26th Januari 2004 AI Index: IOR 40/001/2004
AMNESTY INTERNATIONAL
Pengadilan Pidana Internasional
Lembar fakta 1
Pendahuluan mengenai Pengadilan Pidana Internasional
"Pembentukan Pengadilan tersebut masih
merupakan sebuah harapan bagi generasi
yang akan datang, dan merupakan suatu
langkah besar dalam rangka gerakan
menuju hak asasi manusia dan supremasi
hukum yang universal."
Kofi Annan, Sekjen PBB, 18 Juli 1998,
dalam penandatanganan Statuta Roma
tentang Pengadilan Pidana Internasional
di Roma
1. Apa itu Pengadilan Pidana
Internasional?
Pengadilan Pidana Internasional (ICC = The
International Criminal Court) merupakan
sebuah lembaga yudisial independen yang
permanen, yang diciptakan oleh komunitas
negara-negara internasional, untuk mengusut
kejahatan yang mungkin dianggap sebagai
yang terbesar menurut hukum internasional
seperti: genosida, kejahatan lain terhadap
kemanusiaan dan kejahatan perang.
2. Kapan ICC dibentuk?
Pada bulan Juli 1998, sebuah konferensi
diplomatik mengadopsi Statuta Roma dari
ICC (Statuta Roma) dengan hasil jumlah
suara 120 setuju dan hanya tujuh tidak setuju
(21 tidak memberikan suara). Statuta Roma
menjelaskan tentang kejahatan tersebut,
tentang bagaimana pengadilan akan bekerja,
dan negara-negara mana saja yang harus
bekerjasama dalam hal tersebut. Ratifikasi
ke-60 yang diperlukan untuk membentuk
ICC dilakukan pada tanggal 11 April 2002,
dan Statuta tersebut mulai dilaksanakan
yuridiksinya pada tanggal 1 Juli 2002. Pada
bulan Februari 2003, 18 hakim ICC pertama
terpilih, dan Jaksa pertama terpilih pada
bulan April 2003.
3. Mengapa Pengadilan tersebut perlu?
Walaupun selama setengah abad komunitas
internasional telah menciptakan sistem
perlindungan terhadap hak asasi manusia
secara internasional dan regional, jutaan
orang masih terus menjadi korban genosida
serta korban kejahatan terhadap kemanusiaan
dan kejahatan perang.
Secara memalukan, hanya segelintir saja dari
mereka yang seharusnya bertanggungjawab
terhadap kejahatan ini pernah dibawa ke
pengadilan nasional – itu sebabnya
kebanyakan pelaku melakukan kejahatan ini
dengan pemahaman bahwa mereka sangat
tidak mungkin diadili atas tindakan yang
mereka lakukan.
ICC bertujuan sebagai berikut:
• Bertindak sebagai pencegah terhadap
orang yang berencana melakukan kejahatan
serius menurut hukum internasional;
• Mendesak para penuntut nasional –
yang bertanggungjawab secara mendasar
untuk mengajukan mereka yang
bertanggungjawab terhadap kejahatan ini ke
pengadilan – untuk melakukannya;
• Mengusahakan supaya para korban
dan keluarganya bisa memiliki kesempatan
untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran,
dan memulai proses rekonsiliasi;
• Melakukan langkah besar untuk
mengakhiri masalah pembebasan dari
hukuman (impunity).
4. Apa pengaruh ICC pada pengadilanpengadilan nasional?
Pengadilan-pengadilan nasional akan selalu
memiliki yurisdiksi terhadap kejahatankejahatan semacam itu. Menurut prinsip
“saling melengkapi”, ICC hanya akan
bertindak ketika pengadilan nasional tidak
mampu atau tidak mau melakukannya.
Misalnya, sebuah pemerintah mungkin tidak
mau menuntut warga negaranya sendiri,
khususnya bila mereka mempunyai jabatan
2
tinggi, atau jika sistem pengadilan pidana
tidak berfungsi akibat konflik internal, yang
kemudian mungkin tidak ada pengadilan
yang mampu mengatasi kejahatan-kejahatan
sejenis ini.
5. Kapan pengadilan tersebut bisa
menuntut individu yang telah dicurigai
melakukan kejahatan besar menurut
hukum internasional?
Pengadilan tersebut memiliki yurisdiksi
untuk menuntut para individu ketika:
• Kejahatan dilakukan di wilayah
negara yang telah meratifikasi Statuta Roma;
• Kejahatan dilakukan oleh warga
negara dari sebuah negara yang telah
meratifikasi Statuta Roma;
• Negara yang belum meratifikasi
Statuta Roma tetapi telah membuat deklarasi
yang menyetujui yurisdiksi pengadilan
terhadap tindak kejahatan;
• Kejahatan dilakukan dalam situasi
yang mengancam atau melanggar
perdamaian dan keamanan internasional, dan
Dewan Keamanan PBB telah menyerahkan
situasi tersebut ke Pengadilan Pidana
Internasional tersebut, menurut Bab 7
Piagam PBB.
6. Apakah Pengadilan tersebut bisa
menuntut para individu atas kejahatan
yang dilakukan sebelum pembentukan
Pengadilan tersebut?
Tidak. Pengadilan tersebut hanya akan
memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang
dilakukan setelah tanggal 1 Juli 2002, ketika
Statuta Roma mulai diberlakukan.
7. Siapa yang akan memutuskan tentang
kasus-kasus mana yang akan diajukan ke
Pengadilan?
Statuta Roma menetapkan kasus-kasus yang
bisa disidangkan di Pengadilan ini didapat
melalui tiga cara yang berbeda:
1. Jaksa Penuntut Pengadilan ini bisa
mengawali tindakan investigasi pada suatu
situasi di mana satu atau lebih kejahatan
telah dilakukan, berdasarkan pada informasi
dari sumber apa saja, termasuk dari korban
atau keluarga korban, tetapi hanya bila
Pengadilan tersebut memiliki yurisdiksi
terhadap kejahatan dan individu tersebut
(lihat pertanyaan 4 dan 5).
2. Negara-negara yang telah meratifikasi
Statuta Roma bisa meminta Jaksa untuk
menginvestigasi suatu keadaan di mana satu
atau lebih kejahatan telah dilakukan, tetapi
hanya bila Pengadilan tersebut memiliki
yurisdiksi.
3. Dewan Keamanan PBB bisa meminta
Jaksa untuk menginvestigasi suatu keadaan
di mana satu atau lebih kejahatan telah
dilakukan. Tidak seperti metode 1 dan 2,
ICC akan memiliki yurisdiksi ketika Dewan
Keamanan PBB menyerahkan hal tersebut
kepada Jaksa, bahkan sekalipun jika
kejahatan terjadi di wilayah negara yang
belum meratifikasi Statuta Roma, atau
dilakukan oleh warga negara dari negara
semacam itu.
Walaupun begitu, masing-masing keadaan
ini tergantung pada Jaksa, bukan pada negara
atau Dewan Keamanan, untuk memutuskan
apakah akan memulai sebuah investigasi atau
tidak. Dan berdasarkan pada investigasi
tersebut akan ditentukan apakah akan
diajukan tuntutan atau tidak berdasarkan
pada persetujuan yudisial .
8. Apa pentingnya sebanyak mungkin
negara meratifikasi Statuta Roma
Jaksa hanya bisa memulai suatu investigasi
bila kejahatan telah dilakukan di wilayah
suatu negara yang menganut Statuta, atau
tertuduh merupakan warga negara dari
sebuah negara yang menganut Statuta,
kecuali jika Dewan Keamanan menyerahkan
suatu situasi pada Pengadilan Pidana
Internasional. Keengganan Dewan
Keamanan untuk mendirikan tribunal pidana
internasional ad hoc bagi situasi di luar bekas
Yugoslavia dan Rwanda, menunjukkan
bahwa tidak mungkin Dewan Keamanan
menyerahkan banyak situasi pada Pengadilan
tersebut. Itu sebabnya, sebagian besar
keefektifan pengadilan akan diukur dari
berapa banyak negara yang meratifikasi
Statuta tersebut.
Publikasi Proyek Peradilan Internasional
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
b. bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak
asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman
kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak
Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai
dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia;
c. bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran
hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu
dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327 );
4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
3. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah
pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
4. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun
polisi yang bertanggung jawab secara individual.
5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang ini.
BAB II
KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN
PENGADILAN HAM
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 2
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
Pasal 3
(1) Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
(2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
BAB III
LINGKUP KEWENANGAN
Pasal 4
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat.
Pasal 5
Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia
oleh warga negara Indonesia.
Pasal 6
Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
tahun pada saat kejahatan dilakukan.
Pasal 7
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:
a. kejahatan genosida;
b. kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 8
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;
atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah
satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid.
BAB IV
HUKUM ACARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 10
Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara
pidana.
Bagian Kedua
Penangkapan
Pasal 11
(1) Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan
penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
(2) Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah
penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan
penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dipersangkakan.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
(4) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan
bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada
penyidik.
(5) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan untuk paling lama 1 (satu)
hari.
(6) Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.
Bagian Ketiga
Penahanan
Pasal 12
(1) Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.
(2) Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa
yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti
yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pasal 13
(1) Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh)
hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum
dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 14
(1) Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penuntutan belum
dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 15
(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat dilakukan
paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 16
(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan
paling lama 60 (enam puluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya.
Pasal 17
(1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan
paling lama 60 (enam puluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung.
Bagian Keempat
Penyelidikan
Pasal 18
(1) Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia.
(2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia dan unsur masyarakat.
Pasal 19
(1) Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik
berwenang:
a. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam
masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran
hak asasi manusia yang berat;
b. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan
barang bukti;
c. memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan
didengar keterangannya;
d. memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya;
e. meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang
dianggap perlu;
f. memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan
dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya;
g. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1) pemeriksaan surat;
2) penggeledahan dan penyitaan;
3) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya
yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu;
4) mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
(2) Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat penyelidik memberitahukan hal itu kepada penyidik.
Pasal 20
(1) Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan
yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan
hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik.
(2) Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik.
(3) Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut
kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.
Bagian Kelima
Penyidikan
Pasal 21
(1) Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
(2) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kewenangan menerima
laporan atau pengaduan.
(3) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat
mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat.
(4) Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut
agamanya masing-masing.
(5) Untuk dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc harus memenuhi syarat :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh
lima) tahun;
c. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang
hukum;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 22
(1) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) wajib diselesaikan paling
lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan
dinyatakan lengkap oleh penyidik.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum
dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua
Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.
(5) Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka
kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan
untuk dilakukan penuntutan.
(6) Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat
diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan
praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Penuntutan
Pasal 23
(1) Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
(2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat
mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat.
(3) Sebelum melaksanakan tugasnya penuntut umum ad hoc mengucapkan sumpah atau janji
menurut agamanya masing-masing.
(4) Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh
lima) tahun;
c. berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 24
Penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan
paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima.
Pasal 25
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis
kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat.
Bagian Ketujuh
Sumpah
Pasal 26
Sumpah penyidik dan Jaksa Penuntut Umum ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (4) dan Pasal 23 ayat (3), lafalnya berbunyi sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu
janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur,
seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika
profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum
dan keadilan".
