinet Presidensial.Mulai saat itu kabinet dipimpin oleh
orang-orang dari partai politik. Presiden sebagai keapa negara menunjuk seorang
dari partai tertentu untuk bertindak sebagai formatur yang akan membentuk
susunan kabinet. Formatur ini yang biasanya akan menjadi Perdana Menteri yang
memimpin kabinet. Semua menteri anggota kabinet ditunjuk berdasarkan
keanggotaan partai politik yang bersedia berkoalisi dengan partainya formatur
kabinet.Namun demikian, ada pula menteri yang ditunjuk bukan karena mewakili
partai politik tertentu, melainkan karena keahlian dan kemampuan
individunya.Menteri yang tidak berpartai ini tidak banyak, dan pada umumnya
menteri yang berada di kabinet adalah mereka yang berpartai.
Kehadiran
partai politik dalam pemerintahan membawa pengaruh besar terhadap kehidupan
birokrasi pemerintah.Salah satu pengaruh itu ialah birokrasi pemerintah
terkontaminasi terhadap bermacam dan beragam perbedaan ideologi yang dibawa
partai politik.Tidak jarang terjadi bahwa suatu partai politik yang memimpin
suatu kementrian untuk sekian lama telah tertanam pengaruh partai dalam
kementerian tersebut. Tidak pula jarang terjadi suatu departemen yang
menterinya dari partai tertentu, maka struktur jabatan dan pejabat yang
mendudukinya dari partai yang sama dengan partai menterinya dari pusat sampai ke
daerah. Pada waktu itu banyak dikenal bahwa Kementerian Dalam Negeri yang
menterinya dari Partai Nasional Indonesia (PNI), maka struktur jabatan mulai
dari Menteri sampai ke lurah di desa adalah orang-prang PNI. Demikian pula
Kementerian Agama yang dipimpin oleh menteri dari NU, maka mulai dari Menteri
sampai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan dijabat oleh orqang-orang
partai NU.
Kehadiran
partai politik dalam pemerintahan sejak dari Kabinet Sjhrir pertama sampai
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlangsung secara intensif.Mulai
dari ketika Presiden Soekarno kembali ke UUD 1945, Kabinet kembali ke bentuk
Presidensial, maka Kaninet tidak lagi bisa dibubarkan dan kabinet tidak
bertanggung jawab kepada presiden.Para Menteri yang ditunjuk tidak lagi membawa
partai tertentu.
Ketika
Presiden Soekarno “jatuh” dan pemerintah diganti oleh pemerintah orde baru,
partai politik tidak lagi bisa berperan aktif dalam pemerintahan.Peran partai
politik digantikan oleh Golkar yang menamakan dirinya bukan partai
politik.Kelembagaan birokrasi pemerintah dipimpin dan dikuasai oleh Golkar.
Pemilihan umum dilakukan setiap 5 tahun sekali dan pemenangnya adalah bukan
partai politik akan tetapi Golkar. Aneh memang, bukan partai politik tetapi
ikut main politik berupa sebagai kontestan pemilihan umum setiap 5 tahun sekali
dan selalu keluar sebagai pemenang mutlak.Dengan kemenangan pemilu tersebut
maka Golkar selalu memimpin kabinet dan pemerintahan pada umumnya.Semua
Menterinya adalah orang-orang Golkar, dan ini berlangsung cukup lama selama 32
tahun di bawah pimpinan Presiden Soeharto.
Sekarang
ketika masa reformasi selama 4 tahun di bawah 3 Presiden tampaknya sulit untuk
melakukan perubahan sikap mental dan perilaku sistem pemerintahan birokrasi
kita.Partai-partai politik yang memerintah ribut untuk menanamkan pengaruh dan
orang-orangnya ke dalam birokrasi pemerintah.Cerita lama terulang kembali,
rama-ramai mendirikan “bangunan pengaruh” ke dalam birokrasi pemerintah sebagai
sumber kakuatan untuk menyiapkan diri memenangkan pemilu mendatang.Semua partai
politik menyadari bahwa bangunan birokrasi pemerintah itu menjulur dari pusat
pemerintahan sampai ke struktur yang paling bawah mendekati rakyat.Bangunan
seperti itu merupakan sarana yang efektif untuk mempengaruhi rakyat agar
memilih partainya.Sementara itu fasilitas yang ada di pemerintah sangat
berharga untuk tidak disia-siakan guna kemanfaatan partainya. Itulah sebabnya
rangkapan jabatan partai politik di birokrasi pemerintah sulit diberantas dan
masih dipertahankan dengan segala cara. Dalih mereka ialah, ketika pemerintahan
Golkar jabatan rangkap dan fasilitas pemerintah, mengapa setelah reformasi
sekarang ini kita tidak boleh menikmatinya.Inilah aji mumpung yang menghinggapi
mental dan akhlak para pejabat sekarang.
Permasalahan
Dalam
mewujudkan pemerintahan yang bersih banyak kendala yang harus dihadapi misalnya,
masih banyak organisasi dan peraturan yang tumpang tindih yang mengakibatkan
lambannya proses birokrasi di Indonesia, dan juga masih banyaknya aparatur Negara
yang bermental korup yang mengakibatkan menurunnya kinerja dan berpengaruh
terhadap kwalitas pemerintahan.
B.
Metodelogi
Sumber
data yang diperoleh melalui studi pustaka (tela’ah buku dan bahan bacaan berupa
makalah dan karya ilmiah), dan pencarian informasi masalah tata kelola
pemerintahan dan reformasi birokrasi melalui internet.Analisis data yang
digunakan dalam penyusunan full paper ini menggunakan metode kualitatif.
C.
Hasil dan Pembahasan
Pengertian Birokrasi dan Reformasi
Birokrasi dalam sebuah Pemerintahan
Dalam proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara kita sering medengar istilah “birokrasi”, terutama dalam membahas
soal pemerintahan dan negara. Terdapat beberapa definisi mengenai makna dari
kata birokrasi, diantaranya :
1. Menurut Tjokroamidjoyo birokrasi
adalah tipe organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan
berbagai tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem
administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah.
2. Menurut Max Weber juga menyatakan,
birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan
kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada
aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem
legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat
disimak oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan
jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Menurut teori liberal bahwa birokrasi pemerintah itu
menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan
rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan.Dengan demikian, maka
birokrasi pemerintah itu bukan hanya didominasi oleh para birokrat saja,
melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik
(Carino, 1994). Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi
pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pemimpin politik saja melainkan ada
juga pimpinan birokrasi karier yang profesional.
Pada masa Orde Baru sampai menjelang masa transisi tahun
1998, kondisi birokrasi di Indonesia mengalami sakit bureaumania seperti
kecenderungan inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, kolusi, korupsi dan
nepotisme. Birokrasi dijadikan alat status quo mengkooptasi (kerja sama)
masyarakat guna mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Birokrasi Orde Baru
dijadikan secara struktural untuk mendukung pemenangan partai politik
pemerintah. Padahal birokrasi diperlukan sebagai aktor public services
yang netral dan adil, dalam beberapa kasus menjadi penghambat dan sumber
masalah berkembangnya keadilan dan demokrasi, sehingga terjadi diskriminasi dan
penyalahgunaan fasilitas, program dan dana negara.
Agar Indonesia tidak semakin jatuh maka birokrasi Indonesia
perlu melakukan reformasi secara menyeluruh.Reformasi itu sesungguhnya harus
dilihat dalam kerangka teoritik dan empirik yang luas, mencakup di dalamnya
penguatan masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi
pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan mempengaruhi.
Menurut Prof. Prijono, "Tujuan utama reformasi birokrasi yaitu
menghasilkan pelayanan publik yang responsif, tidak memihak dan profesional
yang bertujuan mengurangi rendahnya kepercayaan terhadap peran pemerintah dalam
memenuhi dan melayani kepentingan masyarakat". Dengan demikian, reformasi
birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya konsolidasi
demokrasi kita saat ini. Reformasi merupakan langkah-langkah perbaikan terhadap
proses pembusukan politik, termasuk buruknya kinerja birokrasi.
Dikarenakan keadaan birokrasi Indonesia yang masih kacau
balau pasca orde baru, maka diperlukan adanya reformasi birokrasi di setiap
lembaga birokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, kita selaku masyarakat dan
warga negara perlu mengetahui apa itu reformasi birokrasi, selain itu juga agar
masyarakat dapat mengetahui seberapa efektif reformasi birokrasi yang sudah
berjalan di lembaga-lembaga birokrasi Indonesia sampai saat ini.
Reformasi birokrasi, adalah salah satu cara untuk membangun
kepercayaan rakyat. Pengertian reformasi birokrasi sendiri ialah, suatu usaha
perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah struktur, tingkah
laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Reformasi birokrasi ruang
lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga
mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku. Hal
ini berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan authority atau
formal power (kekuasaan).
Bercermin
kepada masa orde baru yang sangat kacau balau maka kita harus melakukan
beberapa perubahan terhadap tata kelola pemerintahan dan harus melakukan
reformasi demi mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip good governance :
professional, memiliki kepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntabel dan
memiliki kredibilitas serta berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang
didasari oleh etika, pelayanan dan pertanggungjawaban publik serta integritas
pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan
tujuan bernegara itu perlu melakukan beberapa tahap yaitu :
a) Penataan
Penguatan Organisasi, Penguatan fungsi pengawasan dan Peran Lembaga Perwakilan;
Dalam
hal ini Negara kita masih sangat lemah dan banyak kekurangan, banyak organisasi
maupun lembaga-lembaga yang tugasnya melakukan pengawasan atau penyampai
aspirasi dari masyarakat namun lembaga-lemba tersebut tidak mejalankan tugasnya
dengan baik.Akhir-akhir ini kita sering melihat para Dewan yang terhorhat yang
mempunyai tugas mengemban amanat dari masyarakat malah banyak yang tersandung
kasus korupsi, skandal dll.Itu menandakan bahwa organisasi yang bertugas untuk
pengawasan dan perwakilan rakyat tidak bekerja secara professional, mereka
hanya menebar janji-janji saat kampanye dan lupa saat sudah duduk di kursi
Dewan.Maka dari itu kita sebagai masyarakat yang baik harus lebih pintardalam memilih
pemimpin agar nasib Negara kita ini menjadi lebih baik.
b) Penataan
Peraturan Perundang-Undangan dan Kemandirian Lembaga Peradilan;
Undang-undang
merupakan landasan hukum yang digunakan di Negara kita ini.Banyak sudah UU dan
peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,
namun banyak juga dari peraturan-peraturan tersebut yang dilanggar.Malah ada
juga yang mengatakan “Peraturan Dibuat Untuk Dilanggar”, ini jelas sangat
keliru, maka dari itu lembaga peradilan berperan sangat penting dalam hal ini
untuk membuat efek jera kepada orang-orang yang melanggar peraturan yang sudah
ditetapkan.Namun fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah sebaliknya,
lembaga-lembaga peradilan malah menyalahgunakan wewenangnya untuk memenangkan
orang yang membayarnya.Kita lihat saja hakim MK akil mochtar yang notabene
hakim agung yang seharusnya menjadi ujung tombak keadilan di Indonesia ini
malah terjerat dalam kasus suap.Hal ini jelas sangat memalukan di mata publik
maupun dunia, dengan adanya kasus seperti ini jelas kepercayaan publik terhadap
lembaga peradilan di Indonesia menjadi hilang.
c) Penataan Sistem Manajemen SDM
Aparatur, Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas dalam
pelayanan publik;
Kita
sering melihat di sekitar kita masalah KKN, siapa dia yang punya keluarga
pejabat pasti dia bisa masuk dalam pemerintahan dengan mudah.Hal ini menandakan
bahwa pemerintahan kita di isi oleh orang-orang yang tidak mempunyai kualitas,
untuk itu kita harus melakukan penataan sistem manajemen SDM dan aparatur
pemerintahan agar orang-orang yang ada dalam pemerintahan mempunyai kualitas dan
itegritas yang tinggi demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berpihak
pada rakyat.
d) Masyarakat
Madani yang Kuat dan Partisipatif.
