Contoh Intepretasi Purposive dalam Penalaran Hukum

INTEPRETASI PURPOSIVE
Ada 6 jenis intepretasi konstitusi yang diperkenalkan oleh Hobbit dimana menurut Albert H.Y Chen adalah termasuk dalam ruang lingkup interpretasi purposive, diantaranya ada :
Penafsiran Etikal, yang merupakan metode penafsiran konstitusi dengan pendekatan filsafati, moral atau aspirasi. Contohnya yang sering dilakukan oleh Hakim Frank Caprio dalam channel videonya :
Hakim Frank Caprio
Hakim Frank sering mengatasnamakan norma konstitusi negaranya dengan mendekatkan kepentingan pelanggar lalu lintas yang sedang mengalami kesulitan financial, kegawatdaruratan, bahkan secara psikologis terganggu karena sedang menjalani persidangan perceraian misalnya;
Penafsiran structural, adalah metode penafsiran suatu undang-undang dengan konstitusi yang derajat normanya lebih luas. Tekstual dalam UU tidak serta merta diterapkan secara langsung, akan tetapi mempertimbangkan nilai yang ada dalam konstitusi. Misalnya, dalam kasus Ustad Baasyir yang dimungkinkan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat dengan alasan pertimbangan Presiden yang mendalih kan perlakuan khusus bagi lansia yang terdapat dalam konstitusi dan kewenangan atribusi Presiden memungkinkan untuk melakukan putusan atau kebijaksanaan. Akan tetapi kasus ini tidak diteruskan oleh sebab Ustad Baasyir menolak untuk menandatangani dokumen setia kepada Pancasila.
Penafsiran hitoris, adalah metode penafsiran original intent yang didasarkan pada sejarah pembahasan dan pembentukan konstitusi atau undang-undang. Contoh adalah kasus Jones Vs Menara Boot Co. yang kasusnya oleh pengadilan tingkat kota ditafsirkan berbeda oleh Hakim Pengadilan Banding. Para hakim menggunakan pendakatan purposive dengan memeriksa peristiwa hukum ini adalah terkait dengan konteks perselisihan dalam pekerjaan bukan semata delik kekerasan fisik yang dialami oleh warga kulit hitam. Hakim mempertimbangkan bahwa sewaktu UU tentang Ketenagakerjaan dibuat memang dilatarbelakangi sejarah diskriminasi terhadap pekerja kulit hitam.
KRITIK DAN CONTOH PENAFSIRAN LITERAL
Penafsiran Literal adalah metode menafsirkan hukum berdasarkan tekstual yang tertulis dalam undang-undang. Oleh Sartjipto Raharjo, metode literal ini adalah bagian dari semangat yang mengharuskan idealnya setiap kalimat pasal dalam undang-undang sudah jelas (scripta).
Kritik terberat untuk metode literal adalah karena pembuat undang-undang dalam menyusun norma pasal tidak mempertimbangkan bagaimana nantinya para hakim memeriksa dan mengadili perkara hukum yang timbul karena adanya Undang-undang itu. Sebagian menyatakan metode literal jika dipaksakan dapat menjadikan kebebasan hakim dalam memeriksa dan melakukan pertimbangan dapat menjadi terbatas, atau telah dibatasi oleh pembuat Undang-undang.
Contohnya : Pengadilan Negeri Kota Pangkalpinang, mengadili terdakwa yang dijerat dengan Undang-Undang Darurat karena membawa senjata tajam, akan tetapi pembela hukum mempertanyakan tidak adanya barang bukti senjata tajam (Linggis) yang dibawakan dalam persidangan sekalipun dalam keterangan saksi-saksi juga terdakwa mengaku dirinya memegang linggis. Karena tekstual UU Darurat adalah mengenai benda tajam, maka dalam pertimbangannya hakim mengabaikan Pasal UU Darurat, dan memvonisnya berdasarkan pasal mengenai penganiayaan.
KAMUS HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN
Pada saat menyusun suatu produk peraturan perundangan menurut ajaran legalisme adalah melalui rangkaian perenungan ide dan etik oleh para pembuat peraturan perundangan. Akan tetapi pandangan ini dapat menjerumuskan pasal – pasal dalam rancangan peraturan perundangan itu terjebak dalam permainan kata-kata yang kelak sulit ditafsirkan oleh para penegak hukum, apalagi dalam hukum pidana peraturan perundangan tidak ambigu.
Oleh sebab itu, diperlukan peran akademisi dan praktisi hukum dalam pembentukan suatu peraturan perundangan. Para akademisi dapat membantu pembuat undang-undang mengenal dan memahami kamus hukum yang dibutuhkan agar kalimat dalam rancangan pasal peraturan perundangan bukanlah kumpulan kalimat kosong yang tidak dikenal dalam bahasa hukum.
Misalnya, dalam revisi UU ITE yang akhirnya lebih jelas setelah diadakan perubahan mengenai delik umum dalam unsure pidana dapat diaksesnya penghinaan atau pencemaran nama baik menjadi delik aduan yang harus diawali dengan adanya pengaduan tanpa perlu mempertentangkan lagi kalimat “dapat diaksesnya” sebagai unsure umum sesuai delik penghinaan dalam KUHP. Sehingga pengaduan atas penghinaan melalui pesan SMS antara 2 orang dapat ditinjau sebagai delik aduan.

AMNESTY INTERNATIONAL

26th Januari 2004 AI Index: IOR 40/001/2004 AMNESTY INTERNATIONAL Pengadilan Pidana Internasional Lembar fakta 1 Pendahuluan mengenai Pengadilan Pidana Internasional "Pembentukan Pengadilan tersebut masih merupakan sebuah harapan bagi generasi yang akan datang, dan merupakan suatu langkah besar dalam rangka gerakan menuju hak asasi manusia dan supremasi hukum yang universal." Kofi Annan, Sekjen PBB, 18 Juli 1998, dalam penandatanganan Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional di Roma 1. Apa itu Pengadilan Pidana Internasional? Pengadilan Pidana Internasional (ICC = The International Criminal Court) merupakan sebuah lembaga yudisial independen yang permanen, yang diciptakan oleh komunitas negara-negara internasional, untuk mengusut kejahatan yang mungkin dianggap sebagai yang terbesar menurut hukum internasional seperti: genosida, kejahatan lain terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. 2. Kapan ICC dibentuk? Pada bulan Juli 1998, sebuah konferensi diplomatik mengadopsi Statuta Roma dari ICC (Statuta Roma) dengan hasil jumlah suara 120 setuju dan hanya tujuh tidak setuju (21 tidak memberikan suara). Statuta Roma menjelaskan tentang kejahatan tersebut, tentang bagaimana pengadilan akan bekerja, dan negara-negara mana saja yang harus bekerjasama dalam hal tersebut. Ratifikasi ke-60 yang diperlukan untuk membentuk ICC dilakukan pada tanggal 11 April 2002, dan Statuta tersebut mulai dilaksanakan yuridiksinya pada tanggal 1 Juli 2002. Pada bulan Februari 2003, 18 hakim ICC pertama terpilih, dan Jaksa pertama terpilih pada bulan April 2003. 3. Mengapa Pengadilan tersebut perlu? Walaupun selama setengah abad komunitas internasional telah menciptakan sistem perlindungan terhadap hak asasi manusia secara internasional dan regional, jutaan orang masih terus menjadi korban genosida serta korban kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Secara memalukan, hanya segelintir saja dari mereka yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kejahatan ini pernah dibawa ke pengadilan nasional – itu sebabnya kebanyakan pelaku melakukan kejahatan ini dengan pemahaman bahwa mereka sangat tidak mungkin diadili atas tindakan yang mereka lakukan. ICC bertujuan sebagai berikut: • Bertindak sebagai pencegah terhadap orang yang berencana melakukan kejahatan serius menurut hukum internasional; • Mendesak para penuntut nasional – yang bertanggungjawab secara mendasar untuk mengajukan mereka yang bertanggungjawab terhadap kejahatan ini ke pengadilan – untuk melakukannya; • Mengusahakan supaya para korban dan keluarganya bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran, dan memulai proses rekonsiliasi; • Melakukan langkah besar untuk mengakhiri masalah pembebasan dari hukuman (impunity). 4. Apa pengaruh ICC pada pengadilanpengadilan nasional? Pengadilan-pengadilan nasional akan selalu memiliki yurisdiksi terhadap kejahatankejahatan semacam itu. Menurut prinsip “saling melengkapi”, ICC hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu atau tidak mau melakukannya. Misalnya, sebuah pemerintah mungkin tidak mau menuntut warga negaranya sendiri, khususnya bila mereka mempunyai jabatan 2 tinggi, atau jika sistem pengadilan pidana tidak berfungsi akibat konflik internal, yang kemudian mungkin tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi kejahatan-kejahatan sejenis ini. 5. Kapan pengadilan tersebut bisa menuntut individu yang telah dicurigai melakukan kejahatan besar menurut hukum internasional? Pengadilan tersebut memiliki yurisdiksi untuk menuntut para individu ketika: • Kejahatan dilakukan di wilayah negara yang telah meratifikasi Statuta Roma; • Kejahatan dilakukan oleh warga negara dari sebuah negara yang telah meratifikasi Statuta Roma; • Negara yang belum meratifikasi Statuta Roma tetapi telah membuat deklarasi yang menyetujui yurisdiksi pengadilan terhadap tindak kejahatan; • Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam atau melanggar perdamaian dan keamanan internasional, dan Dewan Keamanan PBB telah menyerahkan situasi tersebut ke Pengadilan Pidana Internasional tersebut, menurut Bab 7 Piagam PBB. 6. Apakah Pengadilan tersebut bisa menuntut para individu atas kejahatan yang dilakukan sebelum pembentukan Pengadilan tersebut? Tidak. Pengadilan tersebut hanya akan memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan setelah tanggal 1 Juli 2002, ketika Statuta Roma mulai diberlakukan. 7. Siapa yang akan memutuskan tentang kasus-kasus mana yang akan diajukan ke Pengadilan? Statuta Roma menetapkan kasus-kasus yang bisa disidangkan di Pengadilan ini didapat melalui tiga cara yang berbeda: 1. Jaksa Penuntut Pengadilan ini bisa mengawali tindakan investigasi pada suatu situasi di mana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, berdasarkan pada informasi dari sumber apa saja, termasuk dari korban atau keluarga korban, tetapi hanya bila Pengadilan tersebut memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan dan individu tersebut (lihat pertanyaan 4 dan 5). 2. Negara-negara yang telah meratifikasi Statuta Roma bisa meminta Jaksa untuk menginvestigasi suatu keadaan di mana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, tetapi hanya bila Pengadilan tersebut memiliki yurisdiksi. 3. Dewan Keamanan PBB bisa meminta Jaksa untuk menginvestigasi suatu keadaan di mana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1 dan 2, ICC akan memiliki yurisdiksi ketika Dewan Keamanan PBB menyerahkan hal tersebut kepada Jaksa, bahkan sekalipun jika kejahatan terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma, atau dilakukan oleh warga negara dari negara semacam itu. Walaupun begitu, masing-masing keadaan ini tergantung pada Jaksa, bukan pada negara atau Dewan Keamanan, untuk memutuskan apakah akan memulai sebuah investigasi atau tidak. Dan berdasarkan pada investigasi tersebut akan ditentukan apakah akan diajukan tuntutan atau tidak berdasarkan pada persetujuan yudisial . 8. Apa pentingnya sebanyak mungkin negara meratifikasi Statuta Roma Jaksa hanya bisa memulai suatu investigasi bila kejahatan telah dilakukan di wilayah suatu negara yang menganut Statuta, atau tertuduh merupakan warga negara dari sebuah negara yang menganut Statuta, kecuali jika Dewan Keamanan menyerahkan suatu situasi pada Pengadilan Pidana Internasional. Keengganan Dewan Keamanan untuk mendirikan tribunal pidana internasional ad hoc bagi situasi di luar bekas Yugoslavia dan Rwanda, menunjukkan bahwa tidak mungkin Dewan Keamanan menyerahkan banyak situasi pada Pengadilan tersebut. Itu sebabnya, sebagian besar keefektifan pengadilan akan diukur dari berapa banyak negara yang meratifikasi Statuta tersebut. Publikasi Proyek Peradilan Internasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun; b. bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; c. bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879); 3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327 ); 4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); Dengan persetujuan bersama antara DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. 3. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. 4. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual. 5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. BAB II KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN PENGADILAN HAM Bagian Kesatu Kedudukan Pasal 2 Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Bagian Kedua Tempat Kedudukan Pasal 3 (1) Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. (2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. BAB III LINGKUP KEWENANGAN Pasal 4 Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 5 Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pasal 6 Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Pasal 7 Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 8 Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Pasal 9 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid. BAB IV HUKUM ACARA Bagian Kesatu Umum Pasal 10 Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana. Bagian Kedua Penangkapan Pasal 11 (1) Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup. (2) Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dipersangkakan. (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. (4) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik. (5) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari. (6) Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan. Bagian Ketiga Penahanan Pasal 12 (1) Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. (2) Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. (3) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 13 (1) Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 14 (1) Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 15 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 16 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 17 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung. Bagian Keempat Penyelidikan Pasal 18 (1) Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. (2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat. Pasal 19 (1) Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik berwenang: a. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti; c. memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya; d. memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya; e. meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu; f. memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya; g. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1) pemeriksaan surat; 2) penggeledahan dan penyitaan; 3) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu; 4) mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan. (2) Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat penyelidik memberitahukan hal itu kepada penyidik. Pasal 20 (1) Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik. (2) Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik. (3) Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut. Bagian Kelima Penyidikan Pasal 21 (1) Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. (2) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kewenangan menerima laporan atau pengaduan. (3) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat. (4) Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing. (5) Untuk dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc harus memenuhi syarat : a. warga negara Republik Indonesia; b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun; c. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; d. sehat jasmani dan rohani; e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia. Pasal 22 (1) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung. (5) Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan. (6) Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Keenam Penuntutan Pasal 23 (1) Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. (2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat. (3) Sebelum melaksanakan tugasnya penuntut umum ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing. (4) Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat : a. warga negara Republik Indonesia; b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun; c. berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum; d. sehat jasmani dan rohani; e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia. Pasal 24 Penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima. Pasal 25 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Bagian Ketujuh Sumpah Pasal 26 Sumpah penyidik dan Jaksa Penuntut Umum ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dan Pasal 23 ayat (3), lafalnya berbunyi sebagai berikut : "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan". Bagian Kedelapan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Paragraf 1 Umum Pasal 27 (1) Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (2) Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. (3) Majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diketuai oleh hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan. Pasal 28 (1) Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. (2) Jumlah hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang. (3) Hakim ad hoc diangkat untuk selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Paragraf 2 Syarat Pengangkatan Hakim Ad Hoc Pasal 29 Untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat: 1. warga negara Republik Indonesia; 2. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun; 4. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; 5. sehat jasmani dan rohani; 6. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; 7. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan 8. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia. Pasal 30 Hakim ad hoc yang diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agamanya masing-masing yang lafalnya berbunyi sebagai berikut : "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak mem-beda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan". Paragraf 3 Acara Pemeriksaan Pasal 31 Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Pasal 32 (1) Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi. (2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. (3) Jumlah hakim ad hoc di Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya 12 (dua belas) orang. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 30 juga berlaku bagi pengangkatan hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi. Pasal 33 (1) Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung. (2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 (lima) orang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. (3) Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya 3 (tiga) orang. (4) Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (5) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diangkat untuk satu kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun. (6) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi syarat : a. warga negara Republik Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun; d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; e. sehat jasmani dan rohani; f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; g. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan h. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia. BAB V PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI Pasal 34 (1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. (3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI Pasal 35 (1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. (2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. (3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII KETENTUAN PIDANA Pasal 36 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 37 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 38 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 39 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 40 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 41 Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40. Pasal 42 (1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu : a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni : a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40. BAB VIII PENGADILAN HAM AD HOC Pasal 43 (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undangundang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. (3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum. Pasal 44 Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 45 (1) Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar. (2) Daerah hukum Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada pada Pengadilan Negeri di: a. Jakarta Pusat yang meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah; b. Surabaya yang meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur; c. Makassar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya; d. Medan yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 46 Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undangundang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa. Pasal 47 (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang. Pasal 48 Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah atau sedang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini. Pasal 49 Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-undang ini. Pasal 50 Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3911) dengan ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 51 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 23 Nopember 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Nopember 2000 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd DJOHAN EFFENDI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 208

Hukum Pidana Internasional 04

19 KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL KHUSUSNYA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Kus Rizkianto Abstrak Perkembangan hukum internasional dan hukum pidana internasional abad 21 telah memasuki abad “integrated world of community” di dalam menghadapi tantangan dan ancaman dengan melepaskan diri dari kenyataan keterkaitan dan keterikatan suatu bangsa terhadap kondisi objektif baik secara kultural, etnis, geografis maupun faktor sistem politik yang berkembang di negara yang bersangkutan sehingga kerjasama internasional sangat diperlukan dalam menegakkan hukum pidana internasional. Adapun bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dalam penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia antara lain : ekstradisi, pemindahan narapidana, bantuan hukum timbal balik, penyelidikan bersama, kerjasama melakukan teknik-teknik penyelidikan khusus, dan pemindahan proses pidana. Kata Kunci : Kerjasama Internasional, Penegakan HAM A. Pendahuluan Dalam konteks penegakan hukum pidana internasional, kerjasama internasional merupakan sesuatu yang conditio cine qua non. Kebutuhan akan kerjasama internasional berkaitan dengan sifat tindak pidana yang terjadi tidak hanya melibatkan dua yuridiksi hukum atau lebih, namun juga mempunyai aspek internasional yaitu ancaman terhadap keamanan dan perdamaian dunia ataupun menggoyahkan rasa kemanusiaan. Dengan melibatkan lebih dari satu sistem hukum yang berbeda, mau tidak mau menimbulkan saling ketergantungan antar negara di dunia ini, yang kemudian mendorong dilakukannya kerjasama-kerjasama internasional yang dalam banyak hal dituangkan dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional. Perbedaan falsafah dan pandangan hidup dan lainnya, tidak lagi menjadi hambatan dalam melakukan hubungan dan kerjasama antar negara. Globalisasi dan kemajuan teknologi dengan dampak positif negatifnya telah mendorong perlunya pengaturan-pengaturan yang tegas dan pasti dalam bentuk 20 rumusan perjanjian-perjanjian. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika dewasa ini dan masa-masa yang akan datang, akan semakin banyak tumbuhnya perjanjian- perjanjian internasional. Dewasa ini hukum internasional sebagaian besar terdiri dari perjanjian- perjanjian internasional. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa perjanjian internasional telah mendesak dan menggeser kedudukan dan peranan hukum kebiasaan internasional yang pada awal sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional menduduki tempat yang utama. Tepatlah apa yang dikatakan G.I. Tunkin, bahwa secara proporsional perjanjian internasional pada masa kini menduduki tempat yang utama dalam hukum internasional sebagai akibat dari munculnya persetujuan-persetujuan internasional secara meluas1 . Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengamanatkan, bahwa dalam membuat perjanjian internasional baik dengan satu negara maupun dengan organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, wajib memperhatikan dan memenuhi : (1) Harus didasarkan pada kesepakatan para pihak, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. (2) Harus berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip- prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu baru dalam sejarah perkembangannya tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM). Keterkaitan erat tersebut dapat digambarkan sebagai dua saudara kembar, yang memiliki ketergantungan yang kuat (interdependency), sinergis, dan berkesinambungan2 . Ketiga sifat saudara kembar tersebut dapat dicontohkan dengan terbentuknya jenis kejahatan baru dalam dimensi internasional (genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi) yang kemudian melahirkan proses hukum acara dan pembentukan 1 Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas University Press, Padang, 2006, hal 56. Diakses dari www.google.co.id/jurnalpidanainternasional pada tanggal 18 Oktober 2012 2 Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional Dan Hukum Hak Asasi Manusia, Makalah disajikan dalam Pelatihan Hukum HAM yang Diselenggarakan Oleh PUSHAM UII Yogyakarta Tanggal 23 September 2005, hlm. 16 21 peradilannya (ICC) di mana keseluruhannya membentuk suatu proses ilmu baru yang disebut hukum pidana internasional. Perkembangan Konvensi untuk Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Transnasional Terorganisasi pada tahun 2000 telah membentuk kriminalisasi tentang perdagangan orang, khususnya wanita dan anak-anak; penyelundupan migrant, dan penyelundupan senjata api. Selain itu perkembangan kejahatan transnasional dan internasional telah membentuk pula, asas-asas hukum baru (asas hukum, “au dedere au punere” (Grotius), “au dedere au judicare (Bassiouni) dan asas-asas lainnya yang telah diuraikan merupakan lingkup pembahasan hukum pidana internasional. Di dalam rangka reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Abad 21, Laporan High-level Panel on “Threats,Challenges and Change” di bawah petunjuk Sekjen PBB tahun 2004 menegaskan bahwa dewasa ini dapat dibedakan terdapat 6 (enam) kelompok ancaman terhadap penduduk dunia yaitu: (a) ancaman social dan ekonomi, termasuk kemiskinan, penyakit berbahaya dan kemerosotan lingkungan; (b) konflik antar-negara; (c) konflik internal, termasuk, perang saudara (civil war), genosida dan malapetaka dalam bentuk yang luas; (d) senjata nuklir, radiology,kimia dan biologis; (e) terorisme; dan (f) kejahatan transnasional terorganisasi. Dalam kaitan dengan pembagian kelompok ancaman tersebut di atas, maka prinsip-prinsip “non-intervention”, dan “state-souvereignty”, tidak dapat lagi dijadikan alasan untuk menolak campur tangan negara lainnya untuk ikut bertanggung jawab menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri suatu negara manakala telah terjadi salah satu dari keenam kelompok masalah tersebut di negaranya. Dalam hal laporan Panel Tingkat Tinggi Sekjen PBB menegaskan antara lain:” There is a growing recognition that the issue is not the “right to intervene” of any State, but the “responsibility to protect” of every State when it comes to people suffering from avodable catastrophe-mass murder and rape, ethnic cleansing by forcible expulsion , deliberate starvation and exposure to disease”3 . 3 United Nations, “A More Secured World”: Our Shared Responsibility; Reports of The Secretary- General’s High-level Panel on Threats,Challenges and Change;2004;page 23 22 Perkembangan dan perubahan pandangan dunia terhadap pengakuan dan penolakan prinsip non-intervensi sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa perkembangan hukum internasional dan hukum pidana internasional abad 21 telah memasuki abad “integrated world of community” di dalam menghadapi tantangan dan ancaman dengan melepaskan diri dari kenyataan keterkaitan dan keterikatan suatu bangsa terhadap kondisi objektif baik secara kultural, etnis, geografis maupun faktor sistem politik yang berkembang di negara yang bersangkutan 4 sehingga kerjasama internasional sangat diperlukan dalam menegakkan hukum pidana internasional. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang bagaimana bentuk kerjasama internasional dalam penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran hak asasi manusia ? C. Pembahasan 1. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Yang Berat Pengertian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat pertama sekali muncul dalam hukum positif Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, menentukan bahwa yang termasuk pelanggaran HAM yang berat meliputi (1) kejahatan genoside dan (2) kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM yang berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materil maupun immaterial yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan tentang pengertian kejahatan genosida yaitu : Setiap perbuatan yang dilakukan dengan 4 Romli Atmasasmita, Op.cit.hlm. 14 23 maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara-cara : 1. membunuh anggota kelompok; 2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota- anggota kelompok; 3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian; 4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau 5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: 1. pembunuhan; 2. pemusnahan; 3. perbudakan; 4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; 5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; 6. penyiksaan; 7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk- bentuk kekerasan seksual lain yang setara; 8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum; 9. penghilangan orang secara paksa, atau 24 10. kejahatan apartheid. Rumusan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, apabila dibandingkan dengan rumusan yang terdapat dalam Statuta Roma tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) adalah lebih singkat, karena hanya mengambil 2 (dua) elemen dari yang terdapat di dalam ICC yaitu “kejahatan genosida” dan “kejahatan kemanusiaan”, padahal yang digolongkan dalam kejahatan berat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma menentukan: Juridiksi Mahkamah terbatas pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan, dan Mahkamah mempunyai juridiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatan-kejahatan sebagai berikut : 1. kejahatan genosida (the crime of genocide); 2. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity); 3. kejahatan perang (war crimes); 4. kejahatan agresi (the crime of aggression). Kejahatan perang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Statuta Roma digolongkan atas 4 (empat) kategori yaitu: 1. Pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa, terdiri dari 8 (delapan) jenis kejahatan perang yang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a Statuta Roma). 2. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional, terdiri dari 26 (dua puluh enam) jenis kejahatan perang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat 2 huruf b). 3. Pelanggaran terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, dalam hal terjadi konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, terdiri dari 4 (empat) jenis kejahatan perang spesifik, ( diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c). 25 4. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, terdiri dari 12 (dua belas) jenis kejahatan perang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat (2). Kejahatan perang sebagaimana telah ditentukan dalam Konvensi Jenewa yang telah diratifikasi sejak tahun 1958, telah dicoba diakomodir dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2012, yang substansinya dirumuskan mulai dari Pasal 394 sampai dengan Pasal 403. Oleh karena itu apabila RUU KUHP disahkan, maka peradilan nasional dapat mengadili setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum internasional. Dengan kata lain, apabila setiap perbuatan kejahatan perang tersebut dilakukan oleh warga negara Indonesia atau terjadi di Indonesia tidak perlu menunggu peradilan pidana internasional mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat seperti yang diatur dalam Statuta Roma. Kemudian mengenai kejahatan agresi tidak disebutkan pengertian atau batas-batasannya dalam Statuta Roma 1998, karena ketika perumusan Statuta Roma 1998 dilaksanakan telah terjadi perdebatan mengenai batas pengertiannya dan elemen-elemen kejahatan agresi, dan ketika itu berkembang pandangan berupa: the crimes aggression” adalah the mother of crimes, karena dengan dilakukannya agresi menimbulkan kejahatan-kejahatan lain yang mengikutinya5 . Oleh karena itu setelah 7 (tujuh) tahun kemungkinan dapat dilakukan amandemen, dengan syarat harus mendapat persetujuan dua pertiga dari anggota majelis. 2. Bentuk Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukum Pidana Internasional Mengenai bentuk kerjasama internasional dalam penegakan hukum pidana internasional, sebagimana disebutkan dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) antara lain seperti ekstradisi (Pasal 16), pemindahan narapidana (Pasal 17), bantuan hukum timbal balik (Pasal 18), penyelidikan bersama (Pasal 19), kerjasama dalam melakukan tehnik-tehnik 5 Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000, hal. viii. 26 penyelidikan khusus (Pasal 20), dan pemindahan proses pidana (Pasal 21). Pasal 27 UNTOC tentang kerjasama penegakan hukum, secara lebih khusus menekankan kerjasama penegakan hukum dalam pelbagai aspek yang lebih bersifat teknis operasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 huruf a sampai dengan f. Hal ini sudah dilakukan oleh Indonesia, terutama oleh Kepolisian Republik Indonesia, baik secara langsung dengan Kepolisian negara- negara sahabat (billateral) ataupun kerjasama melalui INTERPOL/ICPO (International Criminal Police Organisation). Persoalannya adalah, apakah setiap kerjasama antara instansi penegak hukum tersebut sudah dilandasi oleh suatu perjanjian internasional atau tidak ? Pasal 27 ayat 2 UNTOC menekankan kepada negara-negara pihak untuk membuat perjanjian internasional jika belum, atau jika sudah perjanjian tersebut diubah untuk disesuaikan6 . Adapun bentuk kerjasamanya antara lain : 1. Ekstradisi Beberapa asas ektradisi dimuat dalam UNTOC, yaitu asas kejahatan ganda (double criminality - Pasal 16 ayat 1), asas tidak menyerahkan warga negara (non extradition of nations - Pasal 16 ayat 10), asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (non extradition of political criminal – Pasal 16 ayat 14). Selain UNTOC, ekstradisi juga diatur dalam United Nation Model Treaty on Extradition tahun 1990 yang telah banyak dikuti oleh negara- negara lain khususnya dalam membuat perjanjian-perjanjian maupun dalam perundang-undangan ekstradisi. Bagi Indonesia, pelaksanaan ekstradisi didasarkan pada perjanjian bilateral sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi atau dimungkinkan pula atas dasar asas resiprositas yang dianut hukum internasional. Namun bagaimanapun UU No.1 Tahun1979 ini harus disesuaikan, karena tidak/belum memuat ketentuan-ketentuan yang mewajibkan mempercepat prosedur ektradisi dan menyederhanakan persyaratan pembuktian (Pala 8 UNTOC), tidak memuat ketentuan tidak 6 Abdul Fickar Hadjar, Konsepsi Tindak Pidana Transnasional & Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukumnya, Kertas kerja untuk disampaikan pada Rapat Tim Kompendium Hukum Kerjasama Internasional di Bidang Penegakan Hukum, BPHN, tanggal 25 September 2012 27 menyerahkan warga negara (Pasal 10 UNTOC) dan tidak memuat ketentuan berlakunya hukuman terhadap Warga Negara negara yang diminta (Psl 12). 2. Pemindahan Narapidana Tentang pemindahan narapidana, UNTOC hanya menghimbau untuk membuat perjanjian bilateral atau multilateral ataupun peraturan perundang- undangan didalam negara pihak. Sebuah perjanjian internasional yang dapat dijadikan rujukan adalah : Convention On The Transferof Sentenced Persons (1983) antara negara-negara Dewan Eropa (Council of Europe) dan Schengen Convention (Title III Chapter V) (1990) yang merupakan pelengkap dari Konvensi tahun 1983. Perjanjian internasional tentang pemindahan narapidana ini dibuat dengan pertimbangan kemanusiaan, yakni memberikan kesempatan kepada narapidana (asing) yang menjalani hukuman di negara lain untuk menjalani pidana atau sisa hukumannya di negara sendiri. Namun narapidana (asing) itu juga harus dihormati pilihannya untuk melaksanakan hukuman di negara lain atau di negaranya sendiri. Di Indonesia mengenai pemindahan diatur dalam Undang-Undang seperti KUHAP, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana. Meski tidak satu pasalpun secara eksplisit mengatur pemindahan narapidana, namun semua undang-undang itu pun tidak melarang untuk melakukan perjanjian kerjasama pemindahan narapidana seperti yang dihimbau UNTOC. 3. Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam hal bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters) dalam konteks negara-negara ASEAN (Brunai Darussalam, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Pilipina, Singapore dan Vietnam) telah ditanda tangani sebuah perjanjian: “Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters” di Kuala Lumpur pada tanggal 20 Nopember 2004. Miyanmar telah menjadi pihak dalam ASEAN Treaty on MLA itu pada bulan Desember 2009. Tinggal hanya Thailand yang belum menjadi pihak dalam Treaty ini. 28 Di dalam negeri, Indonesia telah mempunyai undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Jika dibandingkan antar ketentuan tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana UNTOC dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 memang ada ketentuan yang sama dan ada pula kekosongan di pihak yang satu ataupun lainnya. 4. Penyelidikan Bersama Pasal 19 UNTOC mengamanatkan kewajiban kepada negara-negara pihak untuk mempertimbangkan perjanjian billateral atau multilateral ataupun pengaturan tentang subjek dari penyelidikan, penuntutan atau proses peradilan di satu atau lebih negara. Pilihan membuat atau tidak membuat perjanjian sepenuhnya menjadi hak dari negara pihak, yang jikapun ada suatu kasus, para pihak masih dapat melakukan kerjasama kasus per kasus. Hukum Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ataupun UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak mengatur secara tegas tentang kemungkinan untuk melakukan penyelidikan bersama sebagaimana diamantkan UNTOC. Akan tetapi ketiga UU itupun tidak melarang. Dengan kata lin memberikan kemungkinan untuk melakukan erjasama internasional tersebut. 5. Kerjasama Melakukan Teknik-Teknik Penyelidikan Khusus Mengenai teknik penyelidikan khusus sebagaimana diamanatkan UNTOC, dalam peraturan perundang-undangan Indonesia terutama dalam undang- undang diluar KUHP sudah banyak yang mengaturnya, seperti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor Tahun 2009 tentang Narkotika. Jadi tentang teknik penyelidikan khusus ini sudah dapat dijadikan dasar untuk membuat 29 perjanjian-perjanjian internasional dalam penegakan hukum pidana transnasional. 