Bagian Kedelapan
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Paragraf 1
Umum
Pasal 27
(1) Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang,
terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang
hakim ad hoc.
(3) Majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diketuai oleh hakim dari Pengadilan
HAM yang bersangkutan.
Pasal 28
(1) Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Ketua Mahkamah Agung.
(2) Jumlah hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya 12 (dua
belas) orang.
(3) Hakim ad hoc diangkat untuk selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan.
Paragraf 2
Syarat Pengangkatan Hakim Ad Hoc
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat:
1. warga negara Republik Indonesia;
2. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enam
puluh lima) tahun;
4. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang
hukum;
5. sehat jasmani dan rohani;
6. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
7. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
8. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
Pasal 30
Hakim ad hoc yang diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) sebelum
melaksanakan tugasnya wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agamanya masing-masing
yang lafalnya berbunyi sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan
memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu
janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur,
seksama, dan obyektif dengan tidak mem-beda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika
profesi dalam
melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya
bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Paragraf 3
Acara Pemeriksaan
Pasal 31
Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM
dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke
Pengadilan HAM.
Pasal 32
(1) Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke
Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3) Jumlah hakim ad hoc di Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya 12 (dua belas) orang.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29, dan Pasal
30 juga berlaku bagi pengangkatan hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.
Pasal 33
(1) Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke
Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan
puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.
(2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim
yang berjumlah 5 (lima) orang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim
ad hoc.
(3) Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya 3 (tiga) orang.
(4) Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(5) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diangkat untuk satu kali masa jabatan
selama 5 (lima) tahun.
(6) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi syarat :
a. warga negara Republik Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;
d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang
hukum;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
h. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia.
BAB V
PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI
Pasal 34
(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI
Pasal 35
(1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat
memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan
dalam amar putusan Pengadilan HAM.
(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 36
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d,
atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 37
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e,
atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 38
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 39
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 40
Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i
dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10
(sepuluh) tahun.
Pasal 41
Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
Pasal 42
(1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer
dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi
Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan
pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan
tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara
patut, yaitu :
a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu
seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan
diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan
perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
(2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di
bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan
pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni :
a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas
menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang
lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan.
(3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.
BAB VIII
PENGADILAN HAM AD HOC
Pasal 43
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undangundang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
(2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan
Presiden.
(3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan
Peradilan Umum.
Pasal 44
Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(1) Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Pengadilan HAM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan
Makassar.
(2) Daerah hukum Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada pada
Pengadilan Negeri di:
a. Jakarta Pusat yang meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa
Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan
Kalimantan Tengah;
b. Surabaya yang meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan
Nusa Tenggara Timur;
c. Makassar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya;
d. Medan yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi, dan
Sumatera Barat.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undangundang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.
Pasal 47
(1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang
ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.
(2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan
Undang-undang.
Pasal 48
Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
sudah atau sedang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 49
Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah
Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran
hak asasi manusia yang berat menurut Undang-undang ini.
Pasal 50
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3911) dengan ini
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 51
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Nopember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 208
Hukum Pidana Internasional 04
19
KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENEGAKAN HUKUM
PIDANA INTERNASIONAL KHUSUSNYA PELANGGARAN
HAK ASASI MANUSIA
Oleh :
Kus Rizkianto
Abstrak
Perkembangan hukum internasional dan hukum pidana internasional abad
21 telah memasuki abad “integrated world of community” di dalam menghadapi
tantangan dan ancaman dengan melepaskan diri dari kenyataan keterkaitan dan
keterikatan suatu bangsa terhadap kondisi objektif baik secara kultural, etnis,
geografis maupun faktor sistem politik yang berkembang di negara yang
bersangkutan sehingga kerjasama internasional sangat diperlukan dalam
menegakkan hukum pidana internasional. Adapun bentuk kerjasama yang dapat
dilakukan dalam penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran
Hak Asasi Manusia antara lain : ekstradisi, pemindahan narapidana, bantuan
hukum timbal balik, penyelidikan bersama, kerjasama melakukan teknik-teknik
penyelidikan khusus, dan pemindahan proses pidana. Kata Kunci : Kerjasama Internasional, Penegakan HAM
A. Pendahuluan
Dalam konteks penegakan hukum pidana internasional, kerjasama
internasional merupakan sesuatu yang conditio cine qua non. Kebutuhan akan
kerjasama internasional berkaitan dengan sifat tindak pidana yang terjadi tidak
hanya melibatkan dua yuridiksi hukum atau lebih, namun juga mempunyai aspek
internasional yaitu ancaman terhadap keamanan dan perdamaian dunia ataupun
menggoyahkan rasa kemanusiaan. Dengan melibatkan lebih dari satu sistem hukum
yang berbeda, mau tidak mau menimbulkan saling ketergantungan antar negara di
dunia ini, yang kemudian mendorong dilakukannya kerjasama-kerjasama
internasional yang dalam banyak hal dituangkan dalam bentuk perjanjian-perjanjian
internasional. Perbedaan falsafah dan pandangan hidup dan lainnya, tidak lagi
menjadi hambatan dalam melakukan hubungan dan kerjasama antar negara.
Globalisasi dan kemajuan teknologi dengan dampak positif negatifnya telah
mendorong perlunya pengaturan-pengaturan yang tegas dan pasti dalam bentuk
20
rumusan perjanjian-perjanjian. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika dewasa
ini dan masa-masa yang akan datang, akan semakin banyak tumbuhnya perjanjian- perjanjian internasional.
Dewasa ini hukum internasional sebagaian besar terdiri dari perjanjian- perjanjian internasional. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa perjanjian
internasional telah mendesak dan menggeser kedudukan dan peranan hukum
kebiasaan internasional yang pada awal sejarah pertumbuhan dan perkembangan
hukum internasional menduduki tempat yang utama. Tepatlah apa yang dikatakan
G.I. Tunkin, bahwa secara proporsional perjanjian internasional pada masa kini
menduduki tempat yang utama dalam hukum internasional sebagai akibat dari
munculnya persetujuan-persetujuan internasional secara meluas1
. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
mengamanatkan, bahwa dalam membuat perjanjian internasional baik dengan satu
negara maupun dengan organisasi internasional atau subjek hukum internasional
lainnya, wajib memperhatikan dan memenuhi :
(1) Harus didasarkan pada kesepakatan para pihak, dan para pihak
berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.
(2) Harus berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip- prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan,
baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu baru dalam sejarah
perkembangannya tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan sejarah
perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM). Keterkaitan erat tersebut dapat
digambarkan sebagai dua saudara kembar, yang memiliki ketergantungan yang kuat
(interdependency), sinergis, dan berkesinambungan2
. Ketiga sifat saudara kembar
tersebut dapat dicontohkan dengan terbentuknya jenis kejahatan baru dalam
dimensi internasional (genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan
agresi) yang kemudian melahirkan proses hukum acara dan pembentukan
1 Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas University Press,
Padang, 2006, hal 56. Diakses dari www.google.co.id/jurnalpidanainternasional pada tanggal 18 Oktober
2012
2 Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional Dan Hukum Hak Asasi Manusia, Makalah disajikan
dalam Pelatihan Hukum HAM yang Diselenggarakan Oleh PUSHAM UII Yogyakarta Tanggal 23
September 2005, hlm. 16
21
peradilannya (ICC) di mana keseluruhannya membentuk suatu proses ilmu baru
yang disebut hukum pidana internasional.
Perkembangan Konvensi untuk Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan
Transnasional Terorganisasi pada tahun 2000 telah membentuk kriminalisasi
tentang perdagangan orang, khususnya wanita dan anak-anak; penyelundupan
migrant, dan penyelundupan senjata api. Selain itu perkembangan kejahatan
transnasional dan internasional telah membentuk pula, asas-asas hukum baru (asas
hukum, “au dedere au punere” (Grotius), “au dedere au judicare (Bassiouni) dan
asas-asas lainnya yang telah diuraikan merupakan lingkup pembahasan hukum
pidana internasional.
Di dalam rangka reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Abad 21, Laporan
High-level Panel on “Threats,Challenges and Change” di bawah petunjuk Sekjen
PBB tahun 2004 menegaskan bahwa dewasa ini dapat dibedakan terdapat 6 (enam)
kelompok ancaman terhadap penduduk dunia yaitu: (a) ancaman social dan
ekonomi, termasuk kemiskinan, penyakit berbahaya dan kemerosotan lingkungan;
(b) konflik antar-negara; (c) konflik internal, termasuk, perang saudara (civil war),
genosida dan malapetaka dalam bentuk yang luas; (d) senjata nuklir,
radiology,kimia dan biologis; (e) terorisme; dan (f) kejahatan transnasional
terorganisasi.
Dalam kaitan dengan pembagian kelompok ancaman tersebut di atas, maka
prinsip-prinsip “non-intervention”, dan “state-souvereignty”, tidak dapat lagi
dijadikan alasan untuk menolak campur tangan negara lainnya untuk ikut
bertanggung jawab menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri suatu negara
manakala telah terjadi salah satu dari keenam kelompok masalah tersebut di
negaranya. Dalam hal laporan Panel Tingkat Tinggi Sekjen PBB menegaskan
antara lain:” There is a growing recognition that the issue is not the “right to
intervene” of any State, but the “responsibility to protect” of every State when it
comes to people suffering from avodable catastrophe-mass murder and rape, ethnic
cleansing by forcible expulsion , deliberate starvation and exposure to disease”3
.
3 United Nations, “A More Secured World”: Our Shared Responsibility; Reports of The Secretary- General’s High-level Panel on Threats,Challenges and Change;2004;page 23
22
Perkembangan dan perubahan pandangan dunia terhadap pengakuan dan
penolakan prinsip non-intervensi sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan
bahwa perkembangan hukum internasional dan hukum pidana internasional abad 21
telah memasuki abad “integrated world of community” di dalam menghadapi
tantangan dan ancaman dengan melepaskan diri dari kenyataan keterkaitan dan
keterikatan suatu bangsa terhadap kondisi objektif baik secara kultural, etnis,
geografis maupun faktor sistem politik yang berkembang di negara yang
bersangkutan
4 sehingga kerjasama internasional sangat diperlukan dalam
menegakkan hukum pidana internasional.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
tentang bagaimana bentuk kerjasama internasional dalam penegakan hukum pidana
internasional khususnya pelanggaran hak asasi manusia ?
C. Pembahasan
1. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Yang Berat
Pengertian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat pertama
sekali muncul dalam hukum positif Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, menentukan bahwa yang termasuk pelanggaran HAM yang berat meliputi (1)
kejahatan genoside dan (2) kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM
yang berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara luas baik
pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana
yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materil maupun
immaterial yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap
perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam
mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban,
ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan tentang
pengertian kejahatan genosida yaitu : Setiap perbuatan yang dilakukan dengan
4 Romli Atmasasmita, Op.cit.hlm. 14
23
maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara-cara :
1. membunuh anggota kelompok;
2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota- anggota kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;
4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di
dalam kelompok; atau
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain.
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan bahwa
kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil
berupa:
1. pembunuhan;
2. pemusnahan;
3. perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan
pokok hukum internasional;
6. penyiksaan;
7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk- bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum;
9. penghilangan orang secara paksa, atau
24
10. kejahatan apartheid.
Rumusan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, apabila dibandingkan dengan rumusan
yang terdapat dalam Statuta Roma tentang Pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court/ICC) adalah lebih singkat, karena
hanya mengambil 2 (dua) elemen dari yang terdapat di dalam ICC yaitu
“kejahatan genosida” dan “kejahatan kemanusiaan”, padahal yang
digolongkan dalam kejahatan berat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat
(1) Statuta Roma menentukan: Juridiksi Mahkamah terbatas pada kejahatan
paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan,
dan Mahkamah mempunyai juridiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan
kejahatan-kejahatan sebagai berikut :
1. kejahatan genosida (the crime of genocide);
2. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity);
3. kejahatan perang (war crimes);
4. kejahatan agresi (the crime of aggression).
Kejahatan perang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Statuta Roma
digolongkan atas 4 (empat) kategori yaitu:
1. Pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi Jenewa tertanggal
12 Agustus 1949, yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini
terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi berdasarkan
ketentuan Konvensi Jenewa, terdiri dari 8 (delapan) jenis kejahatan
perang yang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a Statuta
Roma).
2. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan
yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional, terdiri dari 26 (dua
puluh enam) jenis kejahatan perang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat 2
huruf b).
3. Pelanggaran terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, dalam hal terjadi
konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, terdiri dari 4 (empat)
jenis kejahatan perang spesifik, ( diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c).
25
4. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan
yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional,
terdiri dari 12 (dua belas) jenis kejahatan perang spesifik, (diatur dalam
Pasal 8 ayat (2). Kejahatan perang sebagaimana telah ditentukan dalam Konvensi Jenewa
yang telah diratifikasi sejak tahun 1958, telah dicoba diakomodir dalam
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2012, yang substansinya dirumuskan mulai dari Pasal 394 sampai dengan Pasal 403.
Oleh karena itu apabila RUU KUHP disahkan, maka peradilan nasional dapat
mengadili setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum internasional. Dengan
kata lain, apabila setiap perbuatan kejahatan perang tersebut dilakukan oleh
warga negara Indonesia atau terjadi di Indonesia tidak perlu menunggu
peradilan pidana internasional mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat
seperti yang diatur dalam Statuta Roma. Kemudian mengenai kejahatan agresi
tidak disebutkan pengertian atau batas-batasannya dalam Statuta Roma 1998,
karena ketika perumusan Statuta Roma 1998 dilaksanakan telah terjadi
perdebatan mengenai batas pengertiannya dan elemen-elemen kejahatan agresi,
dan ketika itu berkembang pandangan berupa: the crimes aggression” adalah
the mother of crimes, karena dengan dilakukannya agresi menimbulkan
kejahatan-kejahatan lain yang mengikutinya5
. Oleh karena itu setelah 7 (tujuh)
tahun kemungkinan dapat dilakukan amandemen, dengan syarat harus
mendapat persetujuan dua pertiga dari anggota majelis.
2. Bentuk Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukum Pidana
Internasional
Mengenai bentuk kerjasama internasional dalam penegakan hukum pidana
internasional, sebagimana disebutkan dalam United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (UNTOC) antara lain seperti ekstradisi (Pasal
16), pemindahan narapidana (Pasal 17), bantuan hukum timbal balik (Pasal 18),
penyelidikan bersama (Pasal 19), kerjasama dalam melakukan tehnik-tehnik
5 Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: KeadilanBagi
Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000, hal. viii.
26
penyelidikan khusus (Pasal 20), dan pemindahan proses pidana (Pasal 21). Pasal 27 UNTOC tentang kerjasama penegakan hukum, secara lebih khusus
menekankan kerjasama penegakan hukum dalam pelbagai aspek yang lebih
bersifat teknis operasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 huruf a
sampai dengan f. Hal ini sudah dilakukan oleh Indonesia, terutama oleh
Kepolisian Republik Indonesia, baik secara langsung dengan Kepolisian negara- negara sahabat (billateral) ataupun kerjasama melalui INTERPOL/ICPO
(International Criminal Police Organisation). Persoalannya adalah, apakah setiap
kerjasama antara instansi penegak hukum tersebut sudah dilandasi oleh suatu
perjanjian internasional atau tidak ? Pasal 27 ayat 2 UNTOC menekankan
kepada negara-negara pihak untuk membuat perjanjian internasional jika belum,
atau jika sudah perjanjian tersebut diubah untuk disesuaikan6
. Adapun bentuk
kerjasamanya antara lain :
1. Ekstradisi
Beberapa asas ektradisi dimuat dalam UNTOC, yaitu asas kejahatan ganda
(double criminality - Pasal 16 ayat 1), asas tidak menyerahkan warga negara
(non extradition of nations - Pasal 16 ayat 10), asas tidak menyerahkan
pelaku kejahatan politik (non extradition of political criminal – Pasal 16 ayat
14). Selain UNTOC, ekstradisi juga diatur dalam United Nation Model
Treaty on Extradition tahun 1990 yang telah banyak dikuti oleh negara- negara lain khususnya dalam membuat perjanjian-perjanjian maupun dalam
perundang-undangan ekstradisi.
Bagi Indonesia, pelaksanaan ekstradisi didasarkan pada perjanjian bilateral
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang
Ekstradisi atau dimungkinkan pula atas dasar asas resiprositas yang dianut
hukum internasional. Namun bagaimanapun UU No.1 Tahun1979 ini harus
disesuaikan, karena tidak/belum memuat ketentuan-ketentuan yang
mewajibkan mempercepat prosedur ektradisi dan menyederhanakan
persyaratan pembuktian (Pala 8 UNTOC), tidak memuat ketentuan tidak
6 Abdul Fickar Hadjar, Konsepsi Tindak Pidana Transnasional & Kerjasama Internasional Dalam
Penegakan Hukumnya, Kertas kerja untuk disampaikan pada Rapat Tim Kompendium Hukum Kerjasama
Internasional di Bidang Penegakan Hukum, BPHN, tanggal 25 September 2012
27
menyerahkan warga negara (Pasal 10 UNTOC) dan tidak memuat ketentuan
berlakunya hukuman terhadap Warga Negara negara yang diminta (Psl 12).
2. Pemindahan Narapidana
Tentang pemindahan narapidana, UNTOC hanya menghimbau untuk
membuat perjanjian bilateral atau multilateral ataupun peraturan perundang- undangan didalam negara pihak. Sebuah perjanjian internasional yang dapat
dijadikan rujukan adalah : Convention On The Transferof Sentenced Persons
(1983) antara negara-negara Dewan Eropa (Council of Europe) dan
Schengen Convention (Title III Chapter V) (1990) yang merupakan
pelengkap dari Konvensi tahun 1983.
Perjanjian internasional tentang pemindahan narapidana ini dibuat dengan
pertimbangan kemanusiaan, yakni memberikan kesempatan kepada
narapidana (asing) yang menjalani hukuman di negara lain untuk menjalani
pidana atau sisa hukumannya di negara sendiri. Namun narapidana (asing)
itu juga harus dihormati pilihannya untuk melaksanakan hukuman di negara
lain atau di negaranya sendiri.
Di Indonesia mengenai pemindahan diatur dalam Undang-Undang seperti
KUHAP, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal balik
dalam Masalah Pidana. Meski tidak satu pasalpun secara eksplisit mengatur
pemindahan narapidana, namun semua undang-undang itu pun tidak
melarang untuk melakukan perjanjian kerjasama pemindahan narapidana
seperti yang dihimbau UNTOC.
3. Bantuan Hukum Timbal Balik
Dalam hal bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal
assistance in criminal matters) dalam konteks negara-negara ASEAN
(Brunai Darussalam, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Pilipina,
Singapore dan Vietnam) telah ditanda tangani sebuah perjanjian: “Treaty on
Mutual Legal Assistance in Criminal Matters” di Kuala Lumpur pada
tanggal 20 Nopember 2004. Miyanmar telah menjadi pihak dalam ASEAN
Treaty on MLA itu pada bulan Desember 2009. Tinggal hanya Thailand
yang belum menjadi pihak dalam Treaty ini.
28
Di dalam negeri, Indonesia telah mempunyai undang-undang tersendiri,
yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal
Balik Dalam Masalah Pidana. Jika dibandingkan antar ketentuan tentang
bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana UNTOC dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 memang ada ketentuan yang sama
dan ada pula kekosongan di pihak yang satu ataupun lainnya.
4. Penyelidikan Bersama
Pasal 19 UNTOC mengamanatkan kewajiban kepada negara-negara pihak
untuk mempertimbangkan perjanjian billateral atau multilateral ataupun
pengaturan tentang subjek dari penyelidikan, penuntutan atau proses
peradilan di satu atau lebih negara. Pilihan membuat atau tidak membuat
perjanjian sepenuhnya menjadi hak dari negara pihak, yang jikapun ada
suatu kasus, para pihak masih dapat melakukan kerjasama kasus per kasus.
Hukum Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
ataupun UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak
mengatur secara tegas tentang kemungkinan untuk melakukan penyelidikan
bersama sebagaimana diamantkan UNTOC. Akan tetapi ketiga UU itupun
tidak melarang. Dengan kata lin memberikan kemungkinan untuk melakukan
erjasama internasional tersebut.
5. Kerjasama Melakukan Teknik-Teknik Penyelidikan Khusus
Mengenai teknik penyelidikan khusus sebagaimana diamanatkan UNTOC,
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia terutama dalam undang- undang diluar KUHP sudah banyak yang mengaturnya, seperti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 8
tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan
Undang-Undang Nomor Tahun 2009 tentang Narkotika. Jadi tentang teknik
penyelidikan khusus ini sudah dapat dijadikan dasar untuk membuat
29
perjanjian-perjanjian internasional dalam penegakan hukum pidana
transnasional.
6. Pemindahan Proses Pidana
Pemindahan proses pidana ini merupakan pemindahan orang yang diduga,
disangka ataupun didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dalam
UNTOC ke negara pihak yang dipandang sebagai negara yang paling tepat
dan efektif dalam melaksanakan penuntutan dan peradilannya. Tentu saja
pemindahan ini sekaligus dengan barang-barang buktinya khususnya benda
bergerak. Dengan demikian, proses penuntutan dan peradilannya dipusatkan
pada negara pihak yang bersangkutan. Hukum Indonesia dalam hal ini
KUHAP ataupun perundang-undangan lainnya tidak mengatur masalah
pemindahan proses pidana ini, Namun Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara eksplisit memungkinkan
untuk dilakukan pemindahan proses pidana ini.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan diatas, penulis dapat
menarik kesimpulan bahwa bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dalam
penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran Hak Asasi
Manusia antara lain : Ekstradisi, Pemindahan Narapidana, Bantuan Hukum
Timbal Balik, Penyelidikan Bersama, Kerjasama melakukan Teknik-teknik
Penyelidikan Khusus, dan Pemindahan Proses Pidana. 2. Saran
Pemerintah perlu segera mengakomodir bentuk kerjasama penegakan hukum
pidana internasional tersebut dalam sebuah undang-undang atau perjanjian
khusus dengan negara-negara di dunia demi tegaknya hukum dan keadilan.