Ketika
semua tatanan Negara sudah tertata rapi maka masyarakat Indonesia akan lebih
mandiri dan akan lebih pintar dalam menilai kinerja pemerintahaan, dan
masyarakat pun akan berperan aktif dalam mengawal pemerintahan.
Mengapa
Reformasi Birokrasi Diperlukan?
Refomasi
Birokrasi dimaknai sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata
kelola pemerintahan, yang mengarah pada organisasi (kelembagaan), tatalaksana,
SDM,pelayanan, akuntabilitas dan perundangundangan serta pola pikir (Grand
Desain Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025, 2010: 2, yang selanjutnya
disingkat GDRB). Perubahan besar yang dimaksud,terkait dengan perubahan radikal
dalam tata cara pelaksanaan urusan masyarakat sebagai tuntutan pada saat
reformasi administrasi ditiupkan tahun 1980 an (Caiden, 1991: 1). Perubahan
memang harus selalu terjadi, karena dinamika suatu perjalanan kehidupan harus
berbeda dari satu masa ke masa berikutnya. Perkembangan global, sains dan
teknologi, turut memengaruhi perubahan dan perubahan yang diharapkan di sini
bukan sekadar berubah, tetapi harusterencana (Yehezkel Dror dalam Zauhar,1996:
6). Perubahan sistem administrasi di Indonesia telah terjadi pada saat
reformasi politik tahun 1998 yang berimbas terhadap reformasi di bidang
administrasi publik.Tuntutan masyarakat terhadap pemerintah untuk segera
diadakan reformasi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, menjadi
tonggak dimulainya era reformasi di bidang politik, hukum, ekonomi, dan
birokrasi, yang dikenal sebagai reformasi gelombang pertama (GDRB, 2010:
1). Reformasi gelombang pertama ini belum membawa hasil terutama terhadap
perubahan di bidang birokrasi, karena penyakit birokrasi yang dikenal dengan
istilah bureaupathology masih menjangkiti birokrasi di Indonesia seperti
bersifat kaku, hierarkis, berbelit-belit, korupsi kolusi nepotisme (yang
selanjutnya disingkat KKN), tidak efisien & efektif dan biaya mahal (high
cost). (Istianto, 2011: 143). Hal ini terbukti selama 69 tahun Indonesia
merdeka, tetapi pencapaian kinerja aparat birokrasi pemerintahan yang
produktif, efisien, efektif dan bersih dari KKN belum juga tampak. Pada tahun
2010, sebuah perusahaan konsultan “Political & Economic Risk Consultancy”
(PERC) yang berbasis di Hong Kong (http://nusantaranews.wordpress.com)
menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia
Pasifik. Demikian pula pada tahun 2011, data Political and EconomicRisk
Consultancy (PERC) masih menempatkan Indonesia di peringkat pertama sebagai
negara terkorup dari 16 negara Asia Pasifik dengan skor korupsi Indonesia 9,27.
Sedangkan berdasarkan pada tahun 2010 laporan Lembaga Transparansi
International (Kompas.Com,28 Juni 2012 ), menyatakan CorruptionPerception
Index (CPI) Indonesia masih rendah, yaitu (3.0). Dengan demikian, Indonesia
masih berada di peringkat ke-100 bersama 11 negara lainnya, yakni Argentina,
Benin, Burkina Faso, Djobouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome
& Principe, Suriname, dan Tanzania. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara,
skor Indonesia berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3),
dan Thailand (3,4). Ternyata pada tahun 2011, IPK Indonesia masih tetap di
peringkat ke 100 (Kompas.Com, 10 Desember 2012).Selain itu, jumlah korupsi di
Indonesia pada tahun 2011 sebanyak 1.018 kasus (Republika.co.id).Tiga provinsi
yang terjerat korupsi dan telah memasuki tahap penyidikan, yaitu provinsi
JawaTimur (119 kasus), Papua (114 kasus) danJawa Tengah (79 kasus).
Dengandemikian, Budaya korupsi belum dapatdihilangkan, karena politik di
Indonesiatelah terjadi politik kartel (UlumulQur’an, Vol. 1, April,
2012), sebagaimanayang terlihat pada kasus Nazarudin(kompas.com 13
September 2011), salahsatu mantan bendahara partai politik besaryang melibatkan
kantor Kemenpora,Kemenkeu, anggota legislator serta elitpartai politik.Kondisi
sistem administrasipemerintahan Indonesia saat ini belumdapat dikatakan baik,
meskipun lembagalembagapolitik seperti KomisiPemberantasan Korupsi (KPK)
telahdibentuk, Komisi Pemilihan Umum(KPU) diberdayakan, MahkamahKonstitusi (MK)
mulai beraksi dan BPKBadan Pemeriksa Keuangan (BPK)mengoptimalkan fungsinya
sertalembaga-lembaga politik lainnya telahdibentuk untuk menciptakan system administrasi
pemerintahan Indonesiamenjadi clean government dan goodgovernance. Akuntabilitas
pengelolaankeuangan negara, kualitasnya masih perlubanyak pembenahan termasuk
dalampenyajian laporan keuangan yang sesuaidengan Standar Akuntansi Pemerintah.
Faktor
Penghambat Reformasi Birokrasi
Dalam
melaksanakan reformasi birokrasi memang tidak mudah, berbagai hambatan pasti
ditemui, baik dari lingkungan eksternal maupun internal.Berikut ini beberapa
yang ditemui di Afrika, yaitu pelayanan publik yang buruk, yang diakibatkan korupsimerajalela,
moral dan motivasi pekerjarendah dan sumber daya sertaperalatan kurang (Kyarimpa,
2009:26). Dengan kata lain, yang menjadi penghambat kegagalan reformasi
birokrasi secara tidak langsung karena rendahnya moralitas dan motivasiSDM.
Menyinggung masalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang dikemukakan di atas, EE
Mangindaan (Mantan KemenPAN dan RB) juga mengatakan bahwa kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri adalah hambatan untuk melakukan reformasi birokrasi seringkali
justru datang dari dalam birokrasi itu sendiri (internal), baik karena lemahnya
kemampuan atau rendahnya kemauan. (Majalah Layanan Publik, Edisi XXXVII, 2011:
9). Sebagai analog (perbandingan), persoalan desentralisasi yang pernah
dijalankan di Jepang, juga mendapat tantangan dari para birokrat Jepang, karena
merasa kepentingankepentingannya akan terancam dengan adanya desentralisasi
tersebut (Nakamura, 1996: 5). Sebenarnya persoalan SDM juga terkait dengan: (1)sistem
rekrutmen, (2)penempatan (the right man in the rightplace), dan (3)
sistem insentif serta gaji. Sistem rekrutmen yang masih
bernuansa KKN, maka tidak akan menghasilkan SDM yang sesuai dengan
kompetensinyadan profesional. Kolusi dan Nepotisme menyebabkan para pengambil
kebijakan menjadi dillema dalam memutuskan SDM yang ideal, karena analisis
jabatan tidak akan menjadi dasar pertimbangan. Keputusan yang diambil, biasanya
bersifat politis.Misalnya rekrutment pegawai dijadikan jatah bagi para
pendukung kepala daerah terpilih atau hasil pengaruh para politisi di daerah
(anggota DPRD).Demikian pula penempatan seseorang dalam jabatan tertentu.Dasar
pertimbangan yang diambil bukan berdasarkan kompetensi.Analisis jabatan atau
kinerja, tetapi seringkali bersifat politis untuk menjaga
kepentingankepentingan kekuasaan pimpinan.Sistem insentif dan gaji yang tidak
memadai ikut berkontribusi terhadap jalannya reformasi birokrasi, karena
insentif dan gaji dapat memotivasi birokrasi dalam menjalankan tugasnya,
sehingga dapat mewujudkan kinerja dengan baik. Dengan insentif dan gaji yang
tinggi akan memberikan stimulus birokrasi bekerja dengan baik dan diharapkan
tidak terjadi korupsi. Meskipun hal ini tidak menjamin 100 % birokrasi akan
bekerja dengan jujur, karena masih banyak ditemui pelanggaran-pelanggaran.
Sebagai contoh, dapat dikemukakan kasus Gayus Tambunan yang memanipulasi pajak
dan merugikan negara, Proyek Hambalang yang melibatkan para pejabat birokrasi,
dan kasus PON di Riau yang meibatkan kepala daerah serta masih banyak contoh
kasus yang ditemui KPK. Selain faktor-faktor penghambat yang dikemukakan di
atas, ketiadaankomitmen politik dari pimpinaneksekutif maupun legislatif, terutama
kepala daerah di daerah masing-masing, maka sangat sulit dicapai perubahan bagi
pelayanan birokrasi. Hal ini sebagaimana dikatakan Prasojo, Maksum dan
Kurniawan (2006: 175-176) dalam penelitian mereka di beberapa daerah bahwa
salah satu faktor pendukung keberhasilan reformasi birokrasi adalah komitmen
dan political will kepala daerah.
Strategi
Reformasi Birokrasi
Pelaksanaan
reformasi administrasi, khususnya reformasi birokrasi tidak selalu berjalan
mulus, penuh tantangan yang dihadapi, sebagaimana dikatakan Cepiku dan Mititelu
(2010: 63) dalam Jurnal Transylvanian Review of AdministrativeSciences No.
3E, bahwa reformasi administrasi publik di Negara-negara Transisi (seperti
Albania dan Rumania) memerlukan agenda yang sangat matang, karena sebelumnya
tidak diprioritaskan dan tidak didefinisikan secara jelas dalam hal pelaksanaan
yang efektif, meskipun mengacu pada keinginan yang kuat. Untuk itu, perlu
dipilih dan dikembangkan strategi yang tepat dalam upaya mensukseskan reformasi
birokrasi untuk mewujudkan effective governance di Pemerintahan Daerah,
sebagaimana yang dikatakan Hanh Been Lee (1970: 13) bahwa strategi adalah
variabel yang digunakan untuk mengubah reformasi administrasi yang mencakup
jenis, cakupan dan kecepatan reformasi (Strategy is the manipulative
variable ofadministrative reform. The main object ofmanipulation is the type,
scope and speedof reform, although strategy is alsoinvolved in the choice of
the reformagents and reform agency as well as thetiming of reform).
Strategi diperlukan, karena lemahnya agen perubahan, struktur internal lembaga
tidak ditujukan untuk perubahan besar serta ruang lingkup dan laju reformasi
harus dikompromikan, sebagaiman dikemukakan Lee (1970:14), “Strategy is
conditioned by thechange agents on one side and theenvironment on the other.
When thechange agents are weak and the internalstructure of the agency is not
geared to amajor change, the scope and pace ofreform would have to be
compromised”.Untuk melangkah ke pelaksanaan reformasi administrasi,
ditawarkan dua strategi, yaitu Comprehensive Strategy dan Incremental
Strategy (Lee, 1970: 14-16). Comprehensive Strategy adalah suatu
cara atau pola yang digunakan oleh suatu lembaga manajerial pusat dalam
mengendalikan beberapa bidang cakupan seperti personil, anggaran dan
organisasi. Dalam penerapan strategi ini, diperlukan dukungan politik dari
penguasa, sedangkan Legislatif dan partai Politik jarang memberikan dukungan
yang memadai (Samonte dan Khosla dalam Lee, 1970: 14). Komitmen politik
penguasa diperlukan, mengingat seluruh perencanaan reformasi administrasi yang
akan dilakukan dibuat dan harus diketahui penguasa, sehingga goal yang
diinginkan akan tercapai. Sebagaimana hasil penelitian di beberapa daerah,
ditemukan bahwa salah satu faktor pendukung keberhasilan reformasi birokrasi di
daerah adalah komitmen dan political will kepala daerah (Prasojo, Maksum
dan Kurniawan, 2006: 175-176). Incremental Strategy adalah suatu
pendekatan yang melihat reformasi administrasi secara bertahap dan
sebagairantai yang berurutan, karena reformasi dianggap sebagai suatu proses.
Pendekatan ini mengutamakan pelatihan yang tidak hanya melibatkan staf dari
badan reformasi, tetapi juga orang-orang dari instansi terkait lainnya.
Pengertian Tata Pemerintahan yang Baik (GOOD GOVERNANCE)
Arti
Good governance
Governance yang diterjemahkan
menjadi tata pemerintahan, adalahpenggunaan wewenang ekonomi, politik dan
administrasi guna mengelolaurusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata
pemerintahan mencakupseluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga
dankelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka,menggunakan hak
hukum, memenuhi kewajiban dan menjembataniperbedaan-perbedaan diantara mereka.
Definisi lain menyebutkan governance adalah
mekanisme pengelolaansumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh
seckor negaradan sector
non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Definisi inimengasumsikan banyak
aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangatdominan yang menentukan gerak
aktor lain. Pesan pertama dari terminologygovernance membantah pemahaman
formal tentang bekerjanya institusiinstitusinegara.Governance mengakui
bahwa didalam masyarakat terdapatbanyak pusat pengambilan keputusan yang
bekerja pada tingkat yangberbeda.
Meskipun mengakui ada banyak aktor yang terlibat dalam
proses sosial,governance bukanlah sesuatu yang terjadi secara chaotic,
random atau tidakterduga. Ada aturan-aturan main yang diikuti oleh berbagai
aktor yangberbeda.Salah satu aturan main yang penting adalah adanya
wewenangyang dijalankan oleh negara.Tetapi harus diingat, dalam konsep governancewewenang
diasumsikan tidak diterapkan secara sepihak, melainkan melaluisemacam konsensus
dari pelaku-pelaku yang berbeda.Oleh sebab itu,karena melibatkan banyak pihak
dan tidak bekerja berdasarkan dominasipemerintah, maka pelaku-pelaku diluar
pemerintah harus memilikikompetensi untuk ikut membentuk, mengontrol, dan
mematuhi wewenangyang dibentuk secara kolektif.
Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam konteks pembangunan,
definisigovernance adalah “mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi
dansosial untuk tujuan pembangunan”, sehingga good governance,
dengandemikian, “adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan
socialyang substansial dan penerapannya untuk menunjang pembangunan yangstabil
dengan syarat utama efisien) dan (relatif) merata.”
Menurut dokumen United Nations Development Program
(UNDP), tatapemerintahan adalah “penggunaan wewenang ekonomi politik
danadministrasi guna mengelola urusan-urusan negra pada semua
tingkat.Tatapemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan
lembaga-lembagadimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat
mengutarakankepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban
danmenjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Membangun
Good Governance
Membangun
good governance adalah mengubah cara kerja state,
membuatpemerintah accountable, dan membangun pelaku-pelaku di luar
Negaracakap untuk ikut berperan membuat sistem baru yang bermanfaat secaraumum.
Dalam konteks ini, tidak ada satu tujuan pembangunan yang dapatdiwujudkan
dengan baik hanya dengan mengubah karakteristik dan carakerja institusi negara
dan pemerintah. Harus kita ingat, untukmengakomodasi keragaman, good
governance juga harus menjangkauberbagai tingkat wilayah politik.Karena
itu, membangun good governanceadalah proyek sosial yang besar.Agar realistis,
usaha tersebut harusdilakukan secara bertahap.Untuk Indonesia, fleksibilitas
dalam memahamikonsep ini diperlukan agar dapat menangani realitas yang ada.
Dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan
publik mencakup berbagai program pembangunan dan kebijaksanaan pemerintah.Akan
tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan
tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali mendapatkan
kesan berbeda dari pandangan masyarakat.
D. Kesimpulan
Birokrasi di dalam menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan
pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila
masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur
pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak
menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal
pelayanan publik). Oleh karena itu, untuk menanggulangi kesan buruk birokrasi
yang telah ada selama ini, perlu dilakukan beberapa perubahan sikap dan
perilaku berkaitan dengan birokrasi dan pelakunya (birokrat), antara lain
seperti di bawah ini :
1. Birokrasi harus lebih mengutamakan
sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat,
serta menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
2. Birokrasi perlu melakukan
penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif,
dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan
yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan
kepada masyarakat).