6. Pemindahan Proses Pidana Pemindahan proses pidana ini merupakan pemindahan orang yang diduga, disangka ataupun didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dalam UNTOC ke negara pihak yang dipandang sebagai negara yang paling tepat dan efektif dalam melaksanakan penuntutan dan peradilannya. Tentu saja pemindahan ini sekaligus dengan barang-barang buktinya khususnya benda bergerak. Dengan demikian, proses penuntutan dan peradilannya dipusatkan pada negara pihak yang bersangkutan. Hukum Indonesia dalam hal ini KUHAP ataupun perundang-undangan lainnya tidak mengatur masalah pemindahan proses pidana ini, Namun Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara eksplisit memungkinkan untuk dilakukan pemindahan proses pidana ini. D. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dalam penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia antara lain : Ekstradisi, Pemindahan Narapidana, Bantuan Hukum Timbal Balik, Penyelidikan Bersama, Kerjasama melakukan Teknik-teknik Penyelidikan Khusus, dan Pemindahan Proses Pidana. 2. Saran Pemerintah perlu segera mengakomodir bentuk kerjasama penegakan hukum pidana internasional tersebut dalam sebuah undang-undang atau perjanjian khusus dengan negara-negara di dunia demi tegaknya hukum dan keadilan. 30 DAFTAR PUSTAKA Buku : Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000. United Nations, “A More Secured World”: Our Shared Responsibility; Reports of The Secretary-General’s High-level Panel on Threats,Challenges and Change; 2004. Makalah : Abdul Fickar Hadjar, Konsepsi Tindak Pidana Transnasional & Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukumnya, Kertas kerja untuk disampaikan pada Rapat Tim Kompendium Hukum Kerjasama Internasional di Bidang Penegakan Hukum, BPHN, 2012. Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional Dan Hukum Hak Asasi Manusia, Makalah disajikan dalam Pelatihan Hukum HAM yang diselenggarakan Oleh PUSHAM UII Yogyakarta, 2005. Peraturan Perundang-undangan : Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 2012 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNTOC Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan & PemberantasanTindak Pidana Pencucian Uang Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Undang-undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi 31 Undang-undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Website : Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas University Press, Padang, 2006, hal 56. Diakses dari www.google.co.id/jurnalpidanainternasional pada tanggal 18 Oktober 2012

Hukum Perusahaan 09

BAB 20 PEMBERDAYAAN KOPERASI SERTA USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH Pemberdayaan koperasi usaha mikro, kecil, dan menengah (KUMKM) merupakan upaya strategis dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat karena KUMKM merupakan bagian terbesar dari aktivitas masyarakat Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah UMKM pada tahun 2008 mencapai 51,3 juta unit usaha atau 99,9 persen dari jumlah unit usaha di Indonesia. Sementara itu, jumlah tenaga kerjanya yang terlibat mencapai 90,9 juta orang atau 97,0 persen dari seluruh tenaga kerja Indonesia. Pada tahun yang sama, jumlah koperasi adalah sebanyak 155 ribu unit, dengan jumlah anggota mencapai sekitar 26,8 juta orang. Produktivitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga menunjukkan peningkatan sebesar 3,0 persen pada tahun 2008 dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan produktivitas ini masih lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan produktivitas per unit usaha secara nasional sebesar 3,2 persen. Sementara itu, peran ekspor nonmigas UMKM pada tahun 2008 menunjukkan kontribusi yang cukup besar, yaitu 20,2 persen dari total ekspor nonmigas nasional. I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Upaya pemberdayaan koperasi dan UMKM telah dilakukan dengan langkah-langkah yang nyata. Namun, di masa depan UMKM masih menghadapi beberapa permasalahan sebagai berikut. Permasalahan yang terkait dengan iklim usaha yang kurang kondusif menjadi penghambat bagi tumbuhnya UMKM. Salah 20 - 2 satunya adalah masih besarnya biaya transaksi usaha sebagai akibat dari ketidakpastian dan ketidakjelasan prosedur perizinan, panjangnya proses perizinan dan timbulnya berbagai pungutan tidak resmi, serta masih adanya praktik bisnis serta persaingan usaha yang tidak sehat. Produktivitas UMKM sudah menunjukkan peningkatan, tetapi nilainya masih sangat kecil dibandingkan dengan produktivitas usaha besar. Hal ini mengakibatkan produk yang dihasilkan kurang memiliki kemampuan untuk bersaing dan kualitas yang baik yang dapat memenuhi permintaan pasar domestik dan pasar internasional. Masih rendahnya produktivitas UMKM ini diakibatkan antara lain, oleh rendahnya kualitas dan kompetensi kewirausahaan sumber daya manusia. Selain itu, keterbatasan modal dan penguasaan teknologi pada sektor usaha mikro dan kecil berakibat sangat sulit untuk meningkatkan nilai tambah usahanya sehingga pendapatan yang diperoleh juga masih rendah. Demikian pula, kualitas kerja UMKM yang kurang baik berdampak pada lingkungan kerja dan produk yang dihasilkan menjadi kurang berdaya saing. UMKM juga masih menghadapi kendala keterbatasan pada akses pemasaran yang mempengaruhi UMKM dalam meningkatkan kapasitas produksi dan usahanya. Permasalahan khusus yang dihadapi dalam pemberdayaan koperasi adalah belum meluasnya pemahaman tentang koperasi sebagai badan usaha yang memiliki struktur kelembagaan dan insentif yang unik/khas dibandingkan dengan badan usaha lainnya. Di samping itu, masih banyak masyarakat yang kurang memahami prinsip-prinsip dan praktik-praktik yang benar dalam berkoperasi. Koperasi dan UMKM juga menghadapi tantangan terutama yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan bersamaan dengan cepatnya tingkat kemajuan teknologi. 20 - 3 II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI Kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM secara umum diarahkan terutama untuk mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional melalui: (1) peningkatan ekonomi lokal dengan mengembangkan usaha skala mikro dalam rangka mendukung peningkatan pendapatan kelompok masyarakat berpendapatan rendah; dan (2) peningkatan produktivitas dan akses UKM pada sumber daya produktif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk ekonomi daerah, sekaligus menciptakan lapangan kerja. Dalam rangka mendukung peningkatan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah melalui peningkatan ekonomi lokal, kota, dan perdesaan, pemberdayaan usaha mikro difokuskan untuk mendorong pertumbuhan yang berpihak pada rakyat miskin. Langkah kebijakannya yaitu: (1) meningkatkan kapasitas dan memperluas jangkauan lembaga keuangan mikro (LKM) baik dengan pola bagi hasil, konvensional, maupun melalui dana bergulir; (2) meningkatkan kemampuan pengusaha mikro dalam aspek manajemen usaha dan teknis produksi; (3) meningkatkan fasilitasi pengembangan sarana dan prasarana usaha mikro; (4) meningkatkan fasilitasi pembinaan sentra-sentra produksi tradisional dan usaha ekonomi produktif terisolir dan daerah tertinggal/perbatasan. Dalam kaitannya dengan peningkatan akses UMKM kepada sumber daya produktif, langkah kebijakannya meliputi: (1) meningkatkan akses modal UMKM kepada lembaga keuangan dengan mendorong pemanfaatan skim penjaminan kredit dan kredit usaha rakyat (KUR), khususnya untuk investasi produktif di sektor agribisnis dan industri; (2) meningkatkan kemampuan UMKM dalam pengajuan investasi usaha dengan skim penjaminan kredit melalui pembinaan oleh lembaga layanan usaha (Business Development Service Provider - BDS-P); (3) meningkatkan fasilitas pemasaran dan promosi ekspor produk-produk UKM dan koperasi; dan (4) meningkatkan akses teknologi dan inovasi dengan menyediakan fasilitas layanan teknologi dan pusat inovasi. Seiring dengan peningkatan akses tersebut, langkah kebijakan pemberdayaan 20 - 4 UMKM lainnya adalah meningkatkan wirausaha yang tangguh dan kompetitif, serta berwawasan iptek dan inovatif. Kebijakan penting lainnya yang mendukung terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi UMKM adalah (1) menyelesaikan penyusunan turunan peraturan pelaksanaan RUU tentang UMKM dan koperasi; (2) meningkatkan formalisasi badan usaha UMKM; (3) memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan dan regulasi yang menghambat usaha dan investasi, baik di pusat maupun di daerah. Sementara itu, langkah kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas kelembagaan koperasi meliputi: (1) meningkatkan pelaksanaan pembinaan, pengawasan, dan penilaian perkoperasian; dan (2) pelatihan dan pemasyarakatan praktik-praktik koperasi terbaik, sekaligus bimbingan teknis penerapan akuntabilitas koperasi. A. Penciptaan Iklim bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Dalam rangka menciptakan iklim bagi usaha mikro, kecil, dan menengah yang kondusif, telah dilakukan berbagai kegiatan yaitu: (a) penguatan status badan hukum koperasi; (b) penyempurnaan Undang-Undang (UU) No. 25/1992 tentang Perkoperasian; (c) penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang UMKM; dan (d) penelaahan peraturan perundang-undangan. Orientasi pembinaan koperasi lebih diarahkan pada penciptaan iklim usaha yang kondusif dan pemberian kesempatan yang seluasluasnya kepada masyarakat di bidang perkoperasian. Untuk itu, Pemerintah telah melakukan upaya penguatan status badan hukum koperasi. Sejak tahun 2005 sampai dengan 2009 telah dilakukan pengumuman badan hukum koperasi sebanyak 27.366 koperasi, pembekalan perkoperasian bagi 5.828 notaris sebagai notaris pembuat akta koperasi, serta pengesahan 873 koperasi primer dan 165 koperasi sekunder. Pemerintah telah melakukan upaya penyempurnaan UU No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian. Upaya ini telah dimulai pada tahun 2005, yaitu dengan melakukan koordinasi pembahasan tim antardepartemen. Kedua instansi melakukan harmonisasi, sinkronisasi pembulatan konsepsi atas materi Rancangan UndangUndang (RUU) Koperasi dan disampaikan kepada Presiden. Pada 20 - 5 tahun 2008, DPR-RI, telah memutuskan bahwa RUU Koperasi masuk ke dalam RUU prioritas tahun 2009. Beberapa hal pokok dalam klausul yang perlu dipertimbangkan perubahannya adalah klausul tentang pembentukan koperasi, keanggotaan koperasi, perangkat organisasi, modal, jenis koperasi dan lapangan usaha, sisa hasil usaha, pengertian koperasi, dan prinsip-prinsip koperasi. Pada tahun 2008, pemerintah telah menerbitkan UU No. 20 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. UU tersebut bertujuan untuk: (a) mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang dan berkeadilan; (b) menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan UMKM menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan (c) meningkatkan peran UMKM dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan. Pada tahun 2009, akan diselesaikan peraturan pemerintah pelaksanaan dari UU ini yang meliputi: (a) PP persyaratan dan tata cara permohonan izin usaha; (b) PP tata cara pengembangan, prioritas, instansitas dan jangka waktu pengembangan; (c) PP pola kemitraan; (d) PP koordinasi dan pengendalian pemberdayaan UMKM; dan (e) PP tata cara pemberian sanksi administratif. Pemerintah telah melakukan penelaahan peraturan perundangundangan pada tingkat Nasional dan Daerah yang menghambat pemberdayaan KUMKM. Pada tahun 2005 Pemerintah telah menelaah 40 Perda yang dinilai menghambat untuk dilakukan pembatalan, pada tahun tersebut ada 13 Perda yang dibatalkan. Pada tahun 2006 telah ditelaah 50 Perda dan dibatalkan sebanyak 36 Perda. Sementara itu, pada tahun 2007 Pemerintah telah melakukan penelaahan 50 Perda dan membatalkan 11 Perda. Pada tahun 2008 telah pula dilaksanakan evaluasi terhadap 100 Perda yang berkaitan dengan KUMKM, dan terdapat 40 Perda yang diusulkan untuk dibatalkan karena dapat menghambat perkembangan KUMKM. 20 - 6 B. Pengembangan Kewirausahaan dan Keunggulan Kompetitif Dalam rangka mengembangkan jiwa dan semangat kewirausahaan serta meningkatkan daya saing UMKM dan koperasi, beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain adalah: (a) pengembangan pengadaan pangan (koperasi) dengan sistem bank padi; (b) pengembangan usaha koperasi di bidang pengadaan dan penyaluran sarana produksi (Saprodi); (c) pengembangan usaha (koperasi) di bidang budi daya kakao dan tanaman karet; (d) pengembangan usaha di bidang ketenagalistrikan; (e) pengembangan sarana penunjang produksi pabrik es dan cold storage; dan (d) pengembangan sumber daya manusia koperasi dan UMKM. Kegiatan pengembangan pengadaan pangan (koperasi) dengan sistem bank padi merupakan kegiatan usaha pengadaan pangan berdasarkan tunda jual dan secara menyeluruh kegiatannya mencakup penyimpanan gabah, pengeringan dan penggilingan gabah petani di koperasi. Dengan demikian, anggota koperasi dan masyarakat petani dapat memperoleh nilai tambah atas gabah yang disimpan di koperasi. Pada periode tahun 2005-2008, telah diberikan bantuan pengembangan kepada 44 koperasi. Fasilitas yang diberikan Pemerintah adalah modal kerja dan modal investasi berupa mesin pembersih padi, pengering, silo, penggilingan dan kelengkapannya. Dalam upaya pengadaan dan penyaluran pupuk serta meningkatkan produktivitas padi, sekaligus meningkatkan peran koperasi dalam pelayanan kepada anggotanya, Pemerintah telah memperkuat usaha Koperasi Unit Desa (KUD) melalui kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi, khususnya pupuk. Jumlah koperasi yang telah difasilitasi oleh Pemerintah dalam kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi adalah 51 koperasi di 13 provinsi selama periode tahun 2006—2007. Koperasi yang mendapatkan bantuan penguatan dapat menyediakan sarana produksi tepat waktu dan dengan harga yang semakin terjangkau sehingga peran koperasi semakin nyata. Pemerintah mendukung pemberdayaan UMKM di bidang perkebunan, seperti kakao dan tanaman karet. Dukungan Pemerintah terhadap UMKM diwujudkan melalui perluasan, peremajaan, dan 20 - 7 rehabilitasi tanaman perkebunan kakao dan tanaman karet. Pada tahun 2005 telah diberikan bantuan 2 juta batang kakao kepada 2 koperasi. Pada tahun 2006 telah diberikan bantuan 4 juta batang kakao kepada 37 koperasi. Pada tahun 2007 telah diberikan bantuan 5 juta batang kakao kepada 62 koperasi. Untuk tanaman karet, telah diberikan bantuan penguatan pengadaan bibit karet sebanyak 4,8 juta batang kepada 41 koperasi pada tahun 2007. Manfaat yang diperoleh UMKM di bidang perkebunan ini adalah meningkatnya produktivitas dan pendapatan UMKM, sekaligus meningkatnya peran koperasi dalam memenuhi kebutuhan anggotanya secara lebih mudah dan efisien. Dalam rangka memberikan bantuan UMKM di daerah terpencil yang belum mendapatkan akses listrik dari PLN, Pemerintah telah mengembangkan usaha di bidang ketenagalistrikan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Pada tahun 2005 diberikan bantuan dana untuk pembangunan PLTMH kepada 1 koperasi di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan; pada tahun 2007 telah diberikan bantuan pembangunan PLTMH kepada 2 koperasi di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu dan Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Selain dapat memenuhi kebutuhan listrik di daerah terpencil tersebut, pembangunan PLTMH itu juga dapat menciptakan peluang usaha lainnya bagi UMKM. Pemerintah mendukung pemberdayaan UMKM di bidang perikanan. Pemerintah memberikan fasilitas alat pendingin, karena UMKM nelayan sangat membutuhkan alat tersebut secara mudah dan cepat. Untuk itu, pada tahun 2005 dibangun pabrik es sebanyak 6 unit di Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB. Tahun 2006 juga telah direalisasikan pembangunan pabrik es sebanyak 3 unit di Jawa Tengah dan di Bali dan pada tahun 2007 Pemerintah juga telah membantu pabrik sebanyak 2 unit di Jawa Timur dan DI Yogyakarta. Pengembangan sumber daya manusia UMKM memegang peranan penting dalam pembentukan SDM yang berkualitas, tangguh, berdaya saing, dan mandiri. Oleh karena itu, Pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan antara lain di bidang kewirausahaan, keterampilan teknis, dan teknis manajerial. Diklat kewirausahaan dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan jiwa dan semangat kewirausahaan bagi 20 - 8 UMKM. Pemerintah pusat dan daerah telah menyelenggarakan diklat ini kepada 13.600 orang pada periode tahun 2005—2008. Diklat manajerial bagi UMKM ditujukan untuk meningkatkan kemampuan mengelola usahanya. Pada periode yang sama, Pemerintah Pusat dan Daerah telah melatih sebanyak 27.326 orang. Sementara itu, diklat keterampilan teknis ditujukan untuk meningkatkan keterampilan yang bersifat teknis, serta meningkatkan mutu produk. Untuk itu, selama periode tahun 2005—2008 telah dilatih sebanyak 6.247 orang. Pengembangan tempat praktik keterampilan usaha (TPKU) bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis dan manajemen usaha bagi para peserta didik di lembaga pendidikan pedesaan/santri. Kegiatan ini sangat bermanfaat untuk menciptakan calon wirausaha di berbagai bidang yang mampu mengembangkan usaha secara mandiri, sekaligus juga meningkatkan peran serta lembaga diklat pedesaan. Bidang keterampilan usaha yang dikembangkan melalui TPKU, antara lain otomotif, elektronik, konveksi, industri kerajinan, dan agribisnis. Pada periode tahun 2005—2008, pengembangan TPKU telah dilaksanakan pada 716 unit. Dalam rangka meningkatkan kapasitas lembaga keuangan mikro (LKM), Pemerintah telah mengembangkan peningkatan kualitas SDM pengelola LKM agar memiliki kompetensi di bidangnya. Kepemilikan kompetensi ini dibuktikan dengan pemberian sertifikasi profesi melalui proses pendidikan dan pelatihan serta uji kompetensi. Kegiatan pengembangan standardisasi dan sertifikasi pengelola LKM dilaksanakan sejak tahun 2007 kepada 266 orang. C. Pengembangan Sistem Pendukung usaha UMKM Dalam rangka mempermudah, memperlancar, dan memperluas akses UMKM kepada sumber daya produktif, Pemerintah telah melaksanakan kegiatan, antara lain: (a) promosi produk KUMKM; (b) pengembangan sarjana pencipta kerja mandiri; (c) pengembangan sentra/klaster UMKM; dan (d) pengembangan pembiayaan kepada UMKM. 20 - 9 Dalam upaya promosi produk-produk KUMKM, Pemerintah memfasilitasi keikutsertaan KUMKM dalam pameran di dalam dan luar negeri. Kegiatan yang diselenggarakan setiap tahun adalah Small Medium Enterprises and Cooperative (SMEsCo) Festival yang menjadi ajang interaksi bisnis dan investasi para pelaku usaha. Selain itu, beberapa pameran yang dilaksanakan di dalam negeri, antara lain adalah Pameran Inter-Food-Inter-Pak, Festival Batik Pekalongan, Pameran Produk Ekspor (PPE), Pameran dan Festival Kerajinan KUMKM Indonesia, dan Pameran Tematik Industri Kerajinan. Pada tahun 2008, Pemerintah telah memfasilitasi 285 KUMKM pada 18 pameran. Dalam rangka perluasan pasar produk KUMKM potensial ekspor, pada periode tahun 2005–2009 telah dilaksanakan program promosi produk KUMKM melalui pameran luar negeri di 5 zona perdagangan, yaitu Asia, Eropa, Australia, Timur Tengah, dan Afrika. Dalam kesempatan tersebut telah difasilitasi sekitar 500 KUMKM dengan produk antara lain furniture, aksesori rumah (home accessories), garmen, perhiasan (jewellery), dan kerajinan tangan (handycraft). Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, Pemerintah sejak tahun 2005 telah memfasilitasi pembangunan infrastruktur promosi produk-produk KUKM berbasis web, yaitu SMESCO Indonesia Trading Board dengan alamat www.indonesian-products.biz. Sampai dengan tahun 2009, KUKM yang telah dipromosikan melalui Trading Board berjumlah 2.661 KUKM dari 16 provinsi. Untuk semakin memperluas akses informasi ini, Pemerintah telah menerbitkan SMESCO Indonesia Catalogue yang memuat 200 produk unggulan. Katalog tersebut didistribusikan kepada maskapai penerbangan, Kedutaan Indonesia, Atase Perdagangan Indonesia, dan KADIN yang ada di luar negeri, Kedutaan Asing yang ada di Jakarta, dan hotel-hotel berbintang di kota-kota besar di Indonesia. Dalam upaya memantapkan jaringan bisnis KUKM, Pemerintah memfasilitasi pengembagan ritel modern melalui Koperasi dengan pola SMEsCo Mart. SMEsCo Mart merupakan peningkatan waserda yang dimiliki koperasi dengan pola modern. Sampai dengan tahun 2008, Pemerintah telah mengembangkan 20 - 10 SME’sCo Mart sebanyak 92 Koperasi di 50 Kab/Kota pada 7 Provinsi. Untuk pengembangan aktivitas perdagangan dan peningkatan promosi KUKM di wilayah timur, pada tahun 2006 Pemerintah bekerja sama dengan pemerintah daerah memfasilitasi pembangunan Celebes Exhibition Centre (CCC) di Sulawesi Selatan. Selain itu, dukungan juga diberikan pada pembangunan pusat promosi KUKM di Kalimantan Barat (Borneo Convention Centre), Jawa Barat (Sentra Bisnis KUKM-SENBIK), Sulawesi Utara (Paradise Convention Centre), dan Sumatera Selatan (Sriwijaya Convention Centre). Pemerintah juga telah membangun sarana pameran di Gedung SMEsCo Promotion Centre (SPC) di Jakarta dengan sarana Convention Centre dan fasilitas/sarana promosi lainnya. Dalam rangka memberdayakan potensi sarjana dan potensi ekonomi lokal, Pemerintah melaksanakan kegiatan sarjana pencipta kerja mandiri (Prospek Mandiri). Kegiatan ini bertujuan: (a) menciptakan wirausaha baru yang mampu menciptakan kesempatan kerja; (b) mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya manusia terdidik dalam menggerakkan perekonomian daerah; dan (c) memanfaatkan teknologi dan sumber daya lokal yang memiliki keunggulan kompetitif. Kegiatan ini dilaksanakan pada tahun 2006— 2007 dan telah merealisasikan pembentukan 41 Koperasi yang melibatkan 990 orang sarjana di 31 Kabupaten/Kota pada 14 provinsi. Pemberdayaan UMKM akan lebih efektif melalui pengembangan sentra/gugus, sehingga dapat menumbuhkan pusatpusat pertumbuhan ekonomi lokal yang berdampak pada peningkatan perekonomian regional dan nasional. Pada tahun 2005, Pemerintah telah memfasilitasi penguatan bagi pengembangan 50 sentra UMKM yang meliputi sentra pertanian, sentra peternakan, sentra perikanan, sentra industri dan kerajinan, dan sentra makanan dan minuman. Fasilitasi sentra diprioritaskan kepada kabupaten/kota pemekaran yang belum ada sentra binaannya dan sentra daerah-daerah potensial yang masih dapat dikembangkan. Penguatan diberikan melalui: (a) bantuan penguatan modal awal dan padanan (MAP) kepada 50 koperasi simpan pinjam/unit simpan pinjam koperasi (KSP/USPKoperasi) untuk disalurkan kepada UMKM Sentra; (b) penguatan 20 - 11 dana operasional kepada 50 Lembaga business development services - Providers (BDS-P), sebagai biaya operasional dalam memberikan layanan pengembangan bisnis bagi UMKM di sentra-sentra tersebut. Berkaitan dengan pengembangan sentra/gugus, Pemerintah mendorong penggunaan teknologi tepat guna (TTG) pada sentrasentra UMKM. Pada tahun 2006, Pemerintah memberikan penguatan pemanfaatan TTG kepada 10 koperasi di 8 provinsi. Kegiatan ini bertujuan untuk memodernkan alat pengolahan produk sentra UMKM agar produk yang dihasilkan lebih berdaya saing. Demikian pula pada tahun 2007, Pemerintah memfasilitasi TTG kepada 10 sentra di 10 provinsi. Dalam upaya mendorong usaha kecil dan menengah (UKM) agar mampu bersaing dan meningkatkan kapasitas usahanya, Pemerintah menfasilitasi kegiatan pengembangan UKM di kawasan industri. Kegiatan ini merupakan kegiatan rintisan dan baru dilaksanakan di 2 kawasan yaitu Kawasan Industri Jababeka, Cikarang Provinsi Jawa Barat dan Kawasan Industri Candi, Semarang Propinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2006, Pemerintah bekerja sama dengan PT PNM Venture Capital telah memfasilitasi pengembangan 7 UKM di Kawasan Industri Jababeka. Pada Tahun 2007, Pemerintah bekerja sama dengan PT Sarana Jateng Ventura telah memfasilitasi pengembangan 18 UKM di Kawasan Industri Candi Jawa Tengah. Selain itu, Pemerintah juga telah bekerja sama dengan PT Sarana Jabar Ventura untuk mengembangkan 7 UKM di Kawasan Industri Jababeka Jawa Barat. Melalui dukungan tersebut, khususnya Kawasan Industri Candi telah melakukan ekspor furnitur ke beberapa Negara di Eropa. Dalam rangka meningkatkan akses UMKM kepada permodalan, Pemerintah telah membantu penyediaan dana modal awal padanan (MAP) melalui KSP/USP, lembaga ventura, dan inkubator. Sejak tahun 2005 sampai dengan saat ini telah diberikan penguatan kepada 1.355 UMKM di sentra melalui 50 KSP/USP. Sementara itu, pada periode tahun 2005—2007 perkuatan MAP melalui lembaga modal ventura telah diberikan kepada kepada 488 UMKM melalui 23 lembaga modal ventura daerah. Penyediaan dan MAP melalui inkubator telah disalurkan kepada 107 UKM-tenant di 10 Lembaga Inkubator sampai dengan tahun 2007. 20 - 12 Pada tahun 2007, Pemerintah melaksanakan skema pembiayaan khusus yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi koperasi dan UMKM yang memiliki potensi usaha yang layak, tetapi tidak memenuhi persyaratan teknis perbankan. KUR dilaksanakan dengan melibatkan instansi-instansi yang secara lintas sektoral melakukan pemberdayaan koperasi dan UMKM dengan mengikutsertakan 6 bank pelaksana (Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri) serta Perum Jamkrindo dan PT Askrindo sebagai lembaga penjamin. Realisasi penyaluran KUR sampai dengan Mei 2009 adalah sebesar Rp14,5 triliun untuk 1,9 juta debitur, dengan rata-rata kredit senilai Rp7,4 juta. Distribusi penyaluran KUR yang paling besar adalah di sektor perdagangan, restoran & hotel; dan sektor pertanian dengan sebaran masingmasing sebesar 55,0 persen dan 26,5 persen. Sementara itu, pemanfaatan KUR terbesar adalah di pulau Jawa dan Sumatera dengan proporsi masing-masing sebesar 48,9 persen dan 23,6 persen. Selain itu, dalam kerangka pembiayaan kepada UMKM, pada tahun 2006 Pemerintah telah menginisiasi pembentukan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB). Dalam pelaksanaannya LPDB melakukan penghimpunan dana bergulir yang telah disalurkan oleh Kemeneg KUKM. Pada tahun 2008, LPDB telah melakukan pembiayaan kepada 11 perusahaan ventura, 2 koperasi sekunder, dan 1 Induk Koperasi Syariah. Skim pendanaan bagi UMKM lainnya yang khusus bagi petani adalah melalui Sistem Resi Gudang (SRG). Skim pendanaan ini untuk memperluas akses agar UMKM mendapatkan pembiayaan yang mudah dan dapat diakses pada saat yang tepat. Skim pendanaan komoditas koperasi dan UMKM disalurkan untuk membiayai modal kerja koperasi dan UMKM dengan jaminan resi gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Resi gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Jenis komoditas yang dapat dibiayai melalui skim pendanaan komoditas, antara lain, gabah, beras, jagung, gula pasir, kacang kedelai, pupuk, dan komoditas lain yang memenuhi persyaratan untuk memperoleh pendanaan komoditas. Pemerintah telah memulai percontohan SRG di KUD Kabupaten Karawang, Jawa Barat. 20 - 13 Dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan bagi koperasi, Pemerintah juga telah memperkenalkan instrumen utang koperasi melalui penerbitan surat utang koperasi (SUK). Penerbitan SUK dimaksudkan untuk membantu KSP/USP koperasi memenuhi kebutuhan likuiditas jangka panjang di luar perbankan. Pada umumnya, koperasi memperoleh sumber dana jangka pendek, tetapi disalurkan sebagai pinjaman untuk jangka waktu yang lebih panjang sehingga koperasi akan mengalami kesulitan dalam mengelola aliran kasnya. Dengan adanya SUK ini, aliran kas koperasi dapat dikelola secara sehat. Pihak yang terkait dengan program penerbitan SUK adalah: (a) PT Pos Indonesia (Persero) yang melakukan penatalaksanaan Dana Sekuritisasi Aset dan mewakili Pemerintah dalam melakukan pembayaran, pengumpulan setoran dan pengguliran dana, serta membukukan dan mencatat atas transaksi pembayaran SUK; dan (b) koperasi sekunder simpan pinjam yang memiliki pengalaman dan kemampuan dalam membiayai koperasi untuk mengintegrasikan sistem simpan pinjam. Realisasi program penerbitan SUK sampai dengan akhir Juni 2009 diikuti oleh 59 Koperasi penerbit SUK. D. Pemberdayaan Usaha Skala Mikro Pemberdayaan usaha mikro ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang berusaha dalam skala usaha mikro. Pemerintah telah memberikan berbagai fasilitas bantuan antara lain adalah: (a) kredit usaha dari dana Surat Utang Pemerintah (SUP005); (b) perkuatan permodalan dengan pola kemitraan; (c) linkage program antara Bank Umum dengan koperasi; (d) pembiayaan produktif konvensional dan syariah; (e) bantuan dana bergulir sektoral; dan (f) bantuan sarana pasar. Pemerintah telah mengeluarkan skema kredit usaha dari dana SUP-005. Skema kredit ini bertujuan meningkatkan akses usaha mikro dan kecil kepada pembiayaan investasi dan modal dengan persyaratan yang relatif ringan dan terjangkau. Dana yang disalurkan melalui skema ini, telah memberikan manfaat bagi 146 koperasi dan 351.408 usaha mikro dan kecil dengan komposisi: sektor perdagangan, restoran, dan hotel 78,7 persen, sektor Jasa dan lainnya 10,7 persen serta sektor pertanian 5,5 persen. Sementara itu, 20 - 14 penyaluran kredit dari dana SUP-005 yang dilakukan oleh Perum Pegadaian menggunakan skim kredit yang dinamakan Kredit Usaha Rumah Tangga (KRISTA). Target pembiayaan dikhususkan bagi pelaku usaha mikro di kalangan kaum perempuan, terutama di pasarpasar. Sampai saat ini, program KRISTA yang disalurkan oleh Perum Pegadaian telah mencapai sebesar Rp102,8 miliar dan telah dimanfaatkan oleh 59.733 nasabah. Pemerintah telah melaksanakan kegiatan bantuan penguatan struktur keuangan koperasi dengan pola dana bergulir kemitraan. Dana bergulir kemitraan ini bertujuan untuk memberdayakan usaha mikro dan kecil yang tergabung dalam koperasi untuk mengembangkan komoditas unggulan di wilayahnya. Dana bergulir kemitraan dijadikan sebagai dana padanan oleh koperasi untuk bermitra dengan lembaga keuangan bank maupun nonbank/investor yang telah melakukan penilaian kelayakan terhadap komoditas unggulan yang akan dikembangkan. Pada tahun anggaran 2005, dana bergulir dengan pola kemitraan telah disalurkan kepada tiga koperasi. Upaya peningkatan dan perluasan sumber-sumber pembiayaan kepada usaha mikro dilakukan juga melalui peningkatan sinergi antara lembaga keuangan bank dan koperasi melalui Linkage Program. Perkembangan pelaksanaan Linkage Program antara bank umum koperasi, saat ini telah mencapai Rp8,9 triliun yang disalurkan melalui 1.847 koperasi dari 14 bank umum. Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, Pemerintah telah menyediakan pembiayaan produktif bagi usaha mikro dengan pola konvensional dan syariah melalui koperasi. Pembiayaan ini juga sekaligus untuk memperkuat struktur keuangan koperasi. Untuk pembiayaan produktif pola konvensional telah disalurkan sebesar Rp202,9 miliar kepada 2.127 KSP-USP Koperasi, sedangkan untuk pola syariah telah disalurkan sebesar Rp191,5 miliar kepada 1.883 Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa Syariah Koperasi (KJKS/UJKS Koperasi). Untuk usaha mikro yang bergerak di sektor agribisnis, Pemerintah telah mengembangkan penguat dana bergulir sektoral. Penguatan diberikan melalui koperasi untuk kemudian disalurkan 20 - 15 kepada anggotanya. Jumlah dana penguatan yang telah disalurkan pada periode tahun 2005—2007 adalah sebesar Rp165,7 miliar kepada 292 koperasi. Pemerintah juga memberikan dukungan perkuatan kepada perempuan pengusaha skala mikro melalui kegiatan perempuan keluarga sehat dan sejahtera (PERKASSA). Pemerintah menyalurkan permodalan dengan pola dana bergulir kepada setiap koperasi sebesar Rp100 juta. Kemudian, koperasi penerima menyalurkannya kepada anggota sebagai pinjaman dengan bunga atau bagi hasil yang ditentukan oleh Rapat Anggota. Realisasi penyaluran PERKASSA pada periode tahun 2006–2007 adalah sebesar Rp44,3 miliar kepada 443 koperasi. Dalam perkembangannya sampai dengan Maret 2009, dana tersebut telah disalurkan oleh koperasi dan dimanfaatkan oleh 11.016 perempuan pengusaha skala mikro. Dalam rangka mendukung upaya penataan lokasi dan penertiban pedagang kaki lima (PKL), Pemerintah Pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah memberikan dukungan penguatan pengembangan sarana usaha PKL melalui Koperasi. Sampai dengan tahun 2008, sudah difasilitasi 16 lokasi PKL di 13 provinsi dan bantuan penguatan kepada 2.319 usaha mikro. Sementara itu, pada tahun 2009 Pemerintah melaksanakan program stimulus fiskal untuk penataan 13 sarana usaha PKL di 13 kabupaten/kota di 32 provinsi. Dukungan penguatan pasar tradisional yang diberikan Pemerintah ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan fungsi pasar tradisional melalui rehabilitasi pasar tradisional. Dengan demikian, dapat diwujudkan kondisi pasar yang layak, bersih, teratur, nyaman dan aman, serta dikelola secara profesional. Selain itu, para pedagang mendapatkan kepastian lokasi usaha dengan didukung peran kelembagaan koperasi di dalamnya. Pasar tradisional yang telah dikembangkan sebanyak 71 unit pada periode tahun 2005—2008. Sementara itu, pada tahun 2009 dilaksanakan program stimulus pembangunan pasar tradisional sebanyak 91 unit. 20 - 16 E. Peningkatan Kualitas Kelembagaan Koperasi Koperasi diharapkan dapat ditingkatkan kualitasnya agar mampu tumbuh dan berkembang sesuai jati dirinya menjadi wadah kepentingan bersama bagi anggotanya. Pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kualitas koperasi antara lain: (a) klasifikasi koperasi dan pencapaian koperasi berkualitas; (b) sosialisasi pembentukan koperasi; (c) pendidikan perkoperasian; dan (d) pengembangan kerja sama koperasi pertanian se ASEAN. Untuk mengetahui kinerja dan kualifikasi koperasi Indonesia, dan mendorong pelaksanaan prinsip-prinsip koperasi, Pemerintah telah melakukan upaya intensif dan terpadu dengan klasifikasi koperasi. Pada periode tahun 2006-2008, telah dilakukan klasifikasi koperasi sebanyak 33.463 koperasi dengan rincian 4.796 koperasi klasifikasi A, 14.240 koperasi klasifikasi B, 14.458 koperasi klasifikasi C. Hasil dari klasifikasi akan menjadi bahan bagi penetapan kebijakan pengembangan koperasi dan menjadi sumber informasi bagi pihak lain yang memerlukan kerja sama dengan koperasi. Selanjutnya, Pedoman Klasifikasi Koperasi disempurnakan menjadi Pedoman Pemeringkatan Koperasi yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor 22/Per/M.KUKM/IV/2007. Pada tahun 2007, dihasilkan 7.918 koperasi yang berperingkat dengan rincian: (a) 4 koperasi berperingkat sangat berkualitas, (b) 2.592 koperasi berperingkat berkualitas, dan (c) 5.322 koperasi berperingkat cukup berkualitas. Sementara itu, pada tahun 2008 dihasilkan 886 koperasi yang berperingkat dengan rincian: (a) 22 koperasi berperingkat berkualitas, dan (b) 864 koperasi berperingkat cukup berkualitas. Dalam rangka penguatan permodalan bagi koperasi sivitas akademika (KOSIKA), Pemerintah telah memberikan bantuan modal kepada 10 unit KOSIKA yang tersebar di 10 provinsi pada tahun 2007. Penguatan permodalan KOSIKA akan dapat dirasakan manfaatnya oleh 1.250 orang anggota koperasi. Dalam rangka peningkatan kualitas dan jumlah koperasi, Pemerintah melakukan sosialisasi pembentukan koperasi. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kelompok usaha 20 - 17 masyarakat terutama yang sudah memiliki usaha produktif menjadi lembaga yang berbentuk koperasi. Pada tahun 2008, telah dilakukan sosialisasi pembentukan koperasi wanita di 4 provinsi. Untuk meningkatkan peran koperasi di bidang pertanian dan sekaligus dalam mengantisipasi perekonomia dunia yang semakin kompetitif, Indonesia telah berpartisipasi dalam kerja sama koperasi se-ASEAN. Wadah Kerja sama diwujudkan melalui pembentukan ASEAN Center for The Development of Agricultural Cooperative (ACEDAC). Anggotanya adalah gerakan koperasi dari negara-negara anggota ASEAN. Pada tahun 2008, telah diadakan sidang tahunan di Lao PDR yang menghasilkan: (a) kesepakatan pelaksanakan Strategy Alliances Project untuk Dairy Product Marketing oleh Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI); (b) penyelenggaraan exchange visit yang bertujuan untuk meningkatkan wawasan bagi pengurus maupun pengelola koperasi; dan (c) penguatan kerja sama negaranegara ASEAN dengan Jepang. Dalam upaya meningkatkan kualitas SDM koperasi, Lembaga Pendidikan Koperasi (LAPENKOP) telah menyelenggarakan diklat perkoperasian. Diklat ini ditujukan kepada anggota koperasi, pengurus koperasi dan pengawas koperasi. Selama periode tahun 2005-2008 telah dilatih sekitar 1,5 juta orang. Pemerintah juga pada periode tahun yang sama telah menyelenggarakan diklat perkoperasian kepada 14.280 orang yang terdiri anggota koperasi, pengurus koperasi, pengelola koperasi, pengawas koperasi maupun masyarakat yang akan membentuk koperasi. III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN Beberapa tindak lanjut dalam memberdayakan koperasi dan UMKM perlu dilakukan, terutama adalah pada hal-hal berikut ini. 1) Menindaklanjuti Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai landasan yang kuat dalam memberdayakan UMKM pada masa mendatang, segera di tindaklanjuti sehingga menjadikan UMKM yang tangguh, kuat dan mandiri, serta lebih mendapat jaminan kepastian hukum. Untuk itu, diperlukan beberapa peraturan pelaksanaan, baik berupa peraturan presiden maupun peraturan pemerintah. 20 - 18 2) Perlu adanya penyempurnaan dalam pelaksanaan KUR melalui (a) penyempurnaan pelaksanaan penyaluran KUR mikro; (b) perluasan bank pelaksana penyaluran KUR; dan (c) peningkatan skema linkage yang melibatkan lembaga keuangan mikro (LKM) dan KSP/USP dalam penyaluran KUR. 3) Perlu adanya terobosan (rintisan) untuk mengembangkan sentra-sentra produksi di daerah terisolasi dan tertinggal/perbatasan. Tindak lanjut ini diperlukan agar masyarakat atau sentra-sentra produksi di daerah tertinggal/perbatasan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi lokal tiap-tiap daerah. 4) Penyediaan insentif dan dukungan bagi pengembangan inovasi dan teknologi untuk mendukung UKM dan koperasi dan wirausaha baru berbasis teknologi. Insentif ini terutama ditujukan bagi UKM yang berorientasi ekspor, subkontrak/penunjang, agribisnis/agroindustri dan yang memanfaatkan sumber daya lokal. 5) Penumbuhan wirausaha baru melalui dukungan fasilitasi praktek usaha yang melibatkan peran lembaga pendidikan pedesaan. Lembaga ini merupakan kelompok yang berperan mendorong proses trickle down effect dalam bidang ekonomi dan iptek. Pemberdayaan lembaga pendidikan pedesaan dalam kegiatan usaha koperasi dan kewirausahaan sekaligus ditujukan pada pengurangan pengangguran khususnya tenaga kerja terdidik yang sekaligus akan dapat mengatasi masalah keterbatasan kemampuan SDM koperasi. 6) Penyediaan dana melalui koperasi untuk sarana produksi bersama anggota yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas koperasi dan UMKM di bidang pertanian tanaman pangan, hortikultura, perikanan dan peternakan, pekebunan dan kehutanan, serta aneka usaha lainnya. 7) Revitalisasi lembaga pendidikan dan pelatihan perkoperasian dengan tujuan untuk meningkatkan ketersediaan tenaga pembina dan penyuluh perkoperasian di daerah. 

yang terbaik

No whatsapp jasa karya ilmiah Universitas Terbuka

Untuk no whatsapp nya ganti di 085293796340 Untuk testimoni ada di galeri. Untuk yg lain2 gak tak post krna sdh mulai di rame pembahasan ter...