30
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana
Internasional: KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam,
Jakarta, 2000. United Nations, “A More Secured World”: Our Shared Responsibility; Reports of
The Secretary-General’s High-level Panel on Threats,Challenges and Change;
2004. Makalah :
Abdul Fickar Hadjar, Konsepsi Tindak Pidana Transnasional & Kerjasama
Internasional Dalam Penegakan Hukumnya, Kertas kerja untuk disampaikan
pada Rapat Tim Kompendium Hukum Kerjasama Internasional di Bidang
Penegakan Hukum, BPHN, 2012. Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional Dan Hukum Hak Asasi Manusia, Makalah disajikan dalam Pelatihan Hukum HAM yang diselenggarakan Oleh
PUSHAM UII Yogyakarta, 2005. Peraturan Perundang-undangan :
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 2012
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC)
Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNTOC
Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan & PemberantasanTindak
Pidana Pencucian Uang
Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention
Against Corruption
Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
Undang-undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
31
Undang-undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik
Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme
Website :
Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas
University Press, Padang, 2006, hal 56. Diakses dari
www.google.co.id/jurnalpidanainternasional pada tanggal 18 Oktober 2012
Hukum Perusahaan 09
BAB 20
PEMBERDAYAAN KOPERASI SERTA
USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
Pemberdayaan koperasi usaha mikro, kecil, dan menengah
(KUMKM) merupakan upaya strategis dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat karena KUMKM merupakan bagian
terbesar dari aktivitas masyarakat Indonesia. Hal itu ditunjukkan
dengan jumlah UMKM pada tahun 2008 mencapai 51,3 juta unit
usaha atau 99,9 persen dari jumlah unit usaha di Indonesia.
Sementara itu, jumlah tenaga kerjanya yang terlibat mencapai 90,9
juta orang atau 97,0 persen dari seluruh tenaga kerja Indonesia. Pada
tahun yang sama, jumlah koperasi adalah sebanyak 155 ribu unit,
dengan jumlah anggota mencapai sekitar 26,8 juta orang.
Produktivitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
juga menunjukkan peningkatan sebesar 3,0 persen pada tahun 2008
dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan produktivitas ini
masih lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan produktivitas
per unit usaha secara nasional sebesar 3,2 persen. Sementara itu,
peran ekspor nonmigas UMKM pada tahun 2008 menunjukkan
kontribusi yang cukup besar, yaitu 20,2 persen dari total ekspor
nonmigas nasional.
I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Upaya pemberdayaan koperasi dan UMKM telah dilakukan
dengan langkah-langkah yang nyata. Namun, di masa depan UMKM
masih menghadapi beberapa permasalahan sebagai berikut.
Permasalahan yang terkait dengan iklim usaha yang kurang
kondusif menjadi penghambat bagi tumbuhnya UMKM. Salah
20 - 2
satunya adalah masih besarnya biaya transaksi usaha sebagai akibat
dari ketidakpastian dan ketidakjelasan prosedur perizinan,
panjangnya proses perizinan dan timbulnya berbagai pungutan tidak
resmi, serta masih adanya praktik bisnis serta persaingan usaha yang
tidak sehat.
Produktivitas UMKM sudah menunjukkan peningkatan, tetapi
nilainya masih sangat kecil dibandingkan dengan produktivitas usaha
besar. Hal ini mengakibatkan produk yang dihasilkan kurang
memiliki kemampuan untuk bersaing dan kualitas yang baik yang
dapat memenuhi permintaan pasar domestik dan pasar internasional.
Masih rendahnya produktivitas UMKM ini diakibatkan antara lain,
oleh rendahnya kualitas dan kompetensi kewirausahaan sumber daya
manusia.
Selain itu, keterbatasan modal dan penguasaan teknologi pada
sektor usaha mikro dan kecil berakibat sangat sulit untuk
meningkatkan nilai tambah usahanya sehingga pendapatan yang
diperoleh juga masih rendah. Demikian pula, kualitas kerja UMKM
yang kurang baik berdampak pada lingkungan kerja dan produk yang
dihasilkan menjadi kurang berdaya saing. UMKM juga masih
menghadapi kendala keterbatasan pada akses pemasaran yang
mempengaruhi UMKM dalam meningkatkan kapasitas produksi dan
usahanya.
Permasalahan khusus yang dihadapi dalam pemberdayaan
koperasi adalah belum meluasnya pemahaman tentang koperasi
sebagai badan usaha yang memiliki struktur kelembagaan dan
insentif yang unik/khas dibandingkan dengan badan usaha lainnya.
Di samping itu, masih banyak masyarakat yang kurang memahami
prinsip-prinsip dan praktik-praktik yang benar dalam berkoperasi.
Koperasi dan UMKM juga menghadapi tantangan terutama yang
ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan
liberalisasi perdagangan bersamaan dengan cepatnya tingkat
kemajuan teknologi.
20 - 3
II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASILHASIL YANG DICAPAI
Kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM secara umum
diarahkan terutama untuk mendukung pelaksanaan prioritas
pembangunan nasional melalui: (1) peningkatan ekonomi lokal
dengan mengembangkan usaha skala mikro dalam rangka
mendukung peningkatan pendapatan kelompok masyarakat
berpendapatan rendah; dan (2) peningkatan produktivitas dan akses
UKM pada sumber daya produktif untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi, termasuk ekonomi daerah, sekaligus menciptakan lapangan
kerja.
Dalam rangka mendukung peningkatan pendapatan
masyarakat berpendapatan rendah melalui peningkatan ekonomi
lokal, kota, dan perdesaan, pemberdayaan usaha mikro difokuskan
untuk mendorong pertumbuhan yang berpihak pada rakyat miskin.
Langkah kebijakannya yaitu: (1) meningkatkan kapasitas dan
memperluas jangkauan lembaga keuangan mikro (LKM) baik
dengan pola bagi hasil, konvensional, maupun melalui dana bergulir;
(2) meningkatkan kemampuan pengusaha mikro dalam aspek
manajemen usaha dan teknis produksi; (3) meningkatkan fasilitasi
pengembangan sarana dan prasarana usaha mikro; (4) meningkatkan
fasilitasi pembinaan sentra-sentra produksi tradisional dan usaha
ekonomi produktif terisolir dan daerah tertinggal/perbatasan.
Dalam kaitannya dengan peningkatan akses UMKM kepada
sumber daya produktif, langkah kebijakannya meliputi: (1)
meningkatkan akses modal UMKM kepada lembaga keuangan
dengan mendorong pemanfaatan skim penjaminan kredit dan kredit
usaha rakyat (KUR), khususnya untuk investasi produktif di sektor
agribisnis dan industri; (2) meningkatkan kemampuan UMKM dalam
pengajuan investasi usaha dengan skim penjaminan kredit melalui
pembinaan oleh lembaga layanan usaha (Business Development
Service Provider - BDS-P); (3) meningkatkan fasilitas pemasaran
dan promosi ekspor produk-produk UKM dan koperasi; dan (4)
meningkatkan akses teknologi dan inovasi dengan menyediakan
fasilitas layanan teknologi dan pusat inovasi. Seiring dengan
peningkatan akses tersebut, langkah kebijakan pemberdayaan
20 - 4
UMKM lainnya adalah meningkatkan wirausaha yang tangguh dan
kompetitif, serta berwawasan iptek dan inovatif.
Kebijakan penting lainnya yang mendukung terciptanya iklim
usaha yang kondusif bagi UMKM adalah (1) menyelesaikan
penyusunan turunan peraturan pelaksanaan RUU tentang UMKM
dan koperasi; (2) meningkatkan formalisasi badan usaha UMKM; (3)
memberikan rekomendasi perbaikan kebijakan dan regulasi yang
menghambat usaha dan investasi, baik di pusat maupun di daerah.
Sementara itu, langkah kebijakan dalam rangka meningkatkan
kualitas kelembagaan koperasi meliputi: (1) meningkatkan
pelaksanaan pembinaan, pengawasan, dan penilaian perkoperasian;
dan (2) pelatihan dan pemasyarakatan praktik-praktik koperasi
terbaik, sekaligus bimbingan teknis penerapan akuntabilitas koperasi.
A. Penciptaan Iklim bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Dalam rangka menciptakan iklim bagi usaha mikro, kecil, dan
menengah yang kondusif, telah dilakukan berbagai kegiatan yaitu:
(a) penguatan status badan hukum koperasi; (b) penyempurnaan
Undang-Undang (UU) No. 25/1992 tentang Perkoperasian; (c)
penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang UMKM; dan
(d) penelaahan peraturan perundang-undangan.
Orientasi pembinaan koperasi lebih diarahkan pada penciptaan
iklim usaha yang kondusif dan pemberian kesempatan yang seluasluasnya kepada masyarakat di bidang perkoperasian. Untuk itu,
Pemerintah telah melakukan upaya penguatan status badan hukum
koperasi. Sejak tahun 2005 sampai dengan 2009 telah dilakukan
pengumuman badan hukum koperasi sebanyak 27.366 koperasi,
pembekalan perkoperasian bagi 5.828 notaris sebagai notaris
pembuat akta koperasi, serta pengesahan 873 koperasi primer dan
165 koperasi sekunder.
Pemerintah telah melakukan upaya penyempurnaan UU No.
25 Tahun 1992 tentang perkoperasian. Upaya ini telah dimulai pada
tahun 2005, yaitu dengan melakukan koordinasi pembahasan tim
antardepartemen. Kedua instansi melakukan harmonisasi,
sinkronisasi pembulatan konsepsi atas materi Rancangan UndangUndang (RUU) Koperasi dan disampaikan kepada Presiden. Pada
20 - 5
tahun 2008, DPR-RI, telah memutuskan bahwa RUU Koperasi
masuk ke dalam RUU prioritas tahun 2009. Beberapa hal pokok
dalam klausul yang perlu dipertimbangkan perubahannya adalah
klausul tentang pembentukan koperasi, keanggotaan koperasi,
perangkat organisasi, modal, jenis koperasi dan lapangan usaha, sisa
hasil usaha, pengertian koperasi, dan prinsip-prinsip koperasi.
Pada tahun 2008, pemerintah telah menerbitkan UU No. 20
tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. UU tersebut bertujuan
untuk: (a) mewujudkan struktur perekonomian nasional yang
seimbang dan berkeadilan; (b) menumbuhkan dan mengembangkan
kemampuan UMKM menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan
(c) meningkatkan peran UMKM dalam pembangunan daerah,
penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan
ekonomi, dan pengentasan kemiskinan. Pada tahun 2009, akan
diselesaikan peraturan pemerintah pelaksanaan dari UU ini yang
meliputi: (a) PP persyaratan dan tata cara permohonan izin usaha; (b)
PP tata cara pengembangan, prioritas, instansitas dan jangka waktu
pengembangan; (c) PP pola kemitraan; (d) PP koordinasi dan
pengendalian pemberdayaan UMKM; dan (e) PP tata cara pemberian
sanksi administratif.
