INTEPRETASI PURPOSIVE
Ada 6 jenis intepretasi konstitusi yang diperkenalkan oleh Hobbit dimana menurut Albert H.Y Chen adalah termasuk dalam ruang lingkup interpretasi purposive, diantaranya ada :
Penafsiran Etikal, yang merupakan metode penafsiran konstitusi dengan pendekatan filsafati, moral atau aspirasi. Contohnya yang sering dilakukan oleh Hakim Frank Caprio dalam channel videonya :
Hakim Frank sering mengatasnamakan norma konstitusi negaranya dengan mendekatkan kepentingan pelanggar lalu lintas yang sedang mengalami kesulitan financial, kegawatdaruratan, bahkan secara psikologis terganggu karena sedang menjalani persidangan perceraian misalnya;
Penafsiran structural, adalah metode penafsiran suatu undang-undang dengan konstitusi yang derajat normanya lebih luas. Tekstual dalam UU tidak serta merta diterapkan secara langsung, akan tetapi mempertimbangkan nilai yang ada dalam konstitusi. Misalnya, dalam kasus Ustad Baasyir yang dimungkinkan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat dengan alasan pertimbangan Presiden yang mendalih kan perlakuan khusus bagi lansia yang terdapat dalam konstitusi dan kewenangan atribusi Presiden memungkinkan untuk melakukan putusan atau kebijaksanaan. Akan tetapi kasus ini tidak diteruskan oleh sebab Ustad Baasyir menolak untuk menandatangani dokumen setia kepada Pancasila.
Penafsiran hitoris, adalah metode penafsiran original intent yang didasarkan pada sejarah pembahasan dan pembentukan konstitusi atau undang-undang. Contoh adalah kasus Jones Vs Menara Boot Co. yang kasusnya oleh pengadilan tingkat kota ditafsirkan berbeda oleh Hakim Pengadilan Banding. Para hakim menggunakan pendakatan purposive dengan memeriksa peristiwa hukum ini adalah terkait dengan konteks perselisihan dalam pekerjaan bukan semata delik kekerasan fisik yang dialami oleh warga kulit hitam. Hakim mempertimbangkan bahwa sewaktu UU tentang Ketenagakerjaan dibuat memang dilatarbelakangi sejarah diskriminasi terhadap pekerja kulit hitam.
KRITIK DAN CONTOH PENAFSIRAN LITERAL
Penafsiran Literal adalah metode menafsirkan hukum berdasarkan tekstual yang tertulis dalam undang-undang. Oleh Sartjipto Raharjo, metode literal ini adalah bagian dari semangat yang mengharuskan idealnya setiap kalimat pasal dalam undang-undang sudah jelas (scripta).
Kritik terberat untuk metode literal adalah karena pembuat undang-undang dalam menyusun norma pasal tidak mempertimbangkan bagaimana nantinya para hakim memeriksa dan mengadili perkara hukum yang timbul karena adanya Undang-undang itu. Sebagian menyatakan metode literal jika dipaksakan dapat menjadikan kebebasan hakim dalam memeriksa dan melakukan pertimbangan dapat menjadi terbatas, atau telah dibatasi oleh pembuat Undang-undang.
Contohnya : Pengadilan Negeri Kota Pangkalpinang, mengadili terdakwa yang dijerat dengan Undang-Undang Darurat karena membawa senjata tajam, akan tetapi pembela hukum mempertanyakan tidak adanya barang bukti senjata tajam (Linggis) yang dibawakan dalam persidangan sekalipun dalam keterangan saksi-saksi juga terdakwa mengaku dirinya memegang linggis. Karena tekstual UU Darurat adalah mengenai benda tajam, maka dalam pertimbangannya hakim mengabaikan Pasal UU Darurat, dan memvonisnya berdasarkan pasal mengenai penganiayaan.
KAMUS HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN
Pada saat menyusun suatu produk peraturan perundangan menurut ajaran legalisme adalah melalui rangkaian perenungan ide dan etik oleh para pembuat peraturan perundangan. Akan tetapi pandangan ini dapat menjerumuskan pasal – pasal dalam rancangan peraturan perundangan itu terjebak dalam permainan kata-kata yang kelak sulit ditafsirkan oleh para penegak hukum, apalagi dalam hukum pidana peraturan perundangan tidak ambigu.
Oleh sebab itu, diperlukan peran akademisi dan praktisi hukum dalam pembentukan suatu peraturan perundangan. Para akademisi dapat membantu pembuat undang-undang mengenal dan memahami kamus hukum yang dibutuhkan agar kalimat dalam rancangan pasal peraturan perundangan bukanlah kumpulan kalimat kosong yang tidak dikenal dalam bahasa hukum.
Misalnya, dalam revisi UU ITE yang akhirnya lebih jelas setelah diadakan perubahan mengenai delik umum dalam unsure pidana dapat diaksesnya penghinaan atau pencemaran nama baik menjadi delik aduan yang harus diawali dengan adanya pengaduan tanpa perlu mempertentangkan lagi kalimat “dapat diaksesnya” sebagai unsure umum sesuai delik penghinaan dalam KUHP. Sehingga pengaduan atas penghinaan melalui pesan SMS antara 2 orang dapat ditinjau sebagai delik aduan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar