Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Sharon digugat di pengadilan Belgia karena Belgia sejak 1993 memiliki Yurisdiksi Universal (Universal Jurisdiction) terhadap kejahatan genocide dan crime against humanity, yang tertuang dalam perundangannya. Keputusan Supreme Court Belgia ini sangat menarik, karena merupakan terobosan baru dalam yurisdiksi peradilan pidana. Belgia yang tak memiliki kepentingan apapun dengan Sharon (Israel) dapat menggugat Sharon atas prinsip universal jurisdiction.
Berbahagialah para penjahat HAM berat. Sejarah menunjukkan, langka sekali para penjahat HAM berat yang nasibnya berujung ke pengadilan. Padahal, kejahatan-kejahatan tersebut seperti genocide, crime against humanity, dan war crime adalah tergolong kejahatan HAM berat (grave breaches of human rights) yang menyakiti norma-norma masyarakat hukum internasional. Mereka tak kunjung diadili, pula, para korban tak berani untuk menyampaikan kesaksian karena minimnya perlindungan hukum.
Inilah yang disebut dengan impunity alias kejahatan yang tak dihukum. Sebutlah Pol Pot, mantan orang kuat Kamboja (Cambodia) yang bersama Khmer Merah-nya membantai jutaan rakyat Kamboja selama tahun 1975-1979. Lalu, Jendral Augusto Pinochet, mantan Presiden Chile yang bertanggungjawab atas pembunuhan, penyiksaan (torture) dan penghilangan (forced disappearances) ribuan rakyatnya antara 1973-1990. Juga para mantan petinggi di Guatemala, El Salvador, Argentina, Chad, Afrika Tengah, Cote D'Ivoire, Nigeria, Rwanda, hingga mantan presiden Soeharto di Indonesia, nyaris tak tersentuh hukum.
Banyak sebab di balik impunity tersebut. Pada kasus Kamboja, sebabnya karena pemerintahan Hun Sen (pada 1997) cenderung enggan untuk mengadili Khmer Merah. Juga adanya veto dari China di Dewan Keamanan yang mencegah terbentuknya pengadilan khusus bagi Khmer Merah. Pada kasus Pinochet, kendati Pinochet telah menjalani tahanan rumah di Inggris sejak 1998, ia tak kunjung dapat diadili. Sebabnya, masalah yurisdiksi juga keengganan pemerintah Chili (unwilling) untuk mengadilinya.
Sama halnya dengan Indonesia. Putusan bebas bagi para petinggi TNI pada Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur dan berhentinya penuntutan terhadap Soeharto membuktikan kekurangseriusan Indonesia dalam mengadili pelanggar HAM berat.
Pengadilan untuk kejahatan HAM berat
Peradilan untuk pelaku kejahatan HAM berat di abad 20-an ini ditandai dengan lahirnya Mahkamah Kejahatan Perang ad hoc/tribunal pasca perang dunia II, seperti Mahkamah Nurnberg (1945) dan Mahkamah Tokyo (1946), lalu Mahkamah Kriminal Internasional untuk mantan Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia-ICTY) 1993, dan Mahkamah Kriminal Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda-ICTR) 1994. Kemudian, belakangan lahir Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court- ICC) yang dibentuk melalui Statuta Roma pada 1998.
Sebenarnya, PBB memiliki mahkamah internasional yang lazim disebut Internasional Court of Justice-ICJ. Namun, ia tak cukup memiliki yurisdiksi untuk mengadili kejahatan perang. Mahkamah yang berdiri pada 1946 ini sesuai statutanya hanya berwenang untuk mengadili sengketa internasional antar-negara (para pihak dalam sengketanya adalah negara-negara) dan memberikan opini ataupun nasihat hukum kepada organ atau badan-badan internasional. Sehingga, kasus-kasus yang ditangani ICJ tak jauh dari perkara pelanggaran perjanjian internasional ataupun sengketa antar-negara.
Akan halnya mahkamah kejahatan perang mulai dikenal sejak 1474, yaitu dengan timbulnya peradilan atas Peter von Hagenbach di Breisach Austria. Ia adalah seorang gubernur/hulubalang Pangeran Charles dari Burgundy yang bertugas di Breisach. Dalam rangka melaksanakan tugas Pangeran, Hagenbach telah melakukan kekejaman luar biasa terhadap penduduk Breisach berupa pembunuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan. Akhirnya, persekutuan negara-negara Austria, Berne, dan Perancis sepakat untuk mengadili dan menjatuhinya hukuman mati (Sondakh, 2002).
Lalu, pada perang dunia ke II, kejahatan perang NAZI yang membantai jutaan warga Yahudi (holocaust) dan kejahatan perang Jepang terhadap warga negara-negara lawannya membuahkan dua mahkamah, yaitu Mahkamah Nurnberg dan Mahkamah Tokyo. Mahkamah Nurnberg dibentuk oleh sebuah persetujuan multilateral yang ditandatangani di London antara pemerintah-pemerintah Amerika Serikat, Uni Sovyet, Inggris, serta pemerintahan sementara Perancis (sekutu/allies). Sedangkan, mahkamah Tokyo dibentuk melalui proklamasi khusus dari Jenderal Mc Arthur selaku komandan tertinggi sekutu di Timur Jauh, yang kemudian mendapat limpahan kewenangan dari Amerika Serikat, Uni Sovyet, Inggris, dan Cina (Sondakh, 2002).
Mahkamah Nurnberg dan Tokyo adalah mahkamah militer yang sifatnya ad hoc. Hanya mengadili kejahatan perang kaum militer di Eropa dan Asia Timur-Pasifik, yang terutama dilakukan oleh Jerman dan Jepang pada perang dunia II. Ia pun mempunyai sifat internasional karena dibentuk melalui perjanjian antar-negara, kendati sponsor utamanya tetap Amerika Serikat. Kedua mahkamah ini sering disebut juga sebagai victorious justice, karena dibentuk oleh negara-negara pemenang perang. Walhasil, negara-negara sekutu yang juga melakukan kejahatan perang--termasuk pemboman Hiroshima-Nagasaki--tak sekalipun diadili.
Setelah era Mahkamah Nurnberg dan Tokyo, terjadi kesenjangan yang cukup lama dalam peradilan penjahat HAM berat sampai lahirnya mahkamah untuk mantan Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR) di dekade 90-an.
Mahkamah Kriminal Internasional untuk mantan Yugoslavia (ICTY) dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi No.687 tahun 1991. Mandatnya adalah mengadili pelanggaran terhadap hukum humaniter yang terjadi dalam konflik Balkan (mantan negara Yugoslavia: Serbia-Bosnia-Kroasia, dan lain-lain) sejak 1 Januari 1991. Seperti kita ketahui, konflik Balkan telah mengakibatkan tewasnya ribuan nyawa, pemerkosaan massal, dan penganiayaan berat yang utamanya terjadi pada rakyat Bosnia. Tak kurang dari Slobodan Milosevic (mantan Presiden Yugoslavia), Radovan Karadzic, dan Ratko Mladic, dihadapkan ke Mahkamah yang berbasis di Den Haag atas tuduhan manjadi 'jagal' rakyat Bosnia.
Sedangkan, Mahkamah Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR) dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 955 tanggal 8 November 1994. Yurisdiksinya adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran Konvensi Geneva (hukum humaniter), yang terjadi di Rwanda dan negara-negara tetangganya, antara 1 Januari sampai dengan 31 Desember 1994.
Berbeda dengan Mahkamah Nurnberg dan Tokyo, kedua mahkamah di atas dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB. Persamaannya, keduanya dapat mengadili individu-individu dan bersifat ad hoc.
Mahkamah Pidana Internasional
Mahkamah yang lahir terakhir adalah Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court, ICC). Ia adalah badan peradilan independen permanen yang bermarkas di Den Haag, Belanda, dan dibentuk oleh negara-negara anggota masyarakat internasional melalui Statuta Roma 1998. Tujuan ICC adalah untuk mengadili tindak pidana yang mengancam jiwa manusia berdasarkan hukum internasional seperti (1) genocide, (2) crime against humanity, (3) kejahatan terhadap hukum humaniter, (4) kejahatan agresi.
Tidak seperti Mahkamah Internasional (International Court of Justice-ICJ) yang menangani sengketa antar-negara, yuridiksi ICC mencakup individu dan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan. ICC menangani tindak pidana yang dilakukan oleh individu-individu, baik sebagai bagian dari rezim pemerintahan ataupun sebagai bagian dari gerakan pemberontak. Dalam hal ini, ia memberlakukan yurisdiksi internasional terhadap tindak pidana-tindak pidana tersebut.
Dasar pendirian ICC adalah (1) kegagalan masyarakat internasional dalam menangani kejahatan genocide, crime against humanity, kejahatan perang, dan kejahatan agresi dan (2) Banyaknya pelaku kejahatan yang tak dihukum (impunity) karena ketidakmauan (unwilling) dan ketidakmampuan (unable) dari negara-negara yang bersangkutan.
Kelemahan Mahkamah Pidana Internasional
Kendati menjadi 'harapan satu-satunya' untuk menyeret para pelanggar HAM berat setelah mahkamah Yugoslavia dan Rwanda yang bersifat ad hoc dan yurisdiksinya terbatas, tak urung Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pun memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, Statuta Roma sebagai dasar pembentukan ICC menganut asas nonretroaktif alias tidak berlaku surut. Artinya, kejahatan HAM berat sebelum 1 Juli 2002--saat di mana ICC mulai berlaku secara hukum--besar kemungkinan sulit untuk diadili.
Kedua, meskipun bukan organ PBB, Dewan Keamanan berperan penting dalam operasional mahkamah ini. Dan kita pun tahu bahwa Dewan Keamanan tak lepas dari kepentingan-kepentingan politis. Ketiga, statuta ICC mendahulukan otoritas hukum nasional (legal remedies) untuk terlebih dahulu mengadili pelaku kejahatan HAM berat berat. Padahal, tidak semua pengadilan nasional bersifat imparsial dan independen.
Jerry Fowler (2000) menyebutkan bahwa peran Dewan Keamanan PBB sangat besar dalam operasional mahkamah. Peran mana menimbulkan protes dari India yang menyebutkan bahwa pemberian peran kepada Dewan Keamanan dalam Statuta Roma adalah melanggar hukum internasional. Karena, di bawah Statuta Roma, Dewan Keamanan dapat mensponsori ataupun merujuk pada sebuah situasi yang melibatkan wilayah atau bangsa dari suatu negara yang menjadi pihak dalam piagam PBB (berdasarkan mandat pada bab VII Piagam PBB) juga untuk menunda penyelidikan dan penuntutan sampai setahun lamanya (Pasal 16 Statuta Roma).
Dewan keamanan merupakan sebuah badan politis yang seringkali dilumpuhkan oleh hak veto para anggota tetapnya. Dewan ini terdiri atas 15 anggota PBB, 5 anggota tetap (RRC, Inggris, AS, Rusia, dan Perancis), dan 10 anggota tidak tetap yang dipilih setiap dua tahun. Hak veto para anggota tetap ini menurut De Rover (2000) menimbulkan masalah penting dan ketidakjelasan dalam prosedur pemungutan suara.
Universal jurisdiction sebagai alternatif
Keputusan Supreme Court Belgia pada 12 Februari 2003 yang mengizinkan dilanjutkannya proses peradilan terhadap Ariel Sharon segera setelah ia tak lagi menjabat PM Israel adalah tonggak penting dalam sejarah peradilan terhadap penjahat kemanusiaan. "This is a victory for international justice and for the victims," ujar Luc Walleyn, salah seorang pengacara dari para penggugat (Simons, 2001).
Para penggugat mendasarkan gugatannya pada UU Belgia tahun 1993 yang mengakui yurisdiksi universal. Pengadilan nasional Belgia dapat mengadili kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida tanpa memandang siapa dan dimana kejahatan tersebut terjadi. Dan, tanpa harus ada keterkaitan dengan Belgia baik secara teritorial (asas teritorial) maupun individual (nasionalitas dan personalitas pasif).
Ariel Sharon adalah Menteri Pertahanan Israel pada saat terjadinya genosida terhadap pengungsi Palestina di Kamp Shabra Shatila. Pada 1983, komisi pencari fakta yang dibentuk Israel menetapkan bahwa ia bertanggungjawab secara tidak langsung atas terjadinya pembantaian tersebut. Namun, Sharon tak pernah dituntut di muka pengadilan Israel sampai saat ini. Alih-alih dituntut, ia malah kemudian menjadi PM Israel.
Di samping kasus Sharon, berpuluh kasus kejahatan berat HAM lainnya menumpuk di pengadilan Belgia. Antara lain kasus Yasser Arafat. Israel menggugat Yasser Arafat ke pengadilan Belgia atas tuduhan melakukan tindakan terorisme. Lalu, ada juga kasus Fidel Castro, Saddam Hussein, hingga mantan petinggi negara Cote D'Ivoire, Rwanda, Kamboja, mantan pejabat Khmer Merah di Kamboja, dan para mantan petinggi negara Chad, Iran, dan Guatemala.
Menumpuknya kasus di pengadilan Belgia ini membuktikan bahwa ide yurisdiksi internasional ini tidaklah terlalu aneh. Didukung lagi dengan kenyataan bahwa banyak negeri yang unable dan unwilling dalam mengadili para penjahat HAM-nya. para penjahat HAM yang masih bebas berkeliaran.
Lalu, satu kekuatan dari hukum Belgia 1993 ini adalah kesesuaiannya dengan semangat universal jurisdiction dari konvensi-konvensi HAM internasional, utamanya Konvensi Den Haag (1907), Konvensi Geneva (1949), dan Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture). Belgia tidak sekadar menerapkan konvensi-konvensi tersebut untuk kebutuhan domestiknya, tetapi juga untuk kebutuhan internasional.
Beberapa masalah besar dalam penerapan yurisdiksi internasional ini adalah pertama, kendala hukum. Prinsip yurisdiksi internasional ini indah didengar dan disenangi oleh para aktivis HAM, tetapi relatif sukar dalam pelaksanaannya. Banyak negara yang tidak ikhlas petingginya diadili oleh suatu negara yang tidak punya kepentingan apapun dengannya. Apalagi, oleh suatu prinsip yang mereka anggap perlu diuji lagi legalitasnya secara hukum internasional.
Kedua, kendala adanya kekebalan hukum (immunity) terhadap para petinggi negara ataupun pimpinan pemerintahan yang sedang menjabat. Hal mana diakui pula oleh hukum internasional. Itulah mengapa kasus Sharon, kendati dikabulkan penuntutannya, harus menunggu sampai Sharon bebas tugas. Ketiga, adalah kesulitan menghadirkan para tersangka ke Belgia. Kendati UU 1993 mengakui peradilan secara in absentia, tetap dalam rangka terungkapnya kebenaran dan keadilan, kehadiran tersangka tetap diperlukan.
Kasus Jendral Pinochet yang ditahan di Inggris sejak 1998 dapat terjadi karena Inggris mengamini permintaan penahanan dari Spanyol. Spanyol meminta penahanan Pinochet karena warganegaranya turut menjadi korban kejahatan HAM mantan orang kuat Chili ini. Penahanan ini juga dimungkinkan karena Inggris dan Spanyol telah mengadopsi UN Convetion Against Torture sebagai dasar hukum penahanan Pinochet. Juga, karena secara politis pemerintahan Inggris di bawah Partai Buruh (PM Tony Blair) lebih akomodatif terhadap isu-isu HAM (Cassel, 2003).
Ketiga kendala di atas adalah tantangan untuk penerapan yurisdiksi internasional bagi pelaku pelanggar HAM berat di pengadilan Belgia. Pelbagai kendala tersebut menyebabkan sejauh ini, pengadilan yang telah berjalan di bawah UU 1993 tersebut barulah pengadilan terhadap empat warga Rwanda atas tuduhan melakukan genosida di Rwanda (terhadap etnis Tutsi) pada 1995. Mereka dihukum 12 hingga 15 tahun penjara. Itupun karena mereka tinggal di Belgia dan Rwanda adalah mantan koloni Belgia.
Instrumen pendukung
Pengakuan terhadap prinsip yurisdiksi universal terserak dalam pelbagai instrumen HAM internasional, antara lain dalam (1) The Princeton Principles on Universal Jurisdiction, (2) Brussels Principles Against Impunity and for International Justice, dan dalam report tentang (3) Right to restitution, compensation, and rehabilitation for victim of gross violation of human rights and fundamental freedoms yang dibuat oleh special rapporteur Professor Cherrif Bassiouni untuk UN Commission of Human Rights.
The Princeton Principles dibuat oleh para partisipan dari Princeton Project on Universal Jurisdiction pada 2001. Tujuannya adalah untuk menggagas aplikasi hukum internasional dalam sistem hukum nasional. Universal jurisdiction dalam Princeton Principles diartikan sebagai yurisdiksi kriminal yang dasarnya semata-mata pada sifat dari kejahatan tersebut, tanpa memandang di mana, siapa, apa kebangsaan dan negara dari sang pelaku kejahatan tersebut (prinsip 1 angka 1). Kemudian, kejahatan yang tergolong sebagai the serious crimes under international law, di mana universal jurisdiction berlaku terhadapnya adalah (1) piracy (2) slavery (3) war crimes (4) crimes against peace (5) crimes against humanity (6) genocide and (7) torture (prinsip 2 angka 1).
Satu hal yang juga menarik adalah berlakunya asas 'international due process norms' bagi setiap negara yang ingin menerapkan universal jurisdiction. Artinya, negara harus menerapkan asas independensi dan imparsialitas peradilan sekaligus melindungi hak-hak tersangka dan korban dalam standar yang diakui oleh hukum internasional.
The Princeton Principles juga tidak mengakui adanya kekebalan hukum bagi tersangka yang berstatus sebagai pimpinan negara/pemerintahan. Juga, tidak menganjurkan diberikannya amnesti dan tak ada status kadaluwarsa bagi kejahatan HAM berat dalam hukum internasional.
Brussels Principles against Impunity and for International Justice yang diadopsi oleh the Brussel Groups for International Justice pada 13 Maret 2002 memiliki pengaturan yang kurang lebih sama dengan The Princeton Principles. Kejahatan berat HAM dalam prinsip ini diartikan sebagai pelanggaran berat terhadap HAM dan hukum humaniter internasional. Termasuk, war crimes, crimes against humanity, genocide, torture, extrajudicial executions dan forced dissappearences. Brussels Principles menentang impunity dan menyebutkan bahwa pemberian immunity dan amnesty sekali-sekali tak boleh mengganggu jalannya penuntutan terhadap pelaku kejahatan berat HAM.
Sementara itu, laporan Prof. Bassiouni tentang The Right of Constitution, restitution, compensation, and rehabilitation for victim of gross violation of human rights and fundamental freedoms (2000) memiliki ketentuan bahwa negara harus memuat prinsip universal jurisdiction dalam legislasi nasionalnya untuk kejahatan yang melanggar norma-norma hukum internasional. Juga, untuk bersikap kooperatif dan memfasilitasi ekstradisi ataupun penyerahan para pelanggar HAM berat ke negara lain ataupun badan internasional. Termasuk, dalam hal ini memberikan perlindungan hukum terhadap korban dan saksi.
Permasalahan dari ketiga instrumen di atas adalah sifatnya yang bukan merupakan dokumen yang mengikat secara hukum (legally binding). Ia dapat dirujuk oleh suatu negara, tapi tak mempunyai sifat mengikat. Apalagi, jangankan untuk dokumen yang tidak mengikat. Untuk instrumen HAM internasional yang legally binding sekalipun, banyak negara--termasuk Indonesia--yang enggan menandatangani ataupun meratifikasinya.
Prinsip universal jurisdiction ini barangkali bukanlah prinsip yang baru dalam sistem hukum pidana internasional. Namun, terobosan hukum yang dilakukan Belgia pada tahun 1993 cukup menarik dan menghenyakkan banyak pihak. Kendati, masih banyak kendala yang dihadapi dalam pemberlakuannya. Termasuk, kendala legalitasnya dalam hukum nasional maupun internasional.
Namun, ia telah menghadirkan perspektif baru. Suatu perspektif bahwasanya untuk pelanggaran berat HAM seperti genocide, crime against humanity dan war crime, haruslah diposisikan sebagai kejahatan serius yang bersifat internasional. Yang memberikan hak sekaligus tanggungjawab yang sama besar pada setiap negara untuk mengadilinya ke muka pengadilan yang independen dan imparsial, baik secara nasional maupun internasional.
Heru Susetyo adalah mahasiswa Program LL.M International Human Rights Law Northwestern Law School, Chicago dan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.