3. Birokrasi harus mampu dan mau
melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada
ciri-ciri organisasi modern, yaitu pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka
dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya, dan ketepatan waktu.
4. Birokrasi harus memosisikan diri
sebagai fasilitator pelayan publik alih-alih sebagai agen pembaharu (agent
of change) pembangunan.
5. Birokrasi harus mampu dan mau
melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid)
menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif,
fleksibel, dan responsif.
Dari pandangan tersebut di atas,
dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan
publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika
strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Struktur yang
desentralistis diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan
kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi
dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya.
Sedangkan dalam konteks persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu
dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capability),
memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan
kepentingan (consistency atau coherency).
PENUTUP
Reformasi birokrasi dibutuhkan untuk
menjamin terlaksananya reformasi di bidang lain dalam suatu pemerintahan yang
mengaplikasikan konsep administrasi
pembangunan. Oleh karena itu, tanpa
mengabaikan reformasi di bidang lain rekomendasi yang pertama harus dilakukan
adalah reformasi birokrasi yang meliputi kelembagaan dan ketatalaksanaan,
sumber daya manusia, dan pengawasan dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan dan
pembangunan. Reformasi kelembagaan dilakukan melalui perampingan struktur
organisasi birokrasi pemerintah di pusat dan daerah untuk menghindari tumpang
tindih pelaksanaan tugas dan fungsinya.Penyusunan organisasi yang didasarkan
pada analisis jabatan ini harus terus diupayakan. Oleh karena adanya tuntutan
yang mendesak dan harus dilakukan untuk mendorong proses percepatan reformasi
birokrasi, upaya-upaya khusus di bidang kelembagaan adalah sebagai berikut :
1. Melakukan redefenisi kelembagaan
birokrasi termasuk melakukan penataan kelembagaan sesuai dengan standard
operating procedure atau SOP.
2. Melakukan penerapan audit institusi.
3. Di bidang ketatalaksanaan perlu
dipertimbangkan sistem rekrutmen dan promosi pegawai sesuai dengan kecakapan
dan kemampuannya dan dapat diberhentikan jika bekerja secara buruk sebagaimana
yang berlaku di lingkungan swasta.
Selanjutnya, usaha untuk mendorong
peningkatan kompetensi aparat birokrasi pemerintah, baik di pusat maupun di
daerah, sebagai wujud profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya,
harus memerhatikan tiga hal pokok di bawah ini :
1. Peningkatan kesejahteraan aparat
birokrasi pemerintah.
2. Peningkatan etika dan moral
birokrasi pemerintah.
3. Peningkatan profesionalisme
birokrasi pemerintah.
SARAN
Reformasi
Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan yang baik dapat terwujud apabila semua
lapisan masyarakat turut berperan serta dalam upaya pemberharuan diberbagai
bidang khususnya dalam bidang pelayanan (birokrasi) pemerintah, karena
birokrasi pemerintah merupakan proses interaksi / hubungan antara pemerintah
dan masyarakat serta langkah awal dalam mencapai kemajuan suatu negara dalam
berbagai bidang.
Dan
yang terakhir, untuk mendorong perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas
dari KKN dapat pula diupayakan kepada peningkatan pengawasan terhadapaparatur
negara. Pengawasan ini dapat dilakukan melalui audit internal maupun audit
eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
·
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
·
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang
Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian PNS.
·
Peraturan Presiden No. 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014
·
Lampiran PP No. 81 Tahun 2010. Grand Desain Reformasi
Birokrasi Indonesia 2010-2025. 2010. KemenPAN dan RB Republik Indonesia.
·
Peraturan KemenPAN dan RB No. 11 Tahun 2009 tentang Penetapan
Standard Operating Procedures (SOP) di Lingkungan Kementerian Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara.
·
Thoha, Miftah. Birokrasi & Politik di Indonesia.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
·
Jurnal Ulumul
Qur,an, Vol 1, April 2012.
·
Majalah
Layanan Publik, Edisi : XXXVII, 2011.
Internet: