Hukum Pidana Internasional 04

19 KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL KHUSUSNYA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Kus Rizkianto Abstrak Perkembangan hukum internasional dan hukum pidana internasional abad 21 telah memasuki abad “integrated world of community” di dalam menghadapi tantangan dan ancaman dengan melepaskan diri dari kenyataan keterkaitan dan keterikatan suatu bangsa terhadap kondisi objektif baik secara kultural, etnis, geografis maupun faktor sistem politik yang berkembang di negara yang bersangkutan sehingga kerjasama internasional sangat diperlukan dalam menegakkan hukum pidana internasional. Adapun bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dalam penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia antara lain : ekstradisi, pemindahan narapidana, bantuan hukum timbal balik, penyelidikan bersama, kerjasama melakukan teknik-teknik penyelidikan khusus, dan pemindahan proses pidana. Kata Kunci : Kerjasama Internasional, Penegakan HAM A. Pendahuluan Dalam konteks penegakan hukum pidana internasional, kerjasama internasional merupakan sesuatu yang conditio cine qua non. Kebutuhan akan kerjasama internasional berkaitan dengan sifat tindak pidana yang terjadi tidak hanya melibatkan dua yuridiksi hukum atau lebih, namun juga mempunyai aspek internasional yaitu ancaman terhadap keamanan dan perdamaian dunia ataupun menggoyahkan rasa kemanusiaan. Dengan melibatkan lebih dari satu sistem hukum yang berbeda, mau tidak mau menimbulkan saling ketergantungan antar negara di dunia ini, yang kemudian mendorong dilakukannya kerjasama-kerjasama internasional yang dalam banyak hal dituangkan dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional. Perbedaan falsafah dan pandangan hidup dan lainnya, tidak lagi menjadi hambatan dalam melakukan hubungan dan kerjasama antar negara. Globalisasi dan kemajuan teknologi dengan dampak positif negatifnya telah mendorong perlunya pengaturan-pengaturan yang tegas dan pasti dalam bentuk 20 rumusan perjanjian-perjanjian. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika dewasa ini dan masa-masa yang akan datang, akan semakin banyak tumbuhnya perjanjian- perjanjian internasional. Dewasa ini hukum internasional sebagaian besar terdiri dari perjanjian- perjanjian internasional. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa perjanjian internasional telah mendesak dan menggeser kedudukan dan peranan hukum kebiasaan internasional yang pada awal sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional menduduki tempat yang utama. Tepatlah apa yang dikatakan G.I. Tunkin, bahwa secara proporsional perjanjian internasional pada masa kini menduduki tempat yang utama dalam hukum internasional sebagai akibat dari munculnya persetujuan-persetujuan internasional secara meluas1 . Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengamanatkan, bahwa dalam membuat perjanjian internasional baik dengan satu negara maupun dengan organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, wajib memperhatikan dan memenuhi : (1) Harus didasarkan pada kesepakatan para pihak, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. (2) Harus berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip- prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu baru dalam sejarah perkembangannya tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM). Keterkaitan erat tersebut dapat digambarkan sebagai dua saudara kembar, yang memiliki ketergantungan yang kuat (interdependency), sinergis, dan berkesinambungan2 . Ketiga sifat saudara kembar tersebut dapat dicontohkan dengan terbentuknya jenis kejahatan baru dalam dimensi internasional (genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi) yang kemudian melahirkan proses hukum acara dan pembentukan 1 Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas University Press, Padang, 2006, hal 56. Diakses dari www.google.co.id/jurnalpidanainternasional pada tanggal 18 Oktober 2012 2 Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional Dan Hukum Hak Asasi Manusia, Makalah disajikan dalam Pelatihan Hukum HAM yang Diselenggarakan Oleh PUSHAM UII Yogyakarta Tanggal 23 September 2005, hlm. 16 21 peradilannya (ICC) di mana keseluruhannya membentuk suatu proses ilmu baru yang disebut hukum pidana internasional. Perkembangan Konvensi untuk Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Transnasional Terorganisasi pada tahun 2000 telah membentuk kriminalisasi tentang perdagangan orang, khususnya wanita dan anak-anak; penyelundupan migrant, dan penyelundupan senjata api. Selain itu perkembangan kejahatan transnasional dan internasional telah membentuk pula, asas-asas hukum baru (asas hukum, “au dedere au punere” (Grotius), “au dedere au judicare (Bassiouni) dan asas-asas lainnya yang telah diuraikan merupakan lingkup pembahasan hukum pidana internasional. Di dalam rangka reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Abad 21, Laporan High-level Panel on “Threats,Challenges and Change” di bawah petunjuk Sekjen PBB tahun 2004 menegaskan bahwa dewasa ini dapat dibedakan terdapat 6 (enam) kelompok ancaman terhadap penduduk dunia yaitu: (a) ancaman social dan ekonomi, termasuk kemiskinan, penyakit berbahaya dan kemerosotan lingkungan; (b) konflik antar-negara; (c) konflik internal, termasuk, perang saudara (civil war), genosida dan malapetaka dalam bentuk yang luas; (d) senjata nuklir, radiology,kimia dan biologis; (e) terorisme; dan (f) kejahatan transnasional terorganisasi. Dalam kaitan dengan pembagian kelompok ancaman tersebut di atas, maka prinsip-prinsip “non-intervention”, dan “state-souvereignty”, tidak dapat lagi dijadikan alasan untuk menolak campur tangan negara lainnya untuk ikut bertanggung jawab menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri suatu negara manakala telah terjadi salah satu dari keenam kelompok masalah tersebut di negaranya. Dalam hal laporan Panel Tingkat Tinggi Sekjen PBB menegaskan antara lain:” There is a growing recognition that the issue is not the “right to intervene” of any State, but the “responsibility to protect” of every State when it comes to people suffering from avodable catastrophe-mass murder and rape, ethnic cleansing by forcible expulsion , deliberate starvation and exposure to disease”3 . 3 United Nations, “A More Secured World”: Our Shared Responsibility; Reports of The Secretary- General’s High-level Panel on Threats,Challenges and Change;2004;page 23 22 Perkembangan dan perubahan pandangan dunia terhadap pengakuan dan penolakan prinsip non-intervensi sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa perkembangan hukum internasional dan hukum pidana internasional abad 21 telah memasuki abad “integrated world of community” di dalam menghadapi tantangan dan ancaman dengan melepaskan diri dari kenyataan keterkaitan dan keterikatan suatu bangsa terhadap kondisi objektif baik secara kultural, etnis, geografis maupun faktor sistem politik yang berkembang di negara yang bersangkutan 4 sehingga kerjasama internasional sangat diperlukan dalam menegakkan hukum pidana internasional. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang bagaimana bentuk kerjasama internasional dalam penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran hak asasi manusia ? C. Pembahasan 1. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Yang Berat Pengertian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat pertama sekali muncul dalam hukum positif Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, menentukan bahwa yang termasuk pelanggaran HAM yang berat meliputi (1) kejahatan genoside dan (2) kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM yang berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materil maupun immaterial yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan tentang pengertian kejahatan genosida yaitu : Setiap perbuatan yang dilakukan dengan 4 Romli Atmasasmita, Op.cit.hlm. 14 23 maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara-cara : 1. membunuh anggota kelompok; 2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota- anggota kelompok; 3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian; 4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau 5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: 1. pembunuhan; 2. pemusnahan; 3. perbudakan; 4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; 5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; 6. penyiksaan; 7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk- bentuk kekerasan seksual lain yang setara; 8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum; 9. penghilangan orang secara paksa, atau 24 10. kejahatan apartheid. Rumusan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, apabila dibandingkan dengan rumusan yang terdapat dalam Statuta Roma tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) adalah lebih singkat, karena hanya mengambil 2 (dua) elemen dari yang terdapat di dalam ICC yaitu “kejahatan genosida” dan “kejahatan kemanusiaan”, padahal yang digolongkan dalam kejahatan berat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma menentukan: Juridiksi Mahkamah terbatas pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan, dan Mahkamah mempunyai juridiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatan-kejahatan sebagai berikut : 1. kejahatan genosida (the crime of genocide); 2. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity); 3. kejahatan perang (war crimes); 4. kejahatan agresi (the crime of aggression). Kejahatan perang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Statuta Roma digolongkan atas 4 (empat) kategori yaitu: 1. Pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa, terdiri dari 8 (delapan) jenis kejahatan perang yang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a Statuta Roma). 2. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional, terdiri dari 26 (dua puluh enam) jenis kejahatan perang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat 2 huruf b). 3. Pelanggaran terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, dalam hal terjadi konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, terdiri dari 4 (empat) jenis kejahatan perang spesifik, ( diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c). 25 4. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, terdiri dari 12 (dua belas) jenis kejahatan perang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat (2). Kejahatan perang sebagaimana telah ditentukan dalam Konvensi Jenewa yang telah diratifikasi sejak tahun 1958, telah dicoba diakomodir dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2012, yang substansinya dirumuskan mulai dari Pasal 394 sampai dengan Pasal 403. Oleh karena itu apabila RUU KUHP disahkan, maka peradilan nasional dapat mengadili setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum internasional. Dengan kata lain, apabila setiap perbuatan kejahatan perang tersebut dilakukan oleh warga negara Indonesia atau terjadi di Indonesia tidak perlu menunggu peradilan pidana internasional mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat seperti yang diatur dalam Statuta Roma. Kemudian mengenai kejahatan agresi tidak disebutkan pengertian atau batas-batasannya dalam Statuta Roma 1998, karena ketika perumusan Statuta Roma 1998 dilaksanakan telah terjadi perdebatan mengenai batas pengertiannya dan elemen-elemen kejahatan agresi, dan ketika itu berkembang pandangan berupa: the crimes aggression” adalah the mother of crimes, karena dengan dilakukannya agresi menimbulkan kejahatan-kejahatan lain yang mengikutinya5 . Oleh karena itu setelah 7 (tujuh) tahun kemungkinan dapat dilakukan amandemen, dengan syarat harus mendapat persetujuan dua pertiga dari anggota majelis. 2. Bentuk Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukum Pidana Internasional Mengenai bentuk kerjasama internasional dalam penegakan hukum pidana internasional, sebagimana disebutkan dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) antara lain seperti ekstradisi (Pasal 16), pemindahan narapidana (Pasal 17), bantuan hukum timbal balik (Pasal 18), penyelidikan bersama (Pasal 19), kerjasama dalam melakukan tehnik-tehnik 5 Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000, hal. viii. 26 penyelidikan khusus (Pasal 20), dan pemindahan proses pidana (Pasal 21). Pasal 27 UNTOC tentang kerjasama penegakan hukum, secara lebih khusus menekankan kerjasama penegakan hukum dalam pelbagai aspek yang lebih bersifat teknis operasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 huruf a sampai dengan f. Hal ini sudah dilakukan oleh Indonesia, terutama oleh Kepolisian Republik Indonesia, baik secara langsung dengan Kepolisian negara- negara sahabat (billateral) ataupun kerjasama melalui INTERPOL/ICPO (International Criminal Police Organisation). Persoalannya adalah, apakah setiap kerjasama antara instansi penegak hukum tersebut sudah dilandasi oleh suatu perjanjian internasional atau tidak ? Pasal 27 ayat 2 UNTOC menekankan kepada negara-negara pihak untuk membuat perjanjian internasional jika belum, atau jika sudah perjanjian tersebut diubah untuk disesuaikan6 . Adapun bentuk kerjasamanya antara lain : 1. Ekstradisi Beberapa asas ektradisi dimuat dalam UNTOC, yaitu asas kejahatan ganda (double criminality - Pasal 16 ayat 1), asas tidak menyerahkan warga negara (non extradition of nations - Pasal 16 ayat 10), asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (non extradition of political criminal – Pasal 16 ayat 14). Selain UNTOC, ekstradisi juga diatur dalam United Nation Model Treaty on Extradition tahun 1990 yang telah banyak dikuti oleh negara- negara lain khususnya dalam membuat perjanjian-perjanjian maupun dalam perundang-undangan ekstradisi. Bagi Indonesia, pelaksanaan ekstradisi didasarkan pada perjanjian bilateral sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi atau dimungkinkan pula atas dasar asas resiprositas yang dianut hukum internasional. Namun bagaimanapun UU No.1 Tahun1979 ini harus disesuaikan, karena tidak/belum memuat ketentuan-ketentuan yang mewajibkan mempercepat prosedur ektradisi dan menyederhanakan persyaratan pembuktian (Pala 8 UNTOC), tidak memuat ketentuan tidak 6 Abdul Fickar Hadjar, Konsepsi Tindak Pidana Transnasional & Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukumnya, Kertas kerja untuk disampaikan pada Rapat Tim Kompendium Hukum Kerjasama Internasional di Bidang Penegakan Hukum, BPHN, tanggal 25 September 2012 27 menyerahkan warga negara (Pasal 10 UNTOC) dan tidak memuat ketentuan berlakunya hukuman terhadap Warga Negara negara yang diminta (Psl 12). 2. Pemindahan Narapidana Tentang pemindahan narapidana, UNTOC hanya menghimbau untuk membuat perjanjian bilateral atau multilateral ataupun peraturan perundang- undangan didalam negara pihak. Sebuah perjanjian internasional yang dapat dijadikan rujukan adalah : Convention On The Transferof Sentenced Persons (1983) antara negara-negara Dewan Eropa (Council of Europe) dan Schengen Convention (Title III Chapter V) (1990) yang merupakan pelengkap dari Konvensi tahun 1983. Perjanjian internasional tentang pemindahan narapidana ini dibuat dengan pertimbangan kemanusiaan, yakni memberikan kesempatan kepada narapidana (asing) yang menjalani hukuman di negara lain untuk menjalani pidana atau sisa hukumannya di negara sendiri. Namun narapidana (asing) itu juga harus dihormati pilihannya untuk melaksanakan hukuman di negara lain atau di negaranya sendiri. Di Indonesia mengenai pemindahan diatur dalam Undang-Undang seperti KUHAP, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana. Meski tidak satu pasalpun secara eksplisit mengatur pemindahan narapidana, namun semua undang-undang itu pun tidak melarang untuk melakukan perjanjian kerjasama pemindahan narapidana seperti yang dihimbau UNTOC. 3. Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam hal bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters) dalam konteks negara-negara ASEAN (Brunai Darussalam, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Pilipina, Singapore dan Vietnam) telah ditanda tangani sebuah perjanjian: “Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters” di Kuala Lumpur pada tanggal 20 Nopember 2004. Miyanmar telah menjadi pihak dalam ASEAN Treaty on MLA itu pada bulan Desember 2009. Tinggal hanya Thailand yang belum menjadi pihak dalam Treaty ini. 28 Di dalam negeri, Indonesia telah mempunyai undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Jika dibandingkan antar ketentuan tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana UNTOC dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 memang ada ketentuan yang sama dan ada pula kekosongan di pihak yang satu ataupun lainnya. 4. Penyelidikan Bersama Pasal 19 UNTOC mengamanatkan kewajiban kepada negara-negara pihak untuk mempertimbangkan perjanjian billateral atau multilateral ataupun pengaturan tentang subjek dari penyelidikan, penuntutan atau proses peradilan di satu atau lebih negara. Pilihan membuat atau tidak membuat perjanjian sepenuhnya menjadi hak dari negara pihak, yang jikapun ada suatu kasus, para pihak masih dapat melakukan kerjasama kasus per kasus. Hukum Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ataupun UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak mengatur secara tegas tentang kemungkinan untuk melakukan penyelidikan bersama sebagaimana diamantkan UNTOC. Akan tetapi ketiga UU itupun tidak melarang. Dengan kata lin memberikan kemungkinan untuk melakukan erjasama internasional tersebut. 5. Kerjasama Melakukan Teknik-Teknik Penyelidikan Khusus Mengenai teknik penyelidikan khusus sebagaimana diamanatkan UNTOC, dalam peraturan perundang-undangan Indonesia terutama dalam undang- undang diluar KUHP sudah banyak yang mengaturnya, seperti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor Tahun 2009 tentang Narkotika. Jadi tentang teknik penyelidikan khusus ini sudah dapat dijadikan dasar untuk membuat 29 perjanjian-perjanjian internasional dalam penegakan hukum pidana transnasional. 6. Pemindahan Proses Pidana Pemindahan proses pidana ini merupakan pemindahan orang yang diduga, disangka ataupun didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dalam UNTOC ke negara pihak yang dipandang sebagai negara yang paling tepat dan efektif dalam melaksanakan penuntutan dan peradilannya. Tentu saja pemindahan ini sekaligus dengan barang-barang buktinya khususnya benda bergerak. Dengan demikian, proses penuntutan dan peradilannya dipusatkan pada negara pihak yang bersangkutan. Hukum Indonesia dalam hal ini KUHAP ataupun perundang-undangan lainnya tidak mengatur masalah pemindahan proses pidana ini, Namun Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara eksplisit memungkinkan untuk dilakukan pemindahan proses pidana ini. D. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dalam penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia antara lain : Ekstradisi, Pemindahan Narapidana, Bantuan Hukum Timbal Balik, Penyelidikan Bersama, Kerjasama melakukan Teknik-teknik Penyelidikan Khusus, dan Pemindahan Proses Pidana. 2. Saran Pemerintah perlu segera mengakomodir bentuk kerjasama penegakan hukum pidana internasional tersebut dalam sebuah undang-undang atau perjanjian khusus dengan negara-negara di dunia demi tegaknya hukum dan keadilan. 30 DAFTAR PUSTAKA Buku : Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000. United Nations, “A More Secured World”: Our Shared Responsibility; Reports of The Secretary-General’s High-level Panel on Threats,Challenges and Change; 2004. Makalah : Abdul Fickar Hadjar, Konsepsi Tindak Pidana Transnasional & Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukumnya, Kertas kerja untuk disampaikan pada Rapat Tim Kompendium Hukum Kerjasama Internasional di Bidang Penegakan Hukum, BPHN, 2012. Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional Dan Hukum Hak Asasi Manusia, Makalah disajikan dalam Pelatihan Hukum HAM yang diselenggarakan Oleh PUSHAM UII Yogyakarta, 2005. Peraturan Perundang-undangan : Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 2012 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNTOC Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan & PemberantasanTindak Pidana Pencucian Uang Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Undang-undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi 31 Undang-undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Website : Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas University Press, Padang, 2006, hal 56. Diakses dari www.google.co.id/jurnalpidanainternasional pada tanggal 18 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

yang terbaik

jasa joki UT dan karya ilmiyah segala jurusan jaminan lolos plagiat 0878 9797 9399

  Dampak Kenaikan Nilai Upah Minimum Terhadap Kondisi Keuangan Perusahaan Pada Masa Pandemi Covid 19 (PT. AMTEK PRECISION COMPONENT BATAM) ...