Pemerintah telah melakukan penelaahan peraturan perundangundangan pada tingkat Nasional dan Daerah yang menghambat
pemberdayaan KUMKM. Pada tahun 2005 Pemerintah telah
menelaah 40 Perda yang dinilai menghambat untuk dilakukan
pembatalan, pada tahun tersebut ada 13 Perda yang dibatalkan. Pada
tahun 2006 telah ditelaah 50 Perda dan dibatalkan sebanyak 36
Perda. Sementara itu, pada tahun 2007 Pemerintah telah melakukan
penelaahan 50 Perda dan membatalkan 11 Perda. Pada tahun 2008
telah pula dilaksanakan evaluasi terhadap 100 Perda yang berkaitan
dengan KUMKM, dan terdapat 40 Perda yang diusulkan untuk
dibatalkan karena dapat menghambat perkembangan KUMKM.
20 - 6
B. Pengembangan Kewirausahaan dan Keunggulan
Kompetitif
Dalam rangka mengembangkan jiwa dan semangat
kewirausahaan serta meningkatkan daya saing UMKM dan koperasi,
beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain adalah: (a)
pengembangan pengadaan pangan (koperasi) dengan sistem bank
padi; (b) pengembangan usaha koperasi di bidang pengadaan dan
penyaluran sarana produksi (Saprodi); (c) pengembangan usaha
(koperasi) di bidang budi daya kakao dan tanaman karet; (d)
pengembangan usaha di bidang ketenagalistrikan; (e) pengembangan
sarana penunjang produksi pabrik es dan cold storage; dan (d)
pengembangan sumber daya manusia koperasi dan UMKM.
Kegiatan pengembangan pengadaan pangan (koperasi) dengan
sistem bank padi merupakan kegiatan usaha pengadaan pangan
berdasarkan tunda jual dan secara menyeluruh kegiatannya
mencakup penyimpanan gabah, pengeringan dan penggilingan gabah
petani di koperasi. Dengan demikian, anggota koperasi dan
masyarakat petani dapat memperoleh nilai tambah atas gabah yang
disimpan di koperasi. Pada periode tahun 2005-2008, telah diberikan
bantuan pengembangan kepada 44 koperasi. Fasilitas yang diberikan
Pemerintah adalah modal kerja dan modal investasi berupa mesin
pembersih padi, pengering, silo, penggilingan dan kelengkapannya.
Dalam upaya pengadaan dan penyaluran pupuk serta
meningkatkan produktivitas padi, sekaligus meningkatkan peran
koperasi dalam pelayanan kepada anggotanya, Pemerintah telah
memperkuat usaha Koperasi Unit Desa (KUD) melalui kegiatan
pengadaan dan penyaluran sarana produksi, khususnya pupuk.
Jumlah koperasi yang telah difasilitasi oleh Pemerintah dalam
kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi adalah 51
koperasi di 13 provinsi selama periode tahun 2006—2007. Koperasi
yang mendapatkan bantuan penguatan dapat menyediakan sarana
produksi tepat waktu dan dengan harga yang semakin terjangkau
sehingga peran koperasi semakin nyata.
Pemerintah mendukung pemberdayaan UMKM di bidang
perkebunan, seperti kakao dan tanaman karet. Dukungan Pemerintah
terhadap UMKM diwujudkan melalui perluasan, peremajaan, dan
20 - 7
rehabilitasi tanaman perkebunan kakao dan tanaman karet. Pada
tahun 2005 telah diberikan bantuan 2 juta batang kakao kepada 2
koperasi. Pada tahun 2006 telah diberikan bantuan 4 juta batang
kakao kepada 37 koperasi. Pada tahun 2007 telah diberikan bantuan
5 juta batang kakao kepada 62 koperasi. Untuk tanaman karet, telah
diberikan bantuan penguatan pengadaan bibit karet sebanyak 4,8 juta
batang kepada 41 koperasi pada tahun 2007. Manfaat yang diperoleh
UMKM di bidang perkebunan ini adalah meningkatnya produktivitas
dan pendapatan UMKM, sekaligus meningkatnya peran koperasi
dalam memenuhi kebutuhan anggotanya secara lebih mudah dan
efisien.
Dalam rangka memberikan bantuan UMKM di daerah
terpencil yang belum mendapatkan akses listrik dari PLN,
Pemerintah telah mengembangkan usaha di bidang ketenagalistrikan
melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Pada
tahun 2005 diberikan bantuan dana untuk pembangunan PLTMH
kepada 1 koperasi di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan; pada
tahun 2007 telah diberikan bantuan pembangunan PLTMH kepada 2
koperasi di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu dan Kabupaten
Mamasa, Sulawesi Barat. Selain dapat memenuhi kebutuhan listrik di
daerah terpencil tersebut, pembangunan PLTMH itu juga dapat
menciptakan peluang usaha lainnya bagi UMKM.
Pemerintah mendukung pemberdayaan UMKM di bidang
perikanan. Pemerintah memberikan fasilitas alat pendingin, karena
UMKM nelayan sangat membutuhkan alat tersebut secara mudah
dan cepat. Untuk itu, pada tahun 2005 dibangun pabrik es sebanyak 6
unit di Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB. Tahun 2006 juga telah
direalisasikan pembangunan pabrik es sebanyak 3 unit di Jawa
Tengah dan di Bali dan pada tahun 2007 Pemerintah juga telah
membantu pabrik sebanyak 2 unit di Jawa Timur dan DI Yogyakarta.
Pengembangan sumber daya manusia UMKM memegang
peranan penting dalam pembentukan SDM yang berkualitas,
tangguh, berdaya saing, dan mandiri. Oleh karena itu, Pemerintah
telah melakukan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan antara
lain di bidang kewirausahaan, keterampilan teknis, dan teknis
manajerial. Diklat kewirausahaan dimaksudkan untuk
menumbuhkembangkan jiwa dan semangat kewirausahaan bagi
20 - 8
UMKM. Pemerintah pusat dan daerah telah menyelenggarakan diklat
ini kepada 13.600 orang pada periode tahun 2005—2008. Diklat
manajerial bagi UMKM ditujukan untuk meningkatkan kemampuan
mengelola usahanya. Pada periode yang sama, Pemerintah Pusat dan
Daerah telah melatih sebanyak 27.326 orang. Sementara itu, diklat
keterampilan teknis ditujukan untuk meningkatkan keterampilan
yang bersifat teknis, serta meningkatkan mutu produk. Untuk itu,
selama periode tahun 2005—2008 telah dilatih sebanyak 6.247
orang.
Pengembangan tempat praktik keterampilan usaha (TPKU)
bertujuan untuk meningkatkan keterampilan teknis dan manajemen
usaha bagi para peserta didik di lembaga pendidikan pedesaan/santri.
Kegiatan ini sangat bermanfaat untuk menciptakan calon wirausaha
di berbagai bidang yang mampu mengembangkan usaha secara
mandiri, sekaligus juga meningkatkan peran serta lembaga diklat
pedesaan. Bidang keterampilan usaha yang dikembangkan melalui
TPKU, antara lain otomotif, elektronik, konveksi, industri kerajinan,
dan agribisnis. Pada periode tahun 2005—2008, pengembangan
TPKU telah dilaksanakan pada 716 unit.
Dalam rangka meningkatkan kapasitas lembaga keuangan
mikro (LKM), Pemerintah telah mengembangkan peningkatan
kualitas SDM pengelola LKM agar memiliki kompetensi di
bidangnya. Kepemilikan kompetensi ini dibuktikan dengan
pemberian sertifikasi profesi melalui proses pendidikan dan pelatihan
serta uji kompetensi. Kegiatan pengembangan standardisasi dan
sertifikasi pengelola LKM dilaksanakan sejak tahun 2007 kepada
266 orang.
C. Pengembangan Sistem Pendukung usaha UMKM
Dalam rangka mempermudah, memperlancar, dan memperluas
akses UMKM kepada sumber daya produktif, Pemerintah telah
melaksanakan kegiatan, antara lain: (a) promosi produk KUMKM;
(b) pengembangan sarjana pencipta kerja mandiri; (c) pengembangan
sentra/klaster UMKM; dan (d) pengembangan pembiayaan kepada
UMKM.
20 - 9
Dalam upaya promosi produk-produk KUMKM, Pemerintah
memfasilitasi keikutsertaan KUMKM dalam pameran di dalam dan
luar negeri. Kegiatan yang diselenggarakan setiap tahun adalah Small
Medium Enterprises and Cooperative (SMEsCo) Festival yang
menjadi ajang interaksi bisnis dan investasi para pelaku usaha. Selain
itu, beberapa pameran yang dilaksanakan di dalam negeri, antara lain
adalah Pameran Inter-Food-Inter-Pak, Festival Batik Pekalongan,
Pameran Produk Ekspor (PPE), Pameran dan Festival Kerajinan
KUMKM Indonesia, dan Pameran Tematik Industri Kerajinan. Pada
tahun 2008, Pemerintah telah memfasilitasi 285 KUMKM pada 18
pameran. Dalam rangka perluasan pasar produk KUMKM potensial
ekspor, pada periode tahun 2005–2009 telah dilaksanakan program
promosi produk KUMKM melalui pameran luar negeri di 5 zona
perdagangan, yaitu Asia, Eropa, Australia, Timur Tengah, dan
Afrika. Dalam kesempatan tersebut telah difasilitasi sekitar 500
KUMKM dengan produk antara lain furniture, aksesori rumah (home
accessories), garmen, perhiasan (jewellery), dan kerajinan tangan
(handycraft).
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi, Pemerintah sejak tahun 2005 telah memfasilitasi
pembangunan infrastruktur promosi produk-produk KUKM berbasis
web, yaitu SMESCO Indonesia Trading Board dengan alamat
www.indonesian-products.biz. Sampai dengan tahun 2009, KUKM
yang telah dipromosikan melalui Trading Board berjumlah 2.661
KUKM dari 16 provinsi. Untuk semakin memperluas akses
informasi ini, Pemerintah telah menerbitkan SMESCO Indonesia
Catalogue yang memuat 200 produk unggulan. Katalog tersebut
didistribusikan kepada maskapai penerbangan, Kedutaan Indonesia,
Atase Perdagangan Indonesia, dan KADIN yang ada di luar negeri,
Kedutaan Asing yang ada di Jakarta, dan hotel-hotel berbintang di
kota-kota besar di Indonesia.
Dalam upaya memantapkan jaringan bisnis KUKM,
Pemerintah memfasilitasi pengembagan ritel modern melalui
Koperasi dengan pola SMEsCo Mart. SMEsCo Mart merupakan
peningkatan waserda yang dimiliki koperasi dengan pola modern.
Sampai dengan tahun 2008, Pemerintah telah mengembangkan
20 - 10
SME’sCo Mart sebanyak 92 Koperasi di 50 Kab/Kota pada 7
Provinsi.
Untuk pengembangan aktivitas perdagangan dan peningkatan
promosi KUKM di wilayah timur, pada tahun 2006 Pemerintah
bekerja sama dengan pemerintah daerah memfasilitasi pembangunan
Celebes Exhibition Centre (CCC) di Sulawesi Selatan. Selain itu,
dukungan juga diberikan pada pembangunan pusat promosi KUKM
di Kalimantan Barat (Borneo Convention Centre), Jawa Barat
(Sentra Bisnis KUKM-SENBIK), Sulawesi Utara (Paradise
Convention Centre), dan Sumatera Selatan (Sriwijaya Convention
Centre). Pemerintah juga telah membangun sarana pameran di
Gedung SMEsCo Promotion Centre (SPC) di Jakarta dengan sarana
Convention Centre dan fasilitas/sarana promosi lainnya.
Dalam rangka memberdayakan potensi sarjana dan potensi
ekonomi lokal, Pemerintah melaksanakan kegiatan sarjana pencipta
kerja mandiri (Prospek Mandiri). Kegiatan ini bertujuan: (a)
menciptakan wirausaha baru yang mampu menciptakan kesempatan
kerja; (b) mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya manusia
terdidik dalam menggerakkan perekonomian daerah; dan (c)
memanfaatkan teknologi dan sumber daya lokal yang memiliki
keunggulan kompetitif. Kegiatan ini dilaksanakan pada tahun 2006—
2007 dan telah merealisasikan pembentukan 41 Koperasi yang
melibatkan 990 orang sarjana di 31 Kabupaten/Kota pada 14
provinsi.
Pemberdayaan UMKM akan lebih efektif melalui
pengembangan sentra/gugus, sehingga dapat menumbuhkan pusatpusat pertumbuhan ekonomi lokal yang berdampak pada peningkatan
perekonomian regional dan nasional. Pada tahun 2005, Pemerintah
telah memfasilitasi penguatan bagi pengembangan 50 sentra UMKM
yang meliputi sentra pertanian, sentra peternakan, sentra perikanan,
sentra industri dan kerajinan, dan sentra makanan dan minuman.
Fasilitasi sentra diprioritaskan kepada kabupaten/kota pemekaran
yang belum ada sentra binaannya dan sentra daerah-daerah potensial
yang masih dapat dikembangkan. Penguatan diberikan melalui: (a)
bantuan penguatan modal awal dan padanan (MAP) kepada 50
koperasi simpan pinjam/unit simpan pinjam koperasi (KSP/USPKoperasi) untuk disalurkan kepada UMKM Sentra; (b) penguatan
20 - 11
dana operasional kepada 50 Lembaga business development services
- Providers (BDS-P), sebagai biaya operasional dalam memberikan
layanan pengembangan bisnis bagi UMKM di sentra-sentra tersebut.
Berkaitan dengan pengembangan sentra/gugus, Pemerintah
mendorong penggunaan teknologi tepat guna (TTG) pada sentrasentra UMKM. Pada tahun 2006, Pemerintah memberikan
penguatan pemanfaatan TTG kepada 10 koperasi di 8 provinsi.
Kegiatan ini bertujuan untuk memodernkan alat pengolahan produk
sentra UMKM agar produk yang dihasilkan lebih berdaya saing.
Demikian pula pada tahun 2007, Pemerintah memfasilitasi TTG
kepada 10 sentra di 10 provinsi.
Dalam upaya mendorong usaha kecil dan menengah (UKM)
agar mampu bersaing dan meningkatkan kapasitas usahanya,
Pemerintah menfasilitasi kegiatan pengembangan UKM di kawasan
industri. Kegiatan ini merupakan kegiatan rintisan dan baru
dilaksanakan di 2 kawasan yaitu Kawasan Industri Jababeka,
Cikarang Provinsi Jawa Barat dan Kawasan Industri Candi,
Semarang Propinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2006, Pemerintah
bekerja sama dengan PT PNM Venture Capital telah memfasilitasi
pengembangan 7 UKM di Kawasan Industri Jababeka. Pada Tahun
2007, Pemerintah bekerja sama dengan PT Sarana Jateng Ventura
telah memfasilitasi pengembangan 18 UKM di Kawasan Industri
Candi Jawa Tengah. Selain itu, Pemerintah juga telah bekerja sama
dengan PT Sarana Jabar Ventura untuk mengembangkan 7 UKM di
Kawasan Industri Jababeka Jawa Barat. Melalui dukungan tersebut,
khususnya Kawasan Industri Candi telah melakukan ekspor furnitur
ke beberapa Negara di Eropa.
Dalam rangka meningkatkan akses UMKM kepada
permodalan, Pemerintah telah membantu penyediaan dana modal
awal padanan (MAP) melalui KSP/USP, lembaga ventura, dan
inkubator. Sejak tahun 2005 sampai dengan saat ini telah diberikan
penguatan kepada 1.355 UMKM di sentra melalui 50 KSP/USP.
Sementara itu, pada periode tahun 2005—2007 perkuatan MAP
melalui lembaga modal ventura telah diberikan kepada kepada 488
UMKM melalui 23 lembaga modal ventura daerah. Penyediaan dan
MAP melalui inkubator telah disalurkan kepada 107 UKM-tenant di
10 Lembaga Inkubator sampai dengan tahun 2007.
20 - 12
Pada tahun 2007, Pemerintah melaksanakan skema
pembiayaan khusus yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi koperasi
dan UMKM yang memiliki potensi usaha yang layak, tetapi tidak
memenuhi persyaratan teknis perbankan. KUR dilaksanakan dengan
melibatkan instansi-instansi yang secara lintas sektoral melakukan
pemberdayaan koperasi dan UMKM dengan mengikutsertakan 6
bank pelaksana (Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI, Bank BTN,
Bank Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri) serta Perum Jamkrindo
dan PT Askrindo sebagai lembaga penjamin. Realisasi penyaluran
KUR sampai dengan Mei 2009 adalah sebesar Rp14,5 triliun untuk
1,9 juta debitur, dengan rata-rata kredit senilai Rp7,4 juta. Distribusi
penyaluran KUR yang paling besar adalah di sektor perdagangan,
restoran & hotel; dan sektor pertanian dengan sebaran masingmasing sebesar 55,0 persen dan 26,5 persen. Sementara itu,
pemanfaatan KUR terbesar adalah di pulau Jawa dan Sumatera
dengan proporsi masing-masing sebesar 48,9 persen dan 23,6 persen.
Selain itu, dalam kerangka pembiayaan kepada UMKM, pada
tahun 2006 Pemerintah telah menginisiasi pembentukan Lembaga
Pengelola Dana Bergulir (LPDB). Dalam pelaksanaannya LPDB
melakukan penghimpunan dana bergulir yang telah disalurkan oleh
Kemeneg KUKM. Pada tahun 2008, LPDB telah melakukan
pembiayaan kepada 11 perusahaan ventura, 2 koperasi sekunder, dan
1 Induk Koperasi Syariah.
Skim pendanaan bagi UMKM lainnya yang khusus bagi petani
adalah melalui Sistem Resi Gudang (SRG). Skim pendanaan ini
untuk memperluas akses agar UMKM mendapatkan pembiayaan
yang mudah dan dapat diakses pada saat yang tepat. Skim pendanaan
komoditas koperasi dan UMKM disalurkan untuk membiayai modal
kerja koperasi dan UMKM dengan jaminan resi gudang yang
diterbitkan oleh pengelola gudang. Resi gudang adalah dokumen
bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang
diterbitkan oleh pengelola gudang. Jenis komoditas yang dapat
dibiayai melalui skim pendanaan komoditas, antara lain, gabah,
beras, jagung, gula pasir, kacang kedelai, pupuk, dan komoditas lain
yang memenuhi persyaratan untuk memperoleh pendanaan
komoditas. Pemerintah telah memulai percontohan SRG di KUD
Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
20 - 13
Dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan bagi
koperasi, Pemerintah juga telah memperkenalkan instrumen utang
koperasi melalui penerbitan surat utang koperasi (SUK). Penerbitan
SUK dimaksudkan untuk membantu KSP/USP koperasi memenuhi
kebutuhan likuiditas jangka panjang di luar perbankan. Pada
umumnya, koperasi memperoleh sumber dana jangka pendek, tetapi
disalurkan sebagai pinjaman untuk jangka waktu yang lebih panjang
sehingga koperasi akan mengalami kesulitan dalam mengelola aliran
kasnya. Dengan adanya SUK ini, aliran kas koperasi dapat dikelola
secara sehat. Pihak yang terkait dengan program penerbitan SUK
adalah: (a) PT Pos Indonesia (Persero) yang melakukan
penatalaksanaan Dana Sekuritisasi Aset dan mewakili Pemerintah
dalam melakukan pembayaran, pengumpulan setoran dan
pengguliran dana, serta membukukan dan mencatat atas transaksi
pembayaran SUK; dan (b) koperasi sekunder simpan pinjam yang
memiliki pengalaman dan kemampuan dalam membiayai koperasi
untuk mengintegrasikan sistem simpan pinjam. Realisasi program
penerbitan SUK sampai dengan akhir Juni 2009 diikuti oleh 59
Koperasi penerbit SUK.
D. Pemberdayaan Usaha Skala Mikro
Pemberdayaan usaha mikro ditujukan untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat yang berusaha dalam skala usaha mikro.
Pemerintah telah memberikan berbagai fasilitas bantuan antara lain
adalah: (a) kredit usaha dari dana Surat Utang Pemerintah (SUP005); (b) perkuatan permodalan dengan pola kemitraan; (c) linkage
program antara Bank Umum dengan koperasi; (d) pembiayaan
produktif konvensional dan syariah; (e) bantuan dana bergulir
sektoral; dan (f) bantuan sarana pasar.
Pemerintah telah mengeluarkan skema kredit usaha dari dana
SUP-005. Skema kredit ini bertujuan meningkatkan akses usaha
mikro dan kecil kepada pembiayaan investasi dan modal dengan
persyaratan yang relatif ringan dan terjangkau. Dana yang disalurkan
melalui skema ini, telah memberikan manfaat bagi 146 koperasi dan
351.408 usaha mikro dan kecil dengan komposisi: sektor
perdagangan, restoran, dan hotel 78,7 persen, sektor Jasa dan lainnya
10,7 persen serta sektor pertanian 5,5 persen. Sementara itu,
20 - 14
penyaluran kredit dari dana SUP-005 yang dilakukan oleh Perum
Pegadaian menggunakan skim kredit yang dinamakan Kredit Usaha
Rumah Tangga (KRISTA). Target pembiayaan dikhususkan bagi
pelaku usaha mikro di kalangan kaum perempuan, terutama di pasarpasar. Sampai saat ini, program KRISTA yang disalurkan oleh
Perum Pegadaian telah mencapai sebesar Rp102,8 miliar dan telah
dimanfaatkan oleh 59.733 nasabah.
Pemerintah telah melaksanakan kegiatan bantuan penguatan
struktur keuangan koperasi dengan pola dana bergulir kemitraan.
Dana bergulir kemitraan ini bertujuan untuk memberdayakan usaha
mikro dan kecil yang tergabung dalam koperasi untuk
mengembangkan komoditas unggulan di wilayahnya. Dana bergulir
kemitraan dijadikan sebagai dana padanan oleh koperasi untuk
bermitra dengan lembaga keuangan bank maupun nonbank/investor
yang telah melakukan penilaian kelayakan terhadap komoditas
unggulan yang akan dikembangkan. Pada tahun anggaran 2005, dana
bergulir dengan pola kemitraan telah disalurkan kepada tiga
koperasi.
Upaya peningkatan dan perluasan sumber-sumber pembiayaan
kepada usaha mikro dilakukan juga melalui peningkatan sinergi
antara lembaga keuangan bank dan koperasi melalui Linkage
Program. Perkembangan pelaksanaan Linkage Program antara bank
umum koperasi, saat ini telah mencapai Rp8,9 triliun yang disalurkan
melalui 1.847 koperasi dari 14 bank umum.
Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, Pemerintah telah
menyediakan pembiayaan produktif bagi usaha mikro dengan pola
konvensional dan syariah melalui koperasi. Pembiayaan ini juga
sekaligus untuk memperkuat struktur keuangan koperasi. Untuk
pembiayaan produktif pola konvensional telah disalurkan sebesar
Rp202,9 miliar kepada 2.127 KSP-USP Koperasi, sedangkan untuk
pola syariah telah disalurkan sebesar Rp191,5 miliar kepada 1.883
Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa Syariah Koperasi
(KJKS/UJKS Koperasi).
Untuk usaha mikro yang bergerak di sektor agribisnis,
Pemerintah telah mengembangkan penguat dana bergulir sektoral.
Penguatan diberikan melalui koperasi untuk kemudian disalurkan
20 - 15
kepada anggotanya. Jumlah dana penguatan yang telah disalurkan
pada periode tahun 2005—2007 adalah sebesar Rp165,7 miliar
kepada 292 koperasi.
Pemerintah juga memberikan dukungan perkuatan kepada
perempuan pengusaha skala mikro melalui kegiatan perempuan
keluarga sehat dan sejahtera (PERKASSA). Pemerintah
menyalurkan permodalan dengan pola dana bergulir kepada setiap
koperasi sebesar Rp100 juta. Kemudian, koperasi penerima
menyalurkannya kepada anggota sebagai pinjaman dengan bunga
atau bagi hasil yang ditentukan oleh Rapat Anggota. Realisasi
penyaluran PERKASSA pada periode tahun 2006–2007 adalah
sebesar Rp44,3 miliar kepada 443 koperasi. Dalam
perkembangannya sampai dengan Maret 2009, dana tersebut telah
disalurkan oleh koperasi dan dimanfaatkan oleh 11.016 perempuan
pengusaha skala mikro.
Dalam rangka mendukung upaya penataan lokasi dan
penertiban pedagang kaki lima (PKL), Pemerintah Pusat bekerja
sama dengan pemerintah daerah memberikan dukungan penguatan
pengembangan sarana usaha PKL melalui Koperasi. Sampai dengan
tahun 2008, sudah difasilitasi 16 lokasi PKL di 13 provinsi dan
bantuan penguatan kepada 2.319 usaha mikro. Sementara itu, pada
tahun 2009 Pemerintah melaksanakan program stimulus fiskal untuk
penataan 13 sarana usaha PKL di 13 kabupaten/kota di 32 provinsi.
Dukungan penguatan pasar tradisional yang diberikan
Pemerintah ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan fungsi pasar
tradisional melalui rehabilitasi pasar tradisional. Dengan demikian,
dapat diwujudkan kondisi pasar yang layak, bersih, teratur, nyaman
dan aman, serta dikelola secara profesional. Selain itu, para pedagang
mendapatkan kepastian lokasi usaha dengan didukung peran
kelembagaan koperasi di dalamnya. Pasar tradisional yang telah
dikembangkan sebanyak 71 unit pada periode tahun 2005—2008.
Sementara itu, pada tahun 2009 dilaksanakan program stimulus
pembangunan pasar tradisional sebanyak 91 unit.
20 - 16
E. Peningkatan Kualitas Kelembagaan Koperasi
Koperasi diharapkan dapat ditingkatkan kualitasnya agar
mampu tumbuh dan berkembang sesuai jati dirinya menjadi wadah
kepentingan bersama bagi anggotanya. Pemerintah telah melakukan
berbagai kegiatan untuk meningkatkan kualitas koperasi antara lain:
(a) klasifikasi koperasi dan pencapaian koperasi berkualitas; (b)
sosialisasi pembentukan koperasi; (c) pendidikan perkoperasian; dan
(d) pengembangan kerja sama koperasi pertanian se ASEAN.
Untuk mengetahui kinerja dan kualifikasi koperasi Indonesia,
dan mendorong pelaksanaan prinsip-prinsip koperasi, Pemerintah
telah melakukan upaya intensif dan terpadu dengan klasifikasi
koperasi. Pada periode tahun 2006-2008, telah dilakukan klasifikasi
koperasi sebanyak 33.463 koperasi dengan rincian 4.796 koperasi
klasifikasi A, 14.240 koperasi klasifikasi B, 14.458 koperasi
klasifikasi C. Hasil dari klasifikasi akan menjadi bahan bagi
penetapan kebijakan pengembangan koperasi dan menjadi sumber
informasi bagi pihak lain yang memerlukan kerja sama dengan
koperasi.
Selanjutnya, Pedoman Klasifikasi Koperasi disempurnakan
menjadi Pedoman Pemeringkatan Koperasi yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor
22/Per/M.KUKM/IV/2007. Pada tahun 2007, dihasilkan 7.918
koperasi yang berperingkat dengan rincian: (a) 4 koperasi
berperingkat sangat berkualitas, (b) 2.592 koperasi berperingkat
berkualitas, dan (c) 5.322 koperasi berperingkat cukup berkualitas.
Sementara itu, pada tahun 2008 dihasilkan 886 koperasi yang
berperingkat dengan rincian: (a) 22 koperasi berperingkat
berkualitas, dan (b) 864 koperasi berperingkat cukup berkualitas.
Dalam rangka penguatan permodalan bagi koperasi sivitas
akademika (KOSIKA), Pemerintah telah memberikan bantuan modal
kepada 10 unit KOSIKA yang tersebar di 10 provinsi pada tahun
2007. Penguatan permodalan KOSIKA akan dapat dirasakan
manfaatnya oleh 1.250 orang anggota koperasi.
Dalam rangka peningkatan kualitas dan jumlah koperasi,
Pemerintah melakukan sosialisasi pembentukan koperasi. Kegiatan
ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kelompok usaha
20 - 17
masyarakat terutama yang sudah memiliki usaha produktif menjadi
lembaga yang berbentuk koperasi. Pada tahun 2008, telah dilakukan
sosialisasi pembentukan koperasi wanita di 4 provinsi.
Untuk meningkatkan peran koperasi di bidang pertanian dan
sekaligus dalam mengantisipasi perekonomia dunia yang semakin
kompetitif, Indonesia telah berpartisipasi dalam kerja sama koperasi
se-ASEAN. Wadah Kerja sama diwujudkan melalui pembentukan
ASEAN Center for The Development of Agricultural Cooperative
(ACEDAC). Anggotanya adalah gerakan koperasi dari negara-negara
anggota ASEAN. Pada tahun 2008, telah diadakan sidang tahunan di
Lao PDR yang menghasilkan: (a) kesepakatan pelaksanakan Strategy
Alliances Project untuk Dairy Product Marketing oleh Gabungan
Koperasi Susu Indonesia (GKSI); (b) penyelenggaraan exchange
visit yang bertujuan untuk meningkatkan wawasan bagi pengurus
maupun pengelola koperasi; dan (c) penguatan kerja sama negaranegara ASEAN dengan Jepang.
Dalam upaya meningkatkan kualitas SDM koperasi, Lembaga
Pendidikan Koperasi (LAPENKOP) telah menyelenggarakan diklat
perkoperasian. Diklat ini ditujukan kepada anggota koperasi,
pengurus koperasi dan pengawas koperasi. Selama periode tahun
2005-2008 telah dilatih sekitar 1,5 juta orang. Pemerintah juga pada
periode tahun yang sama telah menyelenggarakan diklat
perkoperasian kepada 14.280 orang yang terdiri anggota koperasi,
pengurus koperasi, pengelola koperasi, pengawas koperasi maupun
masyarakat yang akan membentuk koperasi.
III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Beberapa tindak lanjut dalam memberdayakan koperasi dan
UMKM perlu dilakukan, terutama adalah pada hal-hal berikut ini.
1) Menindaklanjuti Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) sebagai landasan yang kuat dalam
memberdayakan UMKM pada masa mendatang, segera di
tindaklanjuti sehingga menjadikan UMKM yang tangguh, kuat
dan mandiri, serta lebih mendapat jaminan kepastian hukum.
Untuk itu, diperlukan beberapa peraturan pelaksanaan, baik
berupa peraturan presiden maupun peraturan pemerintah.
20 - 18
2) Perlu adanya penyempurnaan dalam pelaksanaan KUR
melalui (a) penyempurnaan pelaksanaan penyaluran KUR
mikro; (b) perluasan bank pelaksana penyaluran KUR; dan (c)
peningkatan skema linkage yang melibatkan lembaga
keuangan mikro (LKM) dan KSP/USP dalam penyaluran
KUR.
3) Perlu adanya terobosan (rintisan) untuk mengembangkan
sentra-sentra produksi di daerah terisolasi dan
tertinggal/perbatasan. Tindak lanjut ini diperlukan agar
masyarakat atau sentra-sentra produksi di daerah
tertinggal/perbatasan dapat tumbuh dan berkembang sesuai
dengan potensi lokal tiap-tiap daerah.
4) Penyediaan insentif dan dukungan bagi pengembangan inovasi
dan teknologi untuk mendukung UKM dan koperasi dan
wirausaha baru berbasis teknologi. Insentif ini terutama
ditujukan bagi UKM yang berorientasi ekspor,
subkontrak/penunjang, agribisnis/agroindustri dan yang
memanfaatkan sumber daya lokal.
5) Penumbuhan wirausaha baru melalui dukungan fasilitasi
praktek usaha yang melibatkan peran lembaga pendidikan
pedesaan. Lembaga ini merupakan kelompok yang berperan
mendorong proses trickle down effect dalam bidang ekonomi
dan iptek. Pemberdayaan lembaga pendidikan pedesaan dalam
kegiatan usaha koperasi dan kewirausahaan sekaligus
ditujukan pada pengurangan pengangguran khususnya tenaga
kerja terdidik yang sekaligus akan dapat mengatasi masalah
keterbatasan kemampuan SDM koperasi.
6) Penyediaan dana melalui koperasi untuk sarana produksi
bersama anggota yang ditujukan untuk meningkatkan
produktivitas koperasi dan UMKM di bidang pertanian
tanaman pangan, hortikultura, perikanan dan peternakan,
pekebunan dan kehutanan, serta aneka usaha lainnya.
7) Revitalisasi lembaga pendidikan dan pelatihan perkoperasian
dengan tujuan untuk meningkatkan ketersediaan tenaga
pembina dan penyuluh perkoperasian di daerah.
TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik/Good Corporate Governance (GCG) adalah struktur dan mekanisme yang mengatur pengelolaan perusahaan sehingga menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun pemangku kepentingan. Penerapan prinsip prinsip tata kelola perusahaan yang baik dapat berkontribusi dalam peningkatan kinerja perusahaan. Pemahaman ini mendasari komitmen PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) untuk senantiasa menegakkan penerapan GCG dalam setiap jenjang organisasi dan kegiatan operasionalnya.
Pelaksanaan prinsip GCG didasarkan pada Peraturan Menteri BUMN No. Per-01/MBU/2011 tanggal 1 Agustus 2011 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance (GCG) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyebutkan ketentuan serta pedoman pelaksanaan GCG di Perusahaan. Penjabaran landasan pelaksanaan GCG tersebut juga diperjelas dalam Anggaran Dasar Perusahaan, pedoman-pedoman dan berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Penerapan Azas GCG
Pelaksanaan semua kegiatan telah sesuai dengan prinsip dasar GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, kemandirian, pertanggungjawaban dan kewajaran.
Transparansi
Asas keterbukaan selalu diterapkan dalam menjalankan bisnis melalui penyediaan informasi yang material dan relevan serta dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Informasi yang seluas-luasnya diberikan kepada publik dan pemegang saham, dengan memperhatikan peraturan OJK maupun atas inisiatif sendiri. Laporan-laporan diterbitkan secara berkala dan tepat waktu, yang mencakup Laporan Keuangan Triwulan, Laporan Keuangan Semester, dan Laporan Keuangan Tahunan yang diaudit, serta Laporan Tahunan. Informasi juga diberikan melalui paparan publik, media cetak dan elektronik, serta forum investor.
Akuntabilitas
Perseroan memiliki sistem pengelolaan perusahaan yang mendukung terciptanya kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban kinerja organ perusahaan. Prinsip akuntabilitas diterapkan antara lain melalui langkah-langkah pelaporan Direksi kepada Dewan Komisaris mengenai rencana anggaran tahunan dan evaluasi bersama atas kinerja keuangan Perusahaan, penyampaian laporan keuangan pada RUPS Tahunan, pembentukan Audit Internal dan penunjukan auditor eksternal, serta pemberlakuan etika bisnis dan pedoman perilaku Perusahaan.
Pertanggungjawaban
Perseroan memiliki sistem pengelolaan perusahaan yang mendukung terciptanya kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban kinerja organ perusahaan. Prinsip akuntabilitas diterapkan antara lain melalui langkah-langkah pelaporan Direksi kepada Dewan Komisaris mengenai rencana anggaran tahunan dan evaluasi bersama atas kinerja keuangan Perusahaan, penyampaian laporan keuangan pada RUPS Tahunan, pembentukan Audit Internal dan penunjukan auditor eksternal, serta pemberlakuan etika bisnis dan pedoman perilaku Perusahaan.
Indepedensi
Perseroan selalu memastikan bahwa pengelolaan perusahaan dilakukan secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Sebagai contoh, Dewan Komisaris dan Direksi Perseroan memiliki pendapat yang independen dalam setiap keputusan yang diambil, namun dimungkinkan untuk mendapatkan saran dari konsultan independen, hukum, sumber daya manusia dan komite-komite untuk menunjang kelancaran tugasnya. Saat ini Dewan Komisaris Perseroan beranggotakan 3 (tiga) orang, 1 (satu) Komisaris Utama dan 2 (dua) lainnya Komisaris.
Kewajaran dan Kesetaraan
Di Perseroan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya selalu mendapatkan perhatian khusus. Perseroan juga selalu menerapkan perlakuan yang setara baik kepada publik, otoritas pasar modal, komunitas pasar modal, maupun para pemangku kepentingan. Sementara itu hubungan dengan karyawan dijaga dengan memperhatikan hak dan kewajibannya secara adil dan wajar.
Untuk memastikan bahwa penerapan asas-asas GCG dalam setiap aspek bisnis Perseroan, maka diperlukan peran aktif serta dukungan dari Dewan Komisaris dan Direksi. Peran aktif dan dukungan tersebut pada tahun 2014 diwujudkan melalui:
- Pembaharuan Kebijakan & Prosedur Perseroan terkait Tata Kelola Perusahaan.
- Pelaksanaan asesmen penerapan GCG Perseroan oleh Independent Assessor.
- Sosialisasi Kebijakan & Prosedur Perseroan terkait Tata Kelola Perusahaan kepada para pemangku kepentingan.
Panduan Pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan
Segenap manajemen dan karyawan telah mewujudkan komitmen penerapan GCG melalui penandatanganan pakta integritas berdasarkan pedoman GCG yang diterapkan di seluruh tingkat organisasi dan kegiatan operasional Perseroan.
Asesmen GCG
Perseroan telah menunjuk Independent Assessor untuk menilai praktik GCG berdasarkan Pasal 44 ayat (5) Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-09/MBU/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. Per-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara juncto Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. Per-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara dan Surat Keputusan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara No. SK-16/S.MBU/2012 tentang Indikator/Parameter Penilaian dan Evaluasi atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara. Dari hasil asesmen tersebut, Perseroan memperoleh predikat "Baik".
Pelaporan Pelanggaran
Mekanisme Whistleblowing
Mekanisme/Prosedur Penerimaan Pelaporan Pelanggaran yang diduga dilakukan oleh Karyawan, Direksi, Dewan Komisaris, Organ Penunjang Dewan Komisaris, Kepala Divisi dan Organ Penunjang Direksi dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:
a. Melalui website www.smf-indonesia.co.id.
b. Menyampaikan surat yang ditujukan kepada Tim
Pengelola Pelaporan Pelanggaran, dengan cara diantar langsung atau melalui pos ke Perseroan dengan alamat:
Tim Pengelola Pelaporan Pelanggaran PT Sarana Multigriya Finansial (Persero)
Grha SMF, Jalan Panglima Polim I No.1 Melawai, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan, 12160.
Tel : 021 - 2700400
Fax : 021 - 2701400
Email: tim_pengelola_pelaporan@smf-indonesia.co.id
Grha SMF, Jalan Panglima Polim I No.1 Melawai, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan, 12160.
Tel : 021 - 2700400
Fax : 021 - 2701400
Email: tim_pengelola_pelaporan@smf-indonesia.co.id
Sejak 26 Desember 2012 Perseroan telah menerbitkan Kebijakan dan Prosedur Pelaporan Pelanggaran yang telah disetujui oleh Direksi dan Dewan Komisaris berlaku.
Penerapan Kebijakan Pelaporan Pelanggaran merupakan upaya peningkatan kualitas pelaksanaan tata kelola perusahaan. Kebijakan ini memfasilitasi semua pihak baik pimpinan, karyawan, maupun pihak luar yang terkait dengan perusahaan untuk melakukan pelaporan pelanggaran. Pelanggaran tersebut meliputi penyimpangan atas etika bisnis, etika kerja, kebijakan perusahaan, peraturan perundangan yang berlaku, anggaran dasar perusahaan, perjanjian kontrak perusahaan dengan pihak luar, rahasia perusahaan, atau perbuatan lainnya yang dapat merugikan perusahaan maupun pemangku kepentingan yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan perusahaan. Pelaporan ditujukan kepada pimpinan perusahaan atau kelembagaan lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut.
Penggunaan Dan Output Whistleblowing System
Atas pelaporan pelanggaran yang diterima, Tim Pengelola Pelaporan akan melakukan proses
penanganan pelaporan dengan melakukan verifikasi atas laporan yang masuk berdasarkan catatan tim. Tim Pengelola Pelaporan Pelanggaran akan memutuskan perlu tidaknya dilakukan investigasi atas Pelaporan pelanggaran dalam waktu 30 (tiga puluh) hari dan.
dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Apabila hasil verifikasi menunjukkan bahwa Pelaporan tidak benar dan tidak ada bukti maka tidak akan diproses lebih lanjut, namun apabila hasil verifikasi menunjukkan adanya indikasi pelanggaran yang disertai bukti-bukti yang cukup, maka Pelaporan dapat diproses ke tahap investigasi..
Pelaku pelanggaran yang telah terbukti berdasarkan hasil investigasi, akan diproses sesuai dengan peraturan yang berlaku. Apabila hasil investigasi terbukti adanya pelanggaran disiplin oleh Karyawan, maka Tim Pengelola Pelaporan Pelanggaran dapat menindaklanjuti dengan melaporkan hasil investigasi kepada Direksi untuk ditindaklanjuti. Apabila hasil investigasi terbukti adanya pelanggaran oleh Karyawan yang mengarah ke tindak pidana, maka dapat ditindaklanjuti proses hukum yang berlaku kepada lembaga penegak hukum dengan Direksi sebagai pejabat penyerah perkara.
Implementasi Sistem Pelaporan Pelanggaran Di Tahun 2014
Selama tahun 2014 Tim Pengelola Pelaporan Pelanggaran tidak menerima laporan atas penyimpangan apapun di Perseroan.
Rencana Sistem Pelaporan Pelanggaran Di Tahun 2015
Pada tahun 2014, telah dilakukan pembahasan implementasi Sistem Pelaporan Pelanggaran di Perseroan. Atas hasil pembahasan tersebut, tahun 2015 direncanakan untuk dilakukan review dan perubahan Sistem Pelaporan Pelanggaran sehingga implementasinya dapat berjalan lebih efektif.
Perlindungan Pelapor
Perlindungan pelapor dimaksudkan untuk mendorong keberanian melaporkan pelanggaran.
Perlindungan pelapor meliputi:
Perlindungan pelapor meliputi:
- Jaminan kerahasiaan identitas pelapor dan isi laporan
- Jaminan keamanan bagi pelapor maupun keluarganya
- Jaminan perlindungan terhadap perlakuan yang merugikannya
Perseroan memberikan jaminan kerahasiaan identitas terlapor sampai berubah menjadi status terperiksa.
Pengelola Pengaduan Pelanggaran
Pengelola Pengaduan Pelanggaran adalah Tim Pengelola Pelaporan Pelanggaran yang dibentuk berdasarkan pengesahan Dewan Komisaris dan Direksi atas dokumen Kebijakan dan Prosedur Pengelolaan Laporan Pelanggaran V:01 T:12 2012 tertanggal 26 Desember 2012.
Tim dibentuk secara ad hoc berdasarkan SK Direksi sesuai laporan pelanggaran yang diproses. Tim terdiri dari:
- Kepala SPI
- Kepala Divisi SDM dan Umum
- Kepala Divisi Terkait
Langganan:
Postingan (Atom)
yang terbaik
No whatsapp jasa karya ilmiah Universitas Terbuka
Untuk no whatsapp nya ganti di 085293796340 Untuk testimoni ada di galeri. Untuk yg lain2 gak tak post krna sdh mulai di rame pembahasan ter...
-
12 Peninggalan Sejarah Paling Misterius di Dunia Hal misterius selalu menggugah keingin-tahuan manusia dengan rasa penasarannya (curios...