Hukum Pidana Internasional 04

19 KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL KHUSUSNYA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Kus Rizkianto Abstrak Perkembangan hukum internasional dan hukum pidana internasional abad 21 telah memasuki abad “integrated world of community” di dalam menghadapi tantangan dan ancaman dengan melepaskan diri dari kenyataan keterkaitan dan keterikatan suatu bangsa terhadap kondisi objektif baik secara kultural, etnis, geografis maupun faktor sistem politik yang berkembang di negara yang bersangkutan sehingga kerjasama internasional sangat diperlukan dalam menegakkan hukum pidana internasional. Adapun bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dalam penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia antara lain : ekstradisi, pemindahan narapidana, bantuan hukum timbal balik, penyelidikan bersama, kerjasama melakukan teknik-teknik penyelidikan khusus, dan pemindahan proses pidana. Kata Kunci : Kerjasama Internasional, Penegakan HAM A. Pendahuluan Dalam konteks penegakan hukum pidana internasional, kerjasama internasional merupakan sesuatu yang conditio cine qua non. Kebutuhan akan kerjasama internasional berkaitan dengan sifat tindak pidana yang terjadi tidak hanya melibatkan dua yuridiksi hukum atau lebih, namun juga mempunyai aspek internasional yaitu ancaman terhadap keamanan dan perdamaian dunia ataupun menggoyahkan rasa kemanusiaan. Dengan melibatkan lebih dari satu sistem hukum yang berbeda, mau tidak mau menimbulkan saling ketergantungan antar negara di dunia ini, yang kemudian mendorong dilakukannya kerjasama-kerjasama internasional yang dalam banyak hal dituangkan dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional. Perbedaan falsafah dan pandangan hidup dan lainnya, tidak lagi menjadi hambatan dalam melakukan hubungan dan kerjasama antar negara. Globalisasi dan kemajuan teknologi dengan dampak positif negatifnya telah mendorong perlunya pengaturan-pengaturan yang tegas dan pasti dalam bentuk 20 rumusan perjanjian-perjanjian. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika dewasa ini dan masa-masa yang akan datang, akan semakin banyak tumbuhnya perjanjian- perjanjian internasional. Dewasa ini hukum internasional sebagaian besar terdiri dari perjanjian- perjanjian internasional. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa perjanjian internasional telah mendesak dan menggeser kedudukan dan peranan hukum kebiasaan internasional yang pada awal sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional menduduki tempat yang utama. Tepatlah apa yang dikatakan G.I. Tunkin, bahwa secara proporsional perjanjian internasional pada masa kini menduduki tempat yang utama dalam hukum internasional sebagai akibat dari munculnya persetujuan-persetujuan internasional secara meluas1 . Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengamanatkan, bahwa dalam membuat perjanjian internasional baik dengan satu negara maupun dengan organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, wajib memperhatikan dan memenuhi : (1) Harus didasarkan pada kesepakatan para pihak, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. (2) Harus berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip- prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu baru dalam sejarah perkembangannya tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM). Keterkaitan erat tersebut dapat digambarkan sebagai dua saudara kembar, yang memiliki ketergantungan yang kuat (interdependency), sinergis, dan berkesinambungan2 . Ketiga sifat saudara kembar tersebut dapat dicontohkan dengan terbentuknya jenis kejahatan baru dalam dimensi internasional (genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi) yang kemudian melahirkan proses hukum acara dan pembentukan 1 Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas University Press, Padang, 2006, hal 56. Diakses dari www.google.co.id/jurnalpidanainternasional pada tanggal 18 Oktober 2012 2 Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional Dan Hukum Hak Asasi Manusia, Makalah disajikan dalam Pelatihan Hukum HAM yang Diselenggarakan Oleh PUSHAM UII Yogyakarta Tanggal 23 September 2005, hlm. 16 21 peradilannya (ICC) di mana keseluruhannya membentuk suatu proses ilmu baru yang disebut hukum pidana internasional. Perkembangan Konvensi untuk Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Transnasional Terorganisasi pada tahun 2000 telah membentuk kriminalisasi tentang perdagangan orang, khususnya wanita dan anak-anak; penyelundupan migrant, dan penyelundupan senjata api. Selain itu perkembangan kejahatan transnasional dan internasional telah membentuk pula, asas-asas hukum baru (asas hukum, “au dedere au punere” (Grotius), “au dedere au judicare (Bassiouni) dan asas-asas lainnya yang telah diuraikan merupakan lingkup pembahasan hukum pidana internasional. Di dalam rangka reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Abad 21, Laporan High-level Panel on “Threats,Challenges and Change” di bawah petunjuk Sekjen PBB tahun 2004 menegaskan bahwa dewasa ini dapat dibedakan terdapat 6 (enam) kelompok ancaman terhadap penduduk dunia yaitu: (a) ancaman social dan ekonomi, termasuk kemiskinan, penyakit berbahaya dan kemerosotan lingkungan; (b) konflik antar-negara; (c) konflik internal, termasuk, perang saudara (civil war), genosida dan malapetaka dalam bentuk yang luas; (d) senjata nuklir, radiology,kimia dan biologis; (e) terorisme; dan (f) kejahatan transnasional terorganisasi. Dalam kaitan dengan pembagian kelompok ancaman tersebut di atas, maka prinsip-prinsip “non-intervention”, dan “state-souvereignty”, tidak dapat lagi dijadikan alasan untuk menolak campur tangan negara lainnya untuk ikut bertanggung jawab menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri suatu negara manakala telah terjadi salah satu dari keenam kelompok masalah tersebut di negaranya. Dalam hal laporan Panel Tingkat Tinggi Sekjen PBB menegaskan antara lain:” There is a growing recognition that the issue is not the “right to intervene” of any State, but the “responsibility to protect” of every State when it comes to people suffering from avodable catastrophe-mass murder and rape, ethnic cleansing by forcible expulsion , deliberate starvation and exposure to disease”3 . 3 United Nations, “A More Secured World”: Our Shared Responsibility; Reports of The Secretary- General’s High-level Panel on Threats,Challenges and Change;2004;page 23 22 Perkembangan dan perubahan pandangan dunia terhadap pengakuan dan penolakan prinsip non-intervensi sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa perkembangan hukum internasional dan hukum pidana internasional abad 21 telah memasuki abad “integrated world of community” di dalam menghadapi tantangan dan ancaman dengan melepaskan diri dari kenyataan keterkaitan dan keterikatan suatu bangsa terhadap kondisi objektif baik secara kultural, etnis, geografis maupun faktor sistem politik yang berkembang di negara yang bersangkutan 4 sehingga kerjasama internasional sangat diperlukan dalam menegakkan hukum pidana internasional. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang bagaimana bentuk kerjasama internasional dalam penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran hak asasi manusia ? C. Pembahasan 1. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Yang Berat Pengertian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat pertama sekali muncul dalam hukum positif Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, menentukan bahwa yang termasuk pelanggaran HAM yang berat meliputi (1) kejahatan genoside dan (2) kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM yang berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materil maupun immaterial yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan tentang pengertian kejahatan genosida yaitu : Setiap perbuatan yang dilakukan dengan 4 Romli Atmasasmita, Op.cit.hlm. 14 23 maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara-cara : 1. membunuh anggota kelompok; 2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota- anggota kelompok; 3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian; 4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau 5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: 1. pembunuhan; 2. pemusnahan; 3. perbudakan; 4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; 5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; 6. penyiksaan; 7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk- bentuk kekerasan seksual lain yang setara; 8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum; 9. penghilangan orang secara paksa, atau 24 10. kejahatan apartheid. Rumusan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, apabila dibandingkan dengan rumusan yang terdapat dalam Statuta Roma tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) adalah lebih singkat, karena hanya mengambil 2 (dua) elemen dari yang terdapat di dalam ICC yaitu “kejahatan genosida” dan “kejahatan kemanusiaan”, padahal yang digolongkan dalam kejahatan berat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma menentukan: Juridiksi Mahkamah terbatas pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan, dan Mahkamah mempunyai juridiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatan-kejahatan sebagai berikut : 1. kejahatan genosida (the crime of genocide); 2. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity); 3. kejahatan perang (war crimes); 4. kejahatan agresi (the crime of aggression). Kejahatan perang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Statuta Roma digolongkan atas 4 (empat) kategori yaitu: 1. Pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa, terdiri dari 8 (delapan) jenis kejahatan perang yang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a Statuta Roma). 2. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional, terdiri dari 26 (dua puluh enam) jenis kejahatan perang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat 2 huruf b). 3. Pelanggaran terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, dalam hal terjadi konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, terdiri dari 4 (empat) jenis kejahatan perang spesifik, ( diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c). 25 4. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, terdiri dari 12 (dua belas) jenis kejahatan perang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat (2). Kejahatan perang sebagaimana telah ditentukan dalam Konvensi Jenewa yang telah diratifikasi sejak tahun 1958, telah dicoba diakomodir dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2012, yang substansinya dirumuskan mulai dari Pasal 394 sampai dengan Pasal 403. Oleh karena itu apabila RUU KUHP disahkan, maka peradilan nasional dapat mengadili setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum internasional. Dengan kata lain, apabila setiap perbuatan kejahatan perang tersebut dilakukan oleh warga negara Indonesia atau terjadi di Indonesia tidak perlu menunggu peradilan pidana internasional mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat seperti yang diatur dalam Statuta Roma. Kemudian mengenai kejahatan agresi tidak disebutkan pengertian atau batas-batasannya dalam Statuta Roma 1998, karena ketika perumusan Statuta Roma 1998 dilaksanakan telah terjadi perdebatan mengenai batas pengertiannya dan elemen-elemen kejahatan agresi, dan ketika itu berkembang pandangan berupa: the crimes aggression” adalah the mother of crimes, karena dengan dilakukannya agresi menimbulkan kejahatan-kejahatan lain yang mengikutinya5 . Oleh karena itu setelah 7 (tujuh) tahun kemungkinan dapat dilakukan amandemen, dengan syarat harus mendapat persetujuan dua pertiga dari anggota majelis. 2. Bentuk Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukum Pidana Internasional Mengenai bentuk kerjasama internasional dalam penegakan hukum pidana internasional, sebagimana disebutkan dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) antara lain seperti ekstradisi (Pasal 16), pemindahan narapidana (Pasal 17), bantuan hukum timbal balik (Pasal 18), penyelidikan bersama (Pasal 19), kerjasama dalam melakukan tehnik-tehnik 5 Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000, hal. viii. 26 penyelidikan khusus (Pasal 20), dan pemindahan proses pidana (Pasal 21). Pasal 27 UNTOC tentang kerjasama penegakan hukum, secara lebih khusus menekankan kerjasama penegakan hukum dalam pelbagai aspek yang lebih bersifat teknis operasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 huruf a sampai dengan f. Hal ini sudah dilakukan oleh Indonesia, terutama oleh Kepolisian Republik Indonesia, baik secara langsung dengan Kepolisian negara- negara sahabat (billateral) ataupun kerjasama melalui INTERPOL/ICPO (International Criminal Police Organisation). Persoalannya adalah, apakah setiap kerjasama antara instansi penegak hukum tersebut sudah dilandasi oleh suatu perjanjian internasional atau tidak ? Pasal 27 ayat 2 UNTOC menekankan kepada negara-negara pihak untuk membuat perjanjian internasional jika belum, atau jika sudah perjanjian tersebut diubah untuk disesuaikan6 . Adapun bentuk kerjasamanya antara lain : 1. Ekstradisi Beberapa asas ektradisi dimuat dalam UNTOC, yaitu asas kejahatan ganda (double criminality - Pasal 16 ayat 1), asas tidak menyerahkan warga negara (non extradition of nations - Pasal 16 ayat 10), asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (non extradition of political criminal – Pasal 16 ayat 14). Selain UNTOC, ekstradisi juga diatur dalam United Nation Model Treaty on Extradition tahun 1990 yang telah banyak dikuti oleh negara- negara lain khususnya dalam membuat perjanjian-perjanjian maupun dalam perundang-undangan ekstradisi. Bagi Indonesia, pelaksanaan ekstradisi didasarkan pada perjanjian bilateral sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi atau dimungkinkan pula atas dasar asas resiprositas yang dianut hukum internasional. Namun bagaimanapun UU No.1 Tahun1979 ini harus disesuaikan, karena tidak/belum memuat ketentuan-ketentuan yang mewajibkan mempercepat prosedur ektradisi dan menyederhanakan persyaratan pembuktian (Pala 8 UNTOC), tidak memuat ketentuan tidak 6 Abdul Fickar Hadjar, Konsepsi Tindak Pidana Transnasional & Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukumnya, Kertas kerja untuk disampaikan pada Rapat Tim Kompendium Hukum Kerjasama Internasional di Bidang Penegakan Hukum, BPHN, tanggal 25 September 2012 27 menyerahkan warga negara (Pasal 10 UNTOC) dan tidak memuat ketentuan berlakunya hukuman terhadap Warga Negara negara yang diminta (Psl 12). 2. Pemindahan Narapidana Tentang pemindahan narapidana, UNTOC hanya menghimbau untuk membuat perjanjian bilateral atau multilateral ataupun peraturan perundang- undangan didalam negara pihak. Sebuah perjanjian internasional yang dapat dijadikan rujukan adalah : Convention On The Transferof Sentenced Persons (1983) antara negara-negara Dewan Eropa (Council of Europe) dan Schengen Convention (Title III Chapter V) (1990) yang merupakan pelengkap dari Konvensi tahun 1983. Perjanjian internasional tentang pemindahan narapidana ini dibuat dengan pertimbangan kemanusiaan, yakni memberikan kesempatan kepada narapidana (asing) yang menjalani hukuman di negara lain untuk menjalani pidana atau sisa hukumannya di negara sendiri. Namun narapidana (asing) itu juga harus dihormati pilihannya untuk melaksanakan hukuman di negara lain atau di negaranya sendiri. Di Indonesia mengenai pemindahan diatur dalam Undang-Undang seperti KUHAP, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana. Meski tidak satu pasalpun secara eksplisit mengatur pemindahan narapidana, namun semua undang-undang itu pun tidak melarang untuk melakukan perjanjian kerjasama pemindahan narapidana seperti yang dihimbau UNTOC. 3. Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam hal bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters) dalam konteks negara-negara ASEAN (Brunai Darussalam, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Pilipina, Singapore dan Vietnam) telah ditanda tangani sebuah perjanjian: “Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters” di Kuala Lumpur pada tanggal 20 Nopember 2004. Miyanmar telah menjadi pihak dalam ASEAN Treaty on MLA itu pada bulan Desember 2009. Tinggal hanya Thailand yang belum menjadi pihak dalam Treaty ini. 28 Di dalam negeri, Indonesia telah mempunyai undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Jika dibandingkan antar ketentuan tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana UNTOC dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 memang ada ketentuan yang sama dan ada pula kekosongan di pihak yang satu ataupun lainnya. 4. Penyelidikan Bersama Pasal 19 UNTOC mengamanatkan kewajiban kepada negara-negara pihak untuk mempertimbangkan perjanjian billateral atau multilateral ataupun pengaturan tentang subjek dari penyelidikan, penuntutan atau proses peradilan di satu atau lebih negara. Pilihan membuat atau tidak membuat perjanjian sepenuhnya menjadi hak dari negara pihak, yang jikapun ada suatu kasus, para pihak masih dapat melakukan kerjasama kasus per kasus. Hukum Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ataupun UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak mengatur secara tegas tentang kemungkinan untuk melakukan penyelidikan bersama sebagaimana diamantkan UNTOC. Akan tetapi ketiga UU itupun tidak melarang. Dengan kata lin memberikan kemungkinan untuk melakukan erjasama internasional tersebut. 5. Kerjasama Melakukan Teknik-Teknik Penyelidikan Khusus Mengenai teknik penyelidikan khusus sebagaimana diamanatkan UNTOC, dalam peraturan perundang-undangan Indonesia terutama dalam undang- undang diluar KUHP sudah banyak yang mengaturnya, seperti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor Tahun 2009 tentang Narkotika. Jadi tentang teknik penyelidikan khusus ini sudah dapat dijadikan dasar untuk membuat 29 perjanjian-perjanjian internasional dalam penegakan hukum pidana transnasional. 6. Pemindahan Proses Pidana Pemindahan proses pidana ini merupakan pemindahan orang yang diduga, disangka ataupun didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dalam UNTOC ke negara pihak yang dipandang sebagai negara yang paling tepat dan efektif dalam melaksanakan penuntutan dan peradilannya. Tentu saja pemindahan ini sekaligus dengan barang-barang buktinya khususnya benda bergerak. Dengan demikian, proses penuntutan dan peradilannya dipusatkan pada negara pihak yang bersangkutan. Hukum Indonesia dalam hal ini KUHAP ataupun perundang-undangan lainnya tidak mengatur masalah pemindahan proses pidana ini, Namun Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara eksplisit memungkinkan untuk dilakukan pemindahan proses pidana ini. D. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dalam penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia antara lain : Ekstradisi, Pemindahan Narapidana, Bantuan Hukum Timbal Balik, Penyelidikan Bersama, Kerjasama melakukan Teknik-teknik Penyelidikan Khusus, dan Pemindahan Proses Pidana. 2. Saran Pemerintah perlu segera mengakomodir bentuk kerjasama penegakan hukum pidana internasional tersebut dalam sebuah undang-undang atau perjanjian khusus dengan negara-negara di dunia demi tegaknya hukum dan keadilan. 30 DAFTAR PUSTAKA Buku : Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000. United Nations, “A More Secured World”: Our Shared Responsibility; Reports of The Secretary-General’s High-level Panel on Threats,Challenges and Change; 2004. Makalah : Abdul Fickar Hadjar, Konsepsi Tindak Pidana Transnasional & Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukumnya, Kertas kerja untuk disampaikan pada Rapat Tim Kompendium Hukum Kerjasama Internasional di Bidang Penegakan Hukum, BPHN, 2012. Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional Dan Hukum Hak Asasi Manusia, Makalah disajikan dalam Pelatihan Hukum HAM yang diselenggarakan Oleh PUSHAM UII Yogyakarta, 2005. Peraturan Perundang-undangan : Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 2012 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNTOC Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan & PemberantasanTindak Pidana Pencucian Uang Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Undang-undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi 31 Undang-undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Website : Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas University Press, Padang, 2006, hal 56. Diakses dari www.google.co.id/jurnalpidanainternasional pada tanggal 18 Oktober 2012

Hukum Perusahaan 09

BAB 20 PEMBERDAYAAN KOPERASI SERTA USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH Pemberdayaan koperasi usaha mikro, kecil, dan menengah (KUMKM) merupakan upaya strategis dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat karena KUMKM merupakan bagian terbesar dari aktivitas masyarakat Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah UMKM pada tahun 2008 mencapai 51,3 juta unit usaha atau 99,9 persen dari jumlah unit usaha di Indonesia. Sementara itu, jumlah tenaga kerjanya yang terlibat mencapai 90,9 juta orang atau 97,0 persen dari seluruh tenaga kerja Indonesia. Pada tahun yang sama, jumlah koperasi adalah sebanyak 155 ribu unit, dengan jumlah anggota mencapai sekitar 26,8 juta orang. Produktivitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga menunjukkan peningkatan sebesar 3,0 persen pada tahun 2008 dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan produktivitas ini masih lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan produktivitas per unit usaha secara nasional sebesar 3,2 persen. Sementara itu, peran ekspor nonmigas UMKM pada tahun 2008 menunjukkan kontribusi yang cukup besar, yaitu 20,2 persen dari total ekspor nonmigas nasional. I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Upaya pemberdayaan koperasi dan UMKM telah dilakukan dengan langkah-langkah yang nyata. Namun, di masa depan UMKM masih menghadapi beberapa permasalahan sebagai berikut. Permasalahan yang terkait dengan iklim usaha yang kurang kondusif menjadi penghambat bagi tumbuhnya UMKM. Salah 20 - 2 satunya adalah masih besarnya biaya transaksi usaha sebagai akibat dari ketidakpastian dan ketidakjelasan prosedur perizinan, panjangnya proses perizinan dan timbulnya berbagai pungutan tidak resmi, serta masih adanya praktik bisnis serta persaingan usaha yang tidak sehat. Produktivitas UMKM sudah menunjukkan peningkatan, tetapi nilainya masih sangat kecil dibandingkan dengan produktivitas usaha besar. Hal ini mengakibatkan produk yang dihasilkan kurang memiliki kemampuan untuk bersaing dan kualitas yang baik yang dapat memenuhi permintaan pasar domestik dan pasar internasional. Masih rendahnya produktivitas UMKM ini diakibatkan antara lain, oleh rendahnya kualitas dan kompetensi kewirausahaan sumber daya manusia. Selain itu, keterbatasan modal dan penguasaan teknologi pada sektor usaha mikro dan kecil berakibat sangat sulit untuk meningkatkan nilai tambah usahanya sehingga pendapatan yang diperoleh juga masih rendah. Demikian pula, kualitas kerja UMKM yang kurang baik berdampak pada lingkungan kerja dan produk yang dihasilkan menjadi kurang berdaya saing. UMKM juga masih menghadapi kendala keterbatasan pada akses pemasaran yang mempengaruhi UMKM dalam meningkatkan kapasitas produksi dan usahanya. Permasalahan khusus yang dihadapi dalam pemberdayaan koperasi adalah belum meluasnya pemahaman tentang koperasi sebagai badan usaha yang memiliki struktur kelembagaan dan insentif yang unik/khas dibandingkan dengan badan usaha lainnya. Di samping itu, masih banyak masyarakat yang kurang memahami prinsip-prinsip dan praktik-praktik yang benar dalam berkoperasi. Koperasi dan UMKM juga menghadapi tantangan terutama yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan bersamaan dengan cepatnya tingkat kemajuan teknologi. 20 - 3 II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI Kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM secara umum diarahkan terutama untuk mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional melalui: (1) peningkatan ekonomi lokal dengan mengembangkan usaha skala mikro dalam rangka mendukung peningkatan pendapatan kelompok masyarakat berpendapatan rendah; dan (2) peningkatan produktivitas dan akses UKM pada sumber daya produktif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk ekonomi daerah, sekaligus menciptakan lapangan kerja. Dalam rangka mendukung peningkatan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah melalui peningkatan ekonomi lokal, kota, dan perdesaan, pemberdayaan usaha mikro difokuskan untuk mendorong pertumbuhan yang berpihak pada rakyat miskin. Langkah kebijakannya yaitu: (1) meningkatkan kapasitas dan memperluas jangkauan lembaga keuangan mikro (LKM) baik dengan pola bagi hasil, konvensional, maupun melalui dana bergulir; (2) meningkatkan kemampuan pengusaha mikro dalam aspek manajemen usaha dan teknis produksi; (3) meningkatkan fasilitasi pengembangan sarana dan prasarana usaha mikro; (4) meningkatkan fasilitasi pembinaan sentra-sentra produksi tradisional dan usaha ekonomi produktif terisolir dan daerah tertinggal/perbatasan. Dalam kaitannya dengan peningkatan akses UMKM kepada sumber daya produktif, langkah kebijakannya meliputi: (1) meningkatkan akses modal UMKM kepada lembaga keuangan dengan mendorong pemanfaatan skim penjaminan kredit dan kredit usaha rakyat (KUR), khususnya untuk investasi produktif di sektor agribisnis dan industri; (2) meningkatkan kemampuan UMKM dalam pengajuan investasi usaha dengan skim penjaminan kredit melalui pembinaan oleh lembaga layanan usaha (Business Development Service Provider - BDS-P); (3) meningkatkan fasilitas pemasaran dan promosi ekspor produk-produk UKM dan koperasi; dan (4) meningkatkan akses teknologi dan inovasi dengan menyediakan fasilitas layanan teknologi dan pusat inovasi. Seiring dengan peningkatan akses tersebut, langkah kebijakan pemberdayaan 20 - 4 UMKM lainnya adalah meningkatkan wirausaha yang tangguh dan kompetitif, serta berwawasan iptek dan inovatif. Kebijakan penting lainnya yang mendukung terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi UMKM adalah (1) menyelesaikan penyusunan turunan peraturan pelaksanaan RUU tentang UMKM dan koperasi; (2) meningkatkan formalisasi badan usaha UMKM; (3) memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan dan regulasi yang menghambat usaha dan investasi, baik di pusat maupun di daerah. Sementara itu, langkah kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas kelembagaan koperasi meliputi: (1) meningkatkan pelaksanaan pembinaan, pengawasan, dan penilaian perkoperasian; dan (2) pelatihan dan pemasyarakatan praktik-praktik koperasi terbaik, sekaligus bimbingan teknis penerapan akuntabilitas koperasi. A. Penciptaan Iklim bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Dalam rangka menciptakan iklim bagi usaha mikro, kecil, dan menengah yang kondusif, telah dilakukan berbagai kegiatan yaitu: (a) penguatan status badan hukum koperasi; (b) penyempurnaan Undang-Undang (UU) No. 25/1992 tentang Perkoperasian; (c) penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang UMKM; dan (d) penelaahan peraturan perundang-undangan. Orientasi pembinaan koperasi lebih diarahkan pada penciptaan iklim usaha yang kondusif dan pemberian kesempatan yang seluasluasnya kepada masyarakat di bidang perkoperasian. Untuk itu, Pemerintah telah melakukan upaya penguatan status badan hukum koperasi. Sejak tahun 2005 sampai dengan 2009 telah dilakukan pengumuman badan hukum koperasi sebanyak 27.366 koperasi, pembekalan perkoperasian bagi 5.828 notaris sebagai notaris pembuat akta koperasi, serta pengesahan 873 koperasi primer dan 165 koperasi sekunder. Pemerintah telah melakukan upaya penyempurnaan UU No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian. Upaya ini telah dimulai pada tahun 2005, yaitu dengan melakukan koordinasi pembahasan tim antardepartemen. Kedua instansi melakukan harmonisasi, sinkronisasi pembulatan konsepsi atas materi Rancangan UndangUndang (RUU) Koperasi dan disampaikan kepada Presiden. Pada 20 - 5 tahun 2008, DPR-RI, telah memutuskan bahwa RUU Koperasi masuk ke dalam RUU prioritas tahun 2009. Beberapa hal pokok dalam klausul yang perlu dipertimbangkan perubahannya adalah klausul tentang pembentukan koperasi, keanggotaan koperasi, perangkat organisasi, modal, jenis koperasi dan lapangan usaha, sisa hasil usaha, pengertian koperasi, dan prinsip-prinsip koperasi. Pada tahun 2008, pemerintah telah menerbitkan UU No. 20 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. UU tersebut bertujuan untuk: (a) mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang dan berkeadilan; (b) menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan UMKM menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan (c) meningkatkan peran UMKM dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan. Pada tahun 2009, akan diselesaikan peraturan pemerintah pelaksanaan dari UU ini yang meliputi: (a) PP persyaratan dan tata cara permohonan izin usaha; (b) PP tata cara pengembangan, prioritas, instansitas dan jangka waktu pengembangan; (c) PP pola kemitraan; (d) PP koordinasi dan pengendalian pemberdayaan UMKM; dan (e) PP tata cara pemberian sanksi administratif. Pemerintah telah melakukan penelaahan peraturan perundangundangan pada tingkat Nasional dan Daerah yang menghambat pemberdayaan KUMKM. Pada tahun 2005 Pemerintah telah menelaah 40 Perda yang dinilai menghambat untuk dilakukan pembatalan, pada tahun tersebut ada 13 Perda yang dibatalkan. Pada tahun 2006 telah ditelaah 50 Perda dan dibatalkan sebanyak 36 Perda. Sementara itu, pada tahun 2007 Pemerintah telah melakukan penelaahan 50 Perda dan membatalkan 11 Perda. Pada tahun 2008 telah pula dilaksanakan evaluasi terhadap 100 Perda yang berkaitan dengan KUMKM, dan terdapat 40 Perda yang diusulkan untuk dibatalkan karena dapat menghambat perkembangan KUMKM. 20 - 6 B. Pengembangan Kewirausahaan dan Keunggulan Kompetitif Dalam rangka mengembangkan jiwa dan semangat kewirausahaan serta meningkatkan daya saing UMKM dan koperasi, beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain adalah: (a) pengembangan pengadaan pangan (koperasi) dengan sistem bank padi; (b) pengembangan usaha koperasi di bidang pengadaan dan penyaluran sarana produksi (Saprodi); (c) pengembangan usaha (koperasi) di bidang budi daya kakao dan tanaman karet; (d) pengembangan usaha di bidang ketenagalistrikan; (e) pengembangan sarana penunjang produksi pabrik es dan cold storage; dan (d) pengembangan sumber daya manusia koperasi dan UMKM. Kegiatan pengembangan pengadaan pangan (koperasi) dengan sistem bank padi merupakan kegiatan usaha pengadaan pangan berdasarkan tunda jual dan secara menyeluruh kegiatannya mencakup penyimpanan gabah, pengeringan dan penggilingan gabah petani di koperasi. Dengan demikian, anggota koperasi dan masyarakat petani dapat memperoleh nilai tambah atas gabah yang disimpan di koperasi. Pada periode tahun 2005-2008, telah diberikan bantuan pengembangan kepada 44 koperasi. Fasilitas yang diberikan Pemerintah adalah modal kerja dan modal investasi berupa mesin pembersih padi, pengering, silo, penggilingan dan kelengkapannya. Dalam upaya pengadaan dan penyaluran pupuk serta meningkatkan produktivitas padi, sekaligus meningkatkan peran koperasi dalam pelayanan kepada anggotanya, Pemerintah telah memperkuat usaha Koperasi Unit Desa (KUD) melalui kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi, khususnya pupuk. Jumlah koperasi yang telah difasilitasi oleh Pemerintah dalam kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi adalah 51 koperasi di 13 provinsi selama periode tahun 2006—2007. Koperasi yang mendapatkan bantuan penguatan dapat menyediakan sarana produksi tepat waktu dan dengan harga yang semakin terjangkau sehingga peran koperasi semakin nyata. Pemerintah mendukung pemberdayaan UMKM di bidang perkebunan, seperti kakao dan tanaman karet. Dukungan Pemerintah terhadap UMKM diwujudkan melalui perluasan, peremajaan, dan 20 - 7 rehabilitasi tanaman perkebunan kakao dan tanaman karet. Pada tahun 2005 telah diberikan bantuan 2 juta batang kakao kepada 2 koperasi. Pada tahun 2006 telah diberikan bantuan 4 juta batang kakao kepada 37 koperasi. Pada tahun 2007 telah diberikan bantuan 5 juta batang kakao kepada 62 koperasi. Untuk tanaman karet, telah diberikan bantuan penguatan pengadaan bibit karet sebanyak 4,8 juta batang kepada 41 koperasi pada tahun 2007. Manfaat yang diperoleh UMKM di bidang perkebunan ini adalah meningkatnya produktivitas dan pendapatan UMKM, sekaligus meningkatnya peran koperasi dalam memenuhi kebutuhan anggotanya secara lebih mudah dan efisien. Dalam rangka memberikan bantuan UMKM di daerah terpencil yang belum mendapatkan akses listrik dari PLN, Pemerintah telah mengembangkan usaha di bidang ketenagalistrikan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Pada tahun 2005 diberikan bantuan dana untuk pembangunan PLTMH kepada 1 koperasi di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan; pada tahun 2007 telah diberikan bantuan pembangunan PLTMH kepada 2 koperasi di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu dan Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Selain dapat memenuhi kebutuhan listrik di daerah terpencil tersebut, pembangunan PLTMH itu juga dapat menciptakan peluang usaha lainnya bagi UMKM. Pemerintah mendukung pemberdayaan UMKM di bidang perikanan. Pemerintah memberikan fasilitas alat pendingin, karena UMKM nelayan sangat membutuhkan alat tersebut secara mudah dan cepat. Untuk itu, pada tahun 2005 dibangun pabrik es sebanyak 6 unit di Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB. Tahun 2006 juga telah direalisasikan pembangunan pabrik es sebanyak 3 unit di Jawa Tengah dan di Bali dan pada tahun 2007 Pemerintah juga telah membantu pabrik sebanyak 2 unit di Jawa Timur dan DI Yogyakarta. Pengembangan sumber daya manusia UMKM memegang peranan penting dalam pembentukan SDM yang berkualitas, tangguh, berdaya saing, dan mandiri. Oleh karena itu, Pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan antara lain di bidang kewirausahaan, keterampilan teknis, dan teknis manajerial. Diklat kewirausahaan dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan jiwa dan semangat kewirausahaan bagi 20 - 8 UMKM. Pemerintah pusat dan daerah telah menyelenggarakan diklat ini kepada 13.600 orang pada periode tahun 2005—2008. Diklat manajerial bagi UMKM ditujukan untuk meningkatkan kemampuan mengelola usahanya. Pada periode yang sama, Pemerintah Pusat dan Daerah telah melatih sebanyak 27.326 orang. Sementara itu, diklat keterampilan teknis ditujukan untuk meningkatkan keterampilan yang bersifat teknis, serta meningkatkan mutu produk. Untuk itu, selama periode tahun 2005—2008 telah dilatih sebanyak 6.247 orang. Pengembangan tempat praktik keterampilan usaha (TPKU) bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis dan manajemen usaha bagi para peserta didik di lembaga pendidikan pedesaan/santri. Kegiatan ini sangat bermanfaat untuk menciptakan calon wirausaha di berbagai bidang yang mampu mengembangkan usaha secara mandiri, sekaligus juga meningkatkan peran serta lembaga diklat pedesaan. Bidang keterampilan usaha yang dikembangkan melalui TPKU, antara lain otomotif, elektronik, konveksi, industri kerajinan, dan agribisnis. Pada periode tahun 2005—2008, pengembangan TPKU telah dilaksanakan pada 716 unit. Dalam rangka meningkatkan kapasitas lembaga keuangan mikro (LKM), Pemerintah telah mengembangkan peningkatan kualitas SDM pengelola LKM agar memiliki kompetensi di bidangnya. Kepemilikan kompetensi ini dibuktikan dengan pemberian sertifikasi profesi melalui proses pendidikan dan pelatihan serta uji kompetensi. Kegiatan pengembangan standardisasi dan sertifikasi pengelola LKM dilaksanakan sejak tahun 2007 kepada 266 orang. C. Pengembangan Sistem Pendukung usaha UMKM Dalam rangka mempermudah, memperlancar, dan memperluas akses UMKM kepada sumber daya produktif, Pemerintah telah melaksanakan kegiatan, antara lain: (a) promosi produk KUMKM; (b) pengembangan sarjana pencipta kerja mandiri; (c) pengembangan sentra/klaster UMKM; dan (d) pengembangan pembiayaan kepada UMKM. 20 - 9 Dalam upaya promosi produk-produk KUMKM, Pemerintah memfasilitasi keikutsertaan KUMKM dalam pameran di dalam dan luar negeri. Kegiatan yang diselenggarakan setiap tahun adalah Small Medium Enterprises and Cooperative (SMEsCo) Festival yang menjadi ajang interaksi bisnis dan investasi para pelaku usaha. Selain itu, beberapa pameran yang dilaksanakan di dalam negeri, antara lain adalah Pameran Inter-Food-Inter-Pak, Festival Batik Pekalongan, Pameran Produk Ekspor (PPE), Pameran dan Festival Kerajinan KUMKM Indonesia, dan Pameran Tematik Industri Kerajinan. Pada tahun 2008, Pemerintah telah memfasilitasi 285 KUMKM pada 18 pameran. Dalam rangka perluasan pasar produk KUMKM potensial ekspor, pada periode tahun 2005–2009 telah dilaksanakan program promosi produk KUMKM melalui pameran luar negeri di 5 zona perdagangan, yaitu Asia, Eropa, Australia, Timur Tengah, dan Afrika. Dalam kesempatan tersebut telah difasilitasi sekitar 500 KUMKM dengan produk antara lain furniture, aksesori rumah (home accessories), garmen, perhiasan (jewellery), dan kerajinan tangan (handycraft). Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, Pemerintah sejak tahun 2005 telah memfasilitasi pembangunan infrastruktur promosi produk-produk KUKM berbasis web, yaitu SMESCO Indonesia Trading Board dengan alamat www.indonesian-products.biz. Sampai dengan tahun 2009, KUKM yang telah dipromosikan melalui Trading Board berjumlah 2.661 KUKM dari 16 provinsi. Untuk semakin memperluas akses informasi ini, Pemerintah telah menerbitkan SMESCO Indonesia Catalogue yang memuat 200 produk unggulan. Katalog tersebut didistribusikan kepada maskapai penerbangan, Kedutaan Indonesia, Atase Perdagangan Indonesia, dan KADIN yang ada di luar negeri, Kedutaan Asing yang ada di Jakarta, dan hotel-hotel berbintang di kota-kota besar di Indonesia. Dalam upaya memantapkan jaringan bisnis KUKM, Pemerintah memfasilitasi pengembagan ritel modern melalui Koperasi dengan pola SMEsCo Mart. SMEsCo Mart merupakan peningkatan waserda yang dimiliki koperasi dengan pola modern. Sampai dengan tahun 2008, Pemerintah telah mengembangkan 20 - 10 SME’sCo Mart sebanyak 92 Koperasi di 50 Kab/Kota pada 7 Provinsi. Untuk pengembangan aktivitas perdagangan dan peningkatan promosi KUKM di wilayah timur, pada tahun 2006 Pemerintah bekerja sama dengan pemerintah daerah memfasilitasi pembangunan Celebes Exhibition Centre (CCC) di Sulawesi Selatan. Selain itu, dukungan juga diberikan pada pembangunan pusat promosi KUKM di Kalimantan Barat (Borneo Convention Centre), Jawa Barat (Sentra Bisnis KUKM-SENBIK), Sulawesi Utara (Paradise Convention Centre), dan Sumatera Selatan (Sriwijaya Convention Centre). Pemerintah juga telah membangun sarana pameran di Gedung SMEsCo Promotion Centre (SPC) di Jakarta dengan sarana Convention Centre dan fasilitas/sarana promosi lainnya. Dalam rangka memberdayakan potensi sarjana dan potensi ekonomi lokal, Pemerintah melaksanakan kegiatan sarjana pencipta kerja mandiri (Prospek Mandiri). Kegiatan ini bertujuan: (a) menciptakan wirausaha baru yang mampu menciptakan kesempatan kerja; (b) mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya manusia terdidik dalam menggerakkan perekonomian daerah; dan (c) memanfaatkan teknologi dan sumber daya lokal yang memiliki keunggulan kompetitif. Kegiatan ini dilaksanakan pada tahun 2006— 2007 dan telah merealisasikan pembentukan 41 Koperasi yang melibatkan 990 orang sarjana di 31 Kabupaten/Kota pada 14 provinsi. Pemberdayaan UMKM akan lebih efektif melalui pengembangan sentra/gugus, sehingga dapat menumbuhkan pusatpusat pertumbuhan ekonomi lokal yang berdampak pada peningkatan perekonomian regional dan nasional. Pada tahun 2005, Pemerintah telah memfasilitasi penguatan bagi pengembangan 50 sentra UMKM yang meliputi sentra pertanian, sentra peternakan, sentra perikanan, sentra industri dan kerajinan, dan sentra makanan dan minuman. Fasilitasi sentra diprioritaskan kepada kabupaten/kota pemekaran yang belum ada sentra binaannya dan sentra daerah-daerah potensial yang masih dapat dikembangkan. Penguatan diberikan melalui: (a) bantuan penguatan modal awal dan padanan (MAP) kepada 50 koperasi simpan pinjam/unit simpan pinjam koperasi (KSP/USPKoperasi) untuk disalurkan kepada UMKM Sentra; (b) penguatan 20 - 11 dana operasional kepada 50 Lembaga business development services - Providers (BDS-P), sebagai biaya operasional dalam memberikan layanan pengembangan bisnis bagi UMKM di sentra-sentra tersebut. Berkaitan dengan pengembangan sentra/gugus, Pemerintah mendorong penggunaan teknologi tepat guna (TTG) pada sentrasentra UMKM. Pada tahun 2006, Pemerintah memberikan penguatan pemanfaatan TTG kepada 10 koperasi di 8 provinsi. Kegiatan ini bertujuan untuk memodernkan alat pengolahan produk sentra UMKM agar produk yang dihasilkan lebih berdaya saing. Demikian pula pada tahun 2007, Pemerintah memfasilitasi TTG kepada 10 sentra di 10 provinsi. Dalam upaya mendorong usaha kecil dan menengah (UKM) agar mampu bersaing dan meningkatkan kapasitas usahanya, Pemerintah menfasilitasi kegiatan pengembangan UKM di kawasan industri. Kegiatan ini merupakan kegiatan rintisan dan baru dilaksanakan di 2 kawasan yaitu Kawasan Industri Jababeka, Cikarang Provinsi Jawa Barat dan Kawasan Industri Candi, Semarang Propinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2006, Pemerintah bekerja sama dengan PT PNM Venture Capital telah memfasilitasi pengembangan 7 UKM di Kawasan Industri Jababeka. Pada Tahun 2007, Pemerintah bekerja sama dengan PT Sarana Jateng Ventura telah memfasilitasi pengembangan 18 UKM di Kawasan Industri Candi Jawa Tengah. Selain itu, Pemerintah juga telah bekerja sama dengan PT Sarana Jabar Ventura untuk mengembangkan 7 UKM di Kawasan Industri Jababeka Jawa Barat. Melalui dukungan tersebut, khususnya Kawasan Industri Candi telah melakukan ekspor furnitur ke beberapa Negara di Eropa. Dalam rangka meningkatkan akses UMKM kepada permodalan, Pemerintah telah membantu penyediaan dana modal awal padanan (MAP) melalui KSP/USP, lembaga ventura, dan inkubator. Sejak tahun 2005 sampai dengan saat ini telah diberikan penguatan kepada 1.355 UMKM di sentra melalui 50 KSP/USP. Sementara itu, pada periode tahun 2005—2007 perkuatan MAP melalui lembaga modal ventura telah diberikan kepada kepada 488 UMKM melalui 23 lembaga modal ventura daerah. Penyediaan dan MAP melalui inkubator telah disalurkan kepada 107 UKM-tenant di 10 Lembaga Inkubator sampai dengan tahun 2007. 20 - 12 Pada tahun 2007, Pemerintah melaksanakan skema pembiayaan khusus yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi koperasi dan UMKM yang memiliki potensi usaha yang layak, tetapi tidak memenuhi persyaratan teknis perbankan. KUR dilaksanakan dengan melibatkan instansi-instansi yang secara lintas sektoral melakukan pemberdayaan koperasi dan UMKM dengan mengikutsertakan 6 bank pelaksana (Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri) serta Perum Jamkrindo dan PT Askrindo sebagai lembaga penjamin. Realisasi penyaluran KUR sampai dengan Mei 2009 adalah sebesar Rp14,5 triliun untuk 1,9 juta debitur, dengan rata-rata kredit senilai Rp7,4 juta. Distribusi penyaluran KUR yang paling besar adalah di sektor perdagangan, restoran & hotel; dan sektor pertanian dengan sebaran masingmasing sebesar 55,0 persen dan 26,5 persen. Sementara itu, pemanfaatan KUR terbesar adalah di pulau Jawa dan Sumatera dengan proporsi masing-masing sebesar 48,9 persen dan 23,6 persen. Selain itu, dalam kerangka pembiayaan kepada UMKM, pada tahun 2006 Pemerintah telah menginisiasi pembentukan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB). Dalam pelaksanaannya LPDB melakukan penghimpunan dana bergulir yang telah disalurkan oleh Kemeneg KUKM. Pada tahun 2008, LPDB telah melakukan pembiayaan kepada 11 perusahaan ventura, 2 koperasi sekunder, dan 1 Induk Koperasi Syariah. Skim pendanaan bagi UMKM lainnya yang khusus bagi petani adalah melalui Sistem Resi Gudang (SRG). Skim pendanaan ini untuk memperluas akses agar UMKM mendapatkan pembiayaan yang mudah dan dapat diakses pada saat yang tepat. Skim pendanaan komoditas koperasi dan UMKM disalurkan untuk membiayai modal kerja koperasi dan UMKM dengan jaminan resi gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Resi gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Jenis komoditas yang dapat dibiayai melalui skim pendanaan komoditas, antara lain, gabah, beras, jagung, gula pasir, kacang kedelai, pupuk, dan komoditas lain yang memenuhi persyaratan untuk memperoleh pendanaan komoditas. Pemerintah telah memulai percontohan SRG di KUD Kabupaten Karawang, Jawa Barat. 20 - 13 Dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan bagi koperasi, Pemerintah juga telah memperkenalkan instrumen utang koperasi melalui penerbitan surat utang koperasi (SUK). Penerbitan SUK dimaksudkan untuk membantu KSP/USP koperasi memenuhi kebutuhan likuiditas jangka panjang di luar perbankan. Pada umumnya, koperasi memperoleh sumber dana jangka pendek, tetapi disalurkan sebagai pinjaman untuk jangka waktu yang lebih panjang sehingga koperasi akan mengalami kesulitan dalam mengelola aliran kasnya. Dengan adanya SUK ini, aliran kas koperasi dapat dikelola secara sehat. Pihak yang terkait dengan program penerbitan SUK adalah: (a) PT Pos Indonesia (Persero) yang melakukan penatalaksanaan Dana Sekuritisasi Aset dan mewakili Pemerintah dalam melakukan pembayaran, pengumpulan setoran dan pengguliran dana, serta membukukan dan mencatat atas transaksi pembayaran SUK; dan (b) koperasi sekunder simpan pinjam yang memiliki pengalaman dan kemampuan dalam membiayai koperasi untuk mengintegrasikan sistem simpan pinjam. Realisasi program penerbitan SUK sampai dengan akhir Juni 2009 diikuti oleh 59 Koperasi penerbit SUK. D. Pemberdayaan Usaha Skala Mikro Pemberdayaan usaha mikro ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang berusaha dalam skala usaha mikro. Pemerintah telah memberikan berbagai fasilitas bantuan antara lain adalah: (a) kredit usaha dari dana Surat Utang Pemerintah (SUP005); (b) perkuatan permodalan dengan pola kemitraan; (c) linkage program antara Bank Umum dengan koperasi; (d) pembiayaan produktif konvensional dan syariah; (e) bantuan dana bergulir sektoral; dan (f) bantuan sarana pasar. Pemerintah telah mengeluarkan skema kredit usaha dari dana SUP-005. Skema kredit ini bertujuan meningkatkan akses usaha mikro dan kecil kepada pembiayaan investasi dan modal dengan persyaratan yang relatif ringan dan terjangkau. Dana yang disalurkan melalui skema ini, telah memberikan manfaat bagi 146 koperasi dan 351.408 usaha mikro dan kecil dengan komposisi: sektor perdagangan, restoran, dan hotel 78,7 persen, sektor Jasa dan lainnya 10,7 persen serta sektor pertanian 5,5 persen. Sementara itu, 20 - 14 penyaluran kredit dari dana SUP-005 yang dilakukan oleh Perum Pegadaian menggunakan skim kredit yang dinamakan Kredit Usaha Rumah Tangga (KRISTA). Target pembiayaan dikhususkan bagi pelaku usaha mikro di kalangan kaum perempuan, terutama di pasarpasar. Sampai saat ini, program KRISTA yang disalurkan oleh Perum Pegadaian telah mencapai sebesar Rp102,8 miliar dan telah dimanfaatkan oleh 59.733 nasabah. Pemerintah telah melaksanakan kegiatan bantuan penguatan struktur keuangan koperasi dengan pola dana bergulir kemitraan. Dana bergulir kemitraan ini bertujuan untuk memberdayakan usaha mikro dan kecil yang tergabung dalam koperasi untuk mengembangkan komoditas unggulan di wilayahnya. Dana bergulir kemitraan dijadikan sebagai dana padanan oleh koperasi untuk bermitra dengan lembaga keuangan bank maupun nonbank/investor yang telah melakukan penilaian kelayakan terhadap komoditas unggulan yang akan dikembangkan. Pada tahun anggaran 2005, dana bergulir dengan pola kemitraan telah disalurkan kepada tiga koperasi. Upaya peningkatan dan perluasan sumber-sumber pembiayaan kepada usaha mikro dilakukan juga melalui peningkatan sinergi antara lembaga keuangan bank dan koperasi melalui Linkage Program. Perkembangan pelaksanaan Linkage Program antara bank umum koperasi, saat ini telah mencapai Rp8,9 triliun yang disalurkan melalui 1.847 koperasi dari 14 bank umum. Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, Pemerintah telah menyediakan pembiayaan produktif bagi usaha mikro dengan pola konvensional dan syariah melalui koperasi. Pembiayaan ini juga sekaligus untuk memperkuat struktur keuangan koperasi. Untuk pembiayaan produktif pola konvensional telah disalurkan sebesar Rp202,9 miliar kepada 2.127 KSP-USP Koperasi, sedangkan untuk pola syariah telah disalurkan sebesar Rp191,5 miliar kepada 1.883 Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa Syariah Koperasi (KJKS/UJKS Koperasi). Untuk usaha mikro yang bergerak di sektor agribisnis, Pemerintah telah mengembangkan penguat dana bergulir sektoral. Penguatan diberikan melalui koperasi untuk kemudian disalurkan 20 - 15 kepada anggotanya. Jumlah dana penguatan yang telah disalurkan pada periode tahun 2005—2007 adalah sebesar Rp165,7 miliar kepada 292 koperasi. Pemerintah juga memberikan dukungan perkuatan kepada perempuan pengusaha skala mikro melalui kegiatan perempuan keluarga sehat dan sejahtera (PERKASSA). Pemerintah menyalurkan permodalan dengan pola dana bergulir kepada setiap koperasi sebesar Rp100 juta. Kemudian, koperasi penerima menyalurkannya kepada anggota sebagai pinjaman dengan bunga atau bagi hasil yang ditentukan oleh Rapat Anggota. Realisasi penyaluran PERKASSA pada periode tahun 2006–2007 adalah sebesar Rp44,3 miliar kepada 443 koperasi. Dalam perkembangannya sampai dengan Maret 2009, dana tersebut telah disalurkan oleh koperasi dan dimanfaatkan oleh 11.016 perempuan pengusaha skala mikro. Dalam rangka mendukung upaya penataan lokasi dan penertiban pedagang kaki lima (PKL), Pemerintah Pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah memberikan dukungan penguatan pengembangan sarana usaha PKL melalui Koperasi. Sampai dengan tahun 2008, sudah difasilitasi 16 lokasi PKL di 13 provinsi dan bantuan penguatan kepada 2.319 usaha mikro. Sementara itu, pada tahun 2009 Pemerintah melaksanakan program stimulus fiskal untuk penataan 13 sarana usaha PKL di 13 kabupaten/kota di 32 provinsi. Dukungan penguatan pasar tradisional yang diberikan Pemerintah ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan fungsi pasar tradisional melalui rehabilitasi pasar tradisional. Dengan demikian, dapat diwujudkan kondisi pasar yang layak, bersih, teratur, nyaman dan aman, serta dikelola secara profesional. Selain itu, para pedagang mendapatkan kepastian lokasi usaha dengan didukung peran kelembagaan koperasi di dalamnya. Pasar tradisional yang telah dikembangkan sebanyak 71 unit pada periode tahun 2005—2008. Sementara itu, pada tahun 2009 dilaksanakan program stimulus pembangunan pasar tradisional sebanyak 91 unit. 20 - 16 E. Peningkatan Kualitas Kelembagaan Koperasi Koperasi diharapkan dapat ditingkatkan kualitasnya agar mampu tumbuh dan berkembang sesuai jati dirinya menjadi wadah kepentingan bersama bagi anggotanya. Pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kualitas koperasi antara lain: (a) klasifikasi koperasi dan pencapaian koperasi berkualitas; (b) sosialisasi pembentukan koperasi; (c) pendidikan perkoperasian; dan (d) pengembangan kerja sama koperasi pertanian se ASEAN. Untuk mengetahui kinerja dan kualifikasi koperasi Indonesia, dan mendorong pelaksanaan prinsip-prinsip koperasi, Pemerintah telah melakukan upaya intensif dan terpadu dengan klasifikasi koperasi. Pada periode tahun 2006-2008, telah dilakukan klasifikasi koperasi sebanyak 33.463 koperasi dengan rincian 4.796 koperasi klasifikasi A, 14.240 koperasi klasifikasi B, 14.458 koperasi klasifikasi C. Hasil dari klasifikasi akan menjadi bahan bagi penetapan kebijakan pengembangan koperasi dan menjadi sumber informasi bagi pihak lain yang memerlukan kerja sama dengan koperasi. Selanjutnya, Pedoman Klasifikasi Koperasi disempurnakan menjadi Pedoman Pemeringkatan Koperasi yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor 22/Per/M.KUKM/IV/2007. Pada tahun 2007, dihasilkan 7.918 koperasi yang berperingkat dengan rincian: (a) 4 koperasi berperingkat sangat berkualitas, (b) 2.592 koperasi berperingkat berkualitas, dan (c) 5.322 koperasi berperingkat cukup berkualitas. Sementara itu, pada tahun 2008 dihasilkan 886 koperasi yang berperingkat dengan rincian: (a) 22 koperasi berperingkat berkualitas, dan (b) 864 koperasi berperingkat cukup berkualitas. Dalam rangka penguatan permodalan bagi koperasi sivitas akademika (KOSIKA), Pemerintah telah memberikan bantuan modal kepada 10 unit KOSIKA yang tersebar di 10 provinsi pada tahun 2007. Penguatan permodalan KOSIKA akan dapat dirasakan manfaatnya oleh 1.250 orang anggota koperasi. Dalam rangka peningkatan kualitas dan jumlah koperasi, Pemerintah melakukan sosialisasi pembentukan koperasi. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kelompok usaha 20 - 17 masyarakat terutama yang sudah memiliki usaha produktif menjadi lembaga yang berbentuk koperasi. Pada tahun 2008, telah dilakukan sosialisasi pembentukan koperasi wanita di 4 provinsi. Untuk meningkatkan peran koperasi di bidang pertanian dan sekaligus dalam mengantisipasi perekonomia dunia yang semakin kompetitif, Indonesia telah berpartisipasi dalam kerja sama koperasi se-ASEAN. Wadah Kerja sama diwujudkan melalui pembentukan ASEAN Center for The Development of Agricultural Cooperative (ACEDAC). Anggotanya adalah gerakan koperasi dari negara-negara anggota ASEAN. Pada tahun 2008, telah diadakan sidang tahunan di Lao PDR yang menghasilkan: (a) kesepakatan pelaksanakan Strategy Alliances Project untuk Dairy Product Marketing oleh Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI); (b) penyelenggaraan exchange visit yang bertujuan untuk meningkatkan wawasan bagi pengurus maupun pengelola koperasi; dan (c) penguatan kerja sama negaranegara ASEAN dengan Jepang. Dalam upaya meningkatkan kualitas SDM koperasi, Lembaga Pendidikan Koperasi (LAPENKOP) telah menyelenggarakan diklat perkoperasian. Diklat ini ditujukan kepada anggota koperasi, pengurus koperasi dan pengawas koperasi. Selama periode tahun 2005-2008 telah dilatih sekitar 1,5 juta orang. Pemerintah juga pada periode tahun yang sama telah menyelenggarakan diklat perkoperasian kepada 14.280 orang yang terdiri anggota koperasi, pengurus koperasi, pengelola koperasi, pengawas koperasi maupun masyarakat yang akan membentuk koperasi. III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Beberapa tindak lanjut dalam memberdayakan koperasi dan UMKM perlu dilakukan, terutama adalah pada hal-hal berikut ini. 1) Menindaklanjuti Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai landasan yang kuat dalam memberdayakan UMKM pada masa mendatang, segera di tindaklanjuti sehingga menjadikan UMKM yang tangguh, kuat dan mandiri, serta lebih mendapat jaminan kepastian hukum. Untuk itu, diperlukan beberapa peraturan pelaksanaan, baik berupa peraturan presiden maupun peraturan pemerintah. 20 - 18 2) Perlu adanya penyempurnaan dalam pelaksanaan KUR melalui (a) penyempurnaan pelaksanaan penyaluran KUR mikro; (b) perluasan bank pelaksana penyaluran KUR; dan (c) peningkatan skema linkage yang melibatkan lembaga keuangan mikro (LKM) dan KSP/USP dalam penyaluran KUR. 3) Perlu adanya terobosan (rintisan) untuk mengembangkan sentra-sentra produksi di daerah terisolasi dan tertinggal/perbatasan. Tindak lanjut ini diperlukan agar masyarakat atau sentra-sentra produksi di daerah tertinggal/perbatasan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi lokal tiap-tiap daerah. 4) Penyediaan insentif dan dukungan bagi pengembangan inovasi dan teknologi untuk mendukung UKM dan koperasi dan wirausaha baru berbasis teknologi. Insentif ini terutama ditujukan bagi UKM yang berorientasi ekspor, subkontrak/penunjang, agribisnis/agroindustri dan yang memanfaatkan sumber daya lokal. 5) Penumbuhan wirausaha baru melalui dukungan fasilitasi praktek usaha yang melibatkan peran lembaga pendidikan pedesaan. Lembaga ini merupakan kelompok yang berperan mendorong proses trickle down effect dalam bidang ekonomi dan iptek. Pemberdayaan lembaga pendidikan pedesaan dalam kegiatan usaha koperasi dan kewirausahaan sekaligus ditujukan pada pengurangan pengangguran khususnya tenaga kerja terdidik yang sekaligus akan dapat mengatasi masalah keterbatasan kemampuan SDM koperasi. 6) Penyediaan dana melalui koperasi untuk sarana produksi bersama anggota yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas koperasi dan UMKM di bidang pertanian tanaman pangan, hortikultura, perikanan dan peternakan, pekebunan dan kehutanan, serta aneka usaha lainnya. 7) Revitalisasi lembaga pendidikan dan pelatihan perkoperasian dengan tujuan untuk meningkatkan ketersediaan tenaga pembina dan penyuluh perkoperasian di daerah. 

TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK

Tata Kelola Perusahaan Yang Baik/Good Corporate Governance (GCG) adalah struktur dan mekanisme yang mengatur pengelolaan perusahaan sehingga menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun pemangku kepentingan. Penerapan prinsip prinsip tata kelola perusahaan yang baik dapat berkontribusi dalam peningkatan kinerja perusahaan. Pemahaman ini mendasari komitmen PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) untuk senantiasa menegakkan penerapan GCG dalam setiap jenjang organisasi dan kegiatan operasionalnya.
Pelaksanaan prinsip GCG didasarkan pada Peraturan Menteri BUMN No. Per-01/MBU/2011 tanggal 1 Agustus 2011 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance (GCG) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyebutkan ketentuan serta pedoman pelaksanaan GCG di Perusahaan. Penjabaran landasan pelaksanaan GCG tersebut juga diperjelas dalam Anggaran Dasar Perusahaan, pedoman-pedoman dan berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Penerapan Azas GCG

Pelaksanaan semua kegiatan telah sesuai dengan prinsip dasar GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, kemandirian, pertanggungjawaban dan kewajaran.
Transparansi
Asas keterbukaan selalu diterapkan dalam menjalankan bisnis melalui penyediaan informasi yang material dan relevan serta dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Informasi yang seluas-luasnya diberikan kepada publik dan pemegang saham, dengan memperhatikan peraturan OJK maupun atas inisiatif sendiri. Laporan-laporan diterbitkan secara berkala dan tepat waktu, yang mencakup Laporan Keuangan Triwulan, Laporan Keuangan Semester, dan Laporan Keuangan Tahunan yang diaudit, serta Laporan Tahunan. Informasi juga diberikan melalui paparan publik, media cetak dan elektronik, serta forum investor.
Akuntabilitas
Perseroan memiliki sistem pengelolaan perusahaan yang mendukung terciptanya kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban kinerja organ perusahaan. Prinsip akuntabilitas diterapkan antara lain melalui langkah-langkah pelaporan Direksi kepada Dewan Komisaris mengenai rencana anggaran tahunan dan evaluasi bersama atas kinerja keuangan Perusahaan, penyampaian laporan keuangan pada RUPS Tahunan, pembentukan Audit Internal dan penunjukan auditor eksternal, serta pemberlakuan etika bisnis dan pedoman perilaku Perusahaan.
Pertanggungjawaban
Perseroan memiliki sistem pengelolaan perusahaan yang mendukung terciptanya kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban kinerja organ perusahaan. Prinsip akuntabilitas diterapkan antara lain melalui langkah-langkah pelaporan Direksi kepada Dewan Komisaris mengenai rencana anggaran tahunan dan evaluasi bersama atas kinerja keuangan Perusahaan, penyampaian laporan keuangan pada RUPS Tahunan, pembentukan Audit Internal dan penunjukan auditor eksternal, serta pemberlakuan etika bisnis dan pedoman perilaku Perusahaan.
Indepedensi
Perseroan selalu memastikan bahwa pengelolaan perusahaan dilakukan secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Sebagai contoh, Dewan Komisaris dan Direksi Perseroan memiliki pendapat yang independen dalam setiap keputusan yang diambil, namun dimungkinkan untuk mendapatkan saran dari konsultan independen, hukum, sumber daya manusia dan komite-komite untuk menunjang kelancaran tugasnya. Saat ini Dewan Komisaris Perseroan beranggotakan 3 (tiga) orang, 1 (satu) Komisaris Utama dan 2 (dua) lainnya Komisaris.
Kewajaran dan Kesetaraan
Di Perseroan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya selalu mendapatkan perhatian khusus. Perseroan juga selalu menerapkan perlakuan yang setara baik kepada publik, otoritas pasar modal, komunitas pasar modal, maupun para pemangku kepentingan. Sementara itu hubungan dengan karyawan dijaga dengan memperhatikan hak dan kewajibannya secara adil dan wajar.
Untuk memastikan bahwa penerapan asas-asas GCG dalam setiap aspek bisnis Perseroan, maka diperlukan peran aktif serta dukungan dari Dewan Komisaris dan Direksi. Peran aktif dan dukungan tersebut pada tahun 2014 diwujudkan melalui:
  • Pembaharuan Kebijakan & Prosedur Perseroan terkait Tata Kelola Perusahaan.
  • Pelaksanaan asesmen penerapan GCG Perseroan oleh Independent Assessor.
  • Sosialisasi Kebijakan & Prosedur Perseroan terkait Tata Kelola Perusahaan kepada para pemangku kepentingan.

Panduan Pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan

Segenap manajemen dan karyawan telah mewujudkan komitmen penerapan GCG melalui penandatanganan pakta integritas berdasarkan pedoman GCG yang diterapkan di seluruh tingkat organisasi dan kegiatan operasional Perseroan.

Asesmen GCG

Perseroan telah menunjuk Independent Assessor untuk menilai praktik GCG berdasarkan Pasal 44 ayat (5) Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-09/MBU/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. Per-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara juncto Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. Per-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara dan Surat Keputusan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara No. SK-16/S.MBU/2012 tentang Indikator/Parameter Penilaian dan Evaluasi atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara. Dari hasil asesmen tersebut, Perseroan memperoleh predikat "Baik".

Pelaporan Pelanggaran


Mekanisme Whistleblowing

Mekanisme/Prosedur Penerimaan Pelaporan Pelanggaran yang diduga dilakukan oleh Karyawan, Direksi, Dewan Komisaris, Organ Penunjang Dewan Komisaris, Kepala Divisi dan Organ Penunjang Direksi dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Melalui website www.smf-indonesia.co.id.
b. Menyampaikan surat yang ditujukan kepada Tim
Pengelola Pelaporan Pelanggaran, dengan cara diantar langsung atau melalui pos ke Perseroan dengan alamat:
Tim Pengelola Pelaporan Pelanggaran PT Sarana Multigriya Finansial (Persero)
Grha SMF, Jalan Panglima Polim I No.1 Melawai, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan, 12160.
Tel : 021 - 2700400
Fax : 021 - 2701400
Email: tim_pengelola_pelaporan@smf-indonesia.co.id

Sejak 26 Desember 2012 Perseroan telah menerbitkan Kebijakan dan Prosedur Pelaporan Pelanggaran yang telah disetujui oleh Direksi dan Dewan Komisaris berlaku.
Penerapan Kebijakan Pelaporan Pelanggaran merupakan upaya peningkatan kualitas pelaksanaan tata kelola perusahaan. Kebijakan ini memfasilitasi semua pihak baik pimpinan, karyawan, maupun pihak luar yang terkait dengan perusahaan untuk melakukan pelaporan pelanggaran. Pelanggaran tersebut meliputi penyimpangan atas etika bisnis, etika kerja, kebijakan perusahaan, peraturan perundangan yang berlaku, anggaran dasar perusahaan, perjanjian kontrak perusahaan dengan pihak luar, rahasia perusahaan, atau perbuatan lainnya yang dapat merugikan perusahaan maupun pemangku kepentingan yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan perusahaan. Pelaporan ditujukan kepada pimpinan perusahaan atau kelembagaan lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut.

Penggunaan Dan Output Whistleblowing System

Atas pelaporan pelanggaran yang diterima, Tim Pengelola Pelaporan akan melakukan proses
penanganan pelaporan dengan melakukan verifikasi atas laporan yang masuk berdasarkan catatan tim. Tim Pengelola Pelaporan Pelanggaran akan memutuskan perlu tidaknya dilakukan investigasi atas Pelaporan pelanggaran dalam waktu 30 (tiga puluh) hari dan.
dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Apabila hasil verifikasi menunjukkan bahwa Pelaporan tidak benar dan tidak ada bukti maka tidak akan diproses lebih lanjut, namun apabila hasil verifikasi menunjukkan adanya indikasi pelanggaran yang disertai bukti-bukti yang cukup, maka Pelaporan dapat diproses ke tahap investigasi..
Pelaku pelanggaran yang telah terbukti berdasarkan hasil investigasi, akan diproses sesuai dengan peraturan yang berlaku. Apabila hasil investigasi terbukti adanya pelanggaran disiplin oleh Karyawan, maka Tim Pengelola Pelaporan Pelanggaran dapat menindaklanjuti dengan melaporkan hasil investigasi kepada Direksi untuk ditindaklanjuti. Apabila hasil investigasi terbukti adanya pelanggaran oleh Karyawan yang mengarah ke tindak pidana, maka dapat ditindaklanjuti proses hukum yang berlaku kepada lembaga penegak hukum dengan Direksi sebagai pejabat penyerah perkara.

Implementasi Sistem Pelaporan Pelanggaran Di Tahun 2014

Selama tahun 2014 Tim Pengelola Pelaporan Pelanggaran tidak menerima laporan atas penyimpangan apapun di Perseroan.

Rencana Sistem Pelaporan Pelanggaran Di Tahun 2015

Pada tahun 2014, telah dilakukan pembahasan implementasi Sistem Pelaporan Pelanggaran di Perseroan. Atas hasil pembahasan tersebut, tahun 2015 direncanakan untuk dilakukan review dan perubahan Sistem Pelaporan Pelanggaran sehingga implementasinya dapat berjalan lebih efektif.

Perlindungan Pelapor

Perlindungan pelapor dimaksudkan untuk mendorong keberanian melaporkan pelanggaran.
Perlindungan pelapor meliputi:
  1. Jaminan kerahasiaan identitas pelapor dan isi laporan
  2. Jaminan keamanan bagi pelapor maupun keluarganya
  3. Jaminan perlindungan terhadap perlakuan yang merugikannya
Perseroan memberikan jaminan kerahasiaan identitas terlapor sampai berubah menjadi status terperiksa.

Pengelola Pengaduan Pelanggaran

Pengelola Pengaduan Pelanggaran adalah Tim Pengelola Pelaporan Pelanggaran yang dibentuk berdasarkan pengesahan Dewan Komisaris dan Direksi atas dokumen Kebijakan dan Prosedur Pengelolaan Laporan Pelanggaran V:01 T:12 2012 tertanggal 26 Desember 2012.
Tim dibentuk secara ad hoc berdasarkan SK Direksi sesuai laporan pelanggaran yang diproses. Tim terdiri dari:
  1. Kepala SPI
  2. Kepala Divisi SDM dan Umum
  3. Kepala Divisi Terkait

“Tunjauan Hukum Kelembagaan MA”



Inisiasi Tuton   : Ke-3
Mata
Kuliah  : Teori Perundang-Undangan
Program
Studi  : Ilmu Hukum
Fakultas    : FHISIP
?Tujuan Umum
  Agar mahasiswa mempunyai pemahaman dan kemampuan tentang kelembagaan Mahkamah Agung
Kegiatan Belajar 1 à kegiatan ini akan mempelajari organisasi Mahkamah Agung (MA) dalam tinjauan UUD 1945, bagaimana kedudukan putusan MA, termasuk mengenai struktur organisasi yudisial di Indonesia di modern ini.
Kegiatan Belajar 2 à mahasiswa akan mempelajarai kedudukan MA dan kekuasaan kehakiman. Sub bahasan yang dikaji yakni fungsi yudisial yang dimiliki MA, sejarah eksistensi MA.
Kegiatan Belajar 3 à Mahasiswa mempelajari hukum acara Mahkamah Agung, kewenangan MA dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU
Kekuasaan kehakiman adalah ciri pokok negara hukum (rechstaat) dan prinsip the rule of law.
Demokrasi mengutamakan the will of the people. Negara hukum mengutamakan the rule of law.
Kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.
Namun, keduanya harus dipisahkan dan dicermnkan dengan institusi yang berbeda.
Ada dua prinsip pokok dalam sistem peradilan (judicial system) dalam hukum modern (modern constitutional state): (1) the principle of judicial independence (independen) (2) the principle of judicial impartiality (tidak berpihak).
Forum International Judicial Conference di Bangalore, India Tahun 2001, disepakati kode etik perilaku hakim (The Bangalore Principle  of Judicial Conduct)à independensi, ketidakberpihakan, integritas, kepantasan dan sopan santun, kesetaraan, kecakapan dan keseksamaan
Mahkamah Agung (MA) memiliki kewenangan mengadili pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 24A UUD 1945.
Suatu peraturan perundang-undangan di bawah UU diaggap tidak sah dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Pasal 31A ayat (1) UU No 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, permohonan judicial review hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya  peraturan perundang-undangan di bawah UU.
Perorangan warga negara Indonesia
Kesatuan masyarakat hukum ada sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU.
Badan hukum publik atau badan hukum privat
Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 204 tentang Hak Uji Materiil, menggunakan terminologi “Permohonan Keberatan” yang diajukan kepada MA dengan cara:
1.Langsung ke MA
2.Melalui Pengadilan Negeri yang mmebawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon
3.Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
4.Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri.
6. Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke MA: (a) didaftarkan di Kepaniteraan MA (b) dibukukan dalam buku register permohonan (c) panteria MA memeriksa kelengkapan bekras dan apabila terdapar kekurangan dapat meminta langsung kepaa Pemohon Keberatan atau kuasa hukumnya yang sah
7. Dalam hal Permohonan Keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri: (a) didaftarkan  pada kepaniteraan Pengadilan Negeri (b) pemohon atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima (c) permohonan dibukukan dalam buk register permohonan (d) panitera Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah didaftarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya yang sah

yang terbaik

jasa joki UT dan karya ilmiyah segala jurusan jaminan lolos plagiat 0878 9797 9399

  Dampak Kenaikan Nilai Upah Minimum Terhadap Kondisi Keuangan Perusahaan Pada Masa Pandemi Covid 19 (PT. AMTEK PRECISION COMPONENT BATAM) ...