Hak Cipta


Materi Inisiasi: 3
Topik   : Hak Cipta
Modul : 3

Uraian:
Landasan Hukum : UU No 28 Tahun 2014  tentang Hak Cipta

Pengertian
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, alau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyataPemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah. Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga Penyiaran. Pembajakan adalah Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.

Hak moral dan Hak Ekonomi
Hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk:
a.       tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;
b.      menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
c.       mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
d.      mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan
e.       mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.
Hak moral sebagaimana dimaksud tidak dapat dialihkan selama Pencipta masih hidup, tetapi pelaksanaan hak tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah Pencipta meninggal dunia. Dalam hal terjadi pengalihan pelaksanaan hak moral, penerima dapat melepaskan atau menolak pelaksanaan haknya dengan syarat pelepasan atau penolakan pelaksanaan hak tersebut dinyatakan secara tertulis. Untuk melindungi hak moral, Pencipta dapat memiliki: a. informasi manajemen Hak Cipta; dan/atau b. informasi elektronik Hak Cipta.
Hak ekonomi merupakan Pemegang Hak Cipta untuk atas Ciptaan. hak eksklusif Pencipta atau mendapatkan manfaat ekonomi. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk meiakukan:
a.       penerbitan Ciptaan;
b.      Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
c.       penerjemahan Ciptaan;
d.      pengadaplasian, pengaransemenan, pentransformasian Ciptaan;
e.       Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
f.       pertunjukan Ciptaan; C. Pengumuman Ciptaan;
g.      Komunikasi Ciptaan; dan
h.      penyewaan Ciptaan.
Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan. Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya. Hak ekonomi untuk melakukan Pendistribusian Ciptaan atau salinannya tidak berlaku terhadap Ciptaan atau salinannya yang telah dijual atau yang telah dialihkan kepemilikan Ciptaan kepada siapapun. Hak ekonomi untuk menyewakan Ciptaan atau salinannya tidak berlaku terhadap Program Komputer dalam hal Program Komputer tersebut bukan merupakan objek esensial dari penyewaan.
Hak Terkait merupakan hak eksklusif yang meliputi: a. hak moral Peiaku Pertunjukan; b. hak ekonomi Pelaku Pertunjukan; c. hak ekonomi Produser Fonogram; dan d. hak ekonomi Lembaga Penyiaran.

Pelindungan
Pelindungan  tidak berlaku terhadap:
a.       penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;
b.      Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan;
c.       Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan
d.      penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
a.       buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya:
b.      ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
c.       alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d.      lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
e.       drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f.       karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
g.      karya seni terapan;
h.      karya arsitektur;
i.        peta;
j.        karya seni batik atau seni motif lain;
k.      karya fotografi;
l.        Potret;
m.    karya sinematograh;
n.      terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
o.      terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modihkasi ekspresi budaya tradisional;
p.      kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
q.      kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
r.        permainan video; dan
s.       Program Komputer.

Ciptaan huruf n dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli. Pelindungan sebagaimana dimaksud , termasuk pelindungan terhadap Ciptaan yang tidak atau belum dilakukan Pengumuman tetapi sudah diwujudkan dalam bentuk nyata yang memungkinkan Penggandaan Ciptaan tersebut.
Hasil karya yang tidak dilindungi Hak Cipta meliputi:
a.       hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata;
b.      setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah Ciptaan; dan
c.        alat, benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional.

Tidak ada Hak Cipta atas hasil karya berupa:
a.       hasil rapat terbuka lembaga negara;
b.      peraturan perundang-undangan;
c.       pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah;
d.      putusan pengadilan atau penetapan hakim; dan e. kitab suci atau simbol keagamaan.

Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta meliputi:
a.       Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
b.      Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh atau atas nama pemerintah, kecuali dinyatakan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, pernyataan pada Ciptaan tersebut, atau ketika terhadap Ciptaan tersebut dilakukan Pengumuman, Pendistribusian, Komunikasi, dan/atau Penggandaan;
c.       pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap; atau
d.      pembuatan dan penyebarluasan konten Hak Cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan / atau menguntungkan Pencipta atau pihak terkait, atau Pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut.
e.       Penggandaan, Pengumuman, dan/atau Pendistribusian Potret Presiden, Wakil Presiden, mantan Presiden, mantan Wakil Presiden, Pahlawan Nasional, pimpinan lembaga negara, pimpinan kementerian / lembaga pemerintah non kementerian, dan/atau kepala daerah dengan memperhatikan martabat dan kewajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan:
a.       buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b.      ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
c.       alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d.      lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e.       drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f.       karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrali, seni pahat, patung, atau kolase;
g.      karya arsitektur;
h.      peta; dan
i.        karya seni batik atau seni motif lain, berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.
Dalam hal Ciptaan oleh 2 (dua) orang atau lebih, pelindungan Hak Cipta berlaku selama hidup Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun sesudahnya, terhitung mulai tanggal I Januari tahun berikutnya. Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan yang dimiliki atau dipegang oleh badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan Pengumuman.

Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan:
a.       karya fotograh;
b.      Potret;
c.       karya sinematografi;
d.      permainan video;
e.       Program Komputer;
f.       perwajahan karya tulis;
g.      terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
h.      terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;
i.        kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer atau media lainnya; dan
j.        kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli, berlaku selama 50 (1ima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan Pengumuman. Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan berupa karya seni terapan berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun sejak pertama kali dilakukan Pengumuman.


Ketentuan Internasional terkait Kekayaan Intelektuial


Materi Inisiasi: 2
Topik   : Ketentuan Internasional terkait Kekayaan Intelektuial
Modul : 2

Uraian:


  1. Berner Convention
Konvensi bern yang mengatur tentang perlindungan karya-karya literer (karya tulis) dan artistic, ditandatangani di Bern pada tanggal 9 Septemver 1986, dan telah beberapa kali mengalami revisi serta pentempurnaan-pentempurnaan. Revisi pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1896, revisi berikutnya di Berlin pada tanggal 13 November 1908. Kemudian disempurnakan lagi di Bern pada tanggal 24 Maret 1914. Selanjutnya secara bebturut-turut direvisi di Roma tanggal 2 juni 1928 dan di Brussels pada tanggal 26 Juni 1948, di Stockholm pada tanggal 14 Juni 1967 dan yang paling baru di Paris pada tanggal 24 Juni 1971. Anggota konvensi ini berjumlah 45 Negara. Rumusan hak cipta menutut konvensi Bern adalah sama seperti apa yang dirimuskan oleh Auteurswet 1912. Objek perlindungan hak cipta dalam konvensi ini adalah: karya-karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun. Suatu hal yang terpenting dalam konvensi bern adalah mengenai perlindungan hak cipta yang diberikan terhadap para pencipta atau pemegang hak.
Perlindungan diberikan pencipta dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidaknya perlindungan yang diberikan. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa sipencipta yang tergabung dalam negara-negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh hak dalam luas dan berkerjanya disamakan dengan apa yang diberikan oleh pembuat undang-undang dari negara peserta sendiri jika digunakan secara langsung perundang-undanganya terhadap warga negaranya sendiri. Pengecualian diberikan kepada negara berkembang (reserve). Reserve ini hanya berlaku terhadap negara-negara yang melakukan ratifikasi dari protocol yang bersangkutan. Negara yang hendak melakukan pengecualian yang semacam ini dapat melakukannya demi kepentingan ekonomi, social, atau kultural.

  1. Paris Convention for Protection of Industrial Property (KEPPRES No. 15 TAHUN 1997)

Konvensi tentang HAKI berikutnya terdapat pada Paris Convention for Protection of Industrial Property yang juga terdapat pada peraturan KEPPRES No.15 Tahun 1997. Hal tersebut membahas mengenai perlindungan terhadap properti industrial yang didalam perjanjian internasional besar pertama yang dirancang untuk membantu rakyat satu negara mendapatkan perlindungan di negara-negara lain untuk kreasi intelektual mereka dalam bentuk hak kekayaan industri, yang kemudian dikenal sebagai penemuan (paten), merek dagang dan desain industri.

  1. TRIP’S (Trade Related Aspecs of Intelectual Property Rights) (UU No. 7 Tahun 1994)
Konvensi-konvensi tentang KI secara internasional diatur dalam TRIP’S (Trade Related Aspecs of Intelectual Property Rights) pada UU No.7 Tahun 1994 yang membahas mengenai aspek-aspek dagang terkait dengan Kekayaan Intelektual, termasuk perdagangan barang palsu) dengan tujuan untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual dari produk-produk yang diperdagangkan. Tujuan lainnya adalah menjamin prosedur pelaksanaan kekayaan intelektual yang tidak menghambat kegiatan perdagangan, merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan kekayaan intelektual, serta mengembangkan prinsip, aturan dan mekanisme kerjasama internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan karya  intelektual.





Contoh Intepretasi Purposive dalam Penalaran Hukum

INTEPRETASI PURPOSIVE
Ada 6 jenis intepretasi konstitusi yang diperkenalkan oleh Hobbit dimana menurut Albert H.Y Chen adalah termasuk dalam ruang lingkup interpretasi purposive, diantaranya ada :
Penafsiran Etikal, yang merupakan metode penafsiran konstitusi dengan pendekatan filsafati, moral atau aspirasi. Contohnya yang sering dilakukan oleh Hakim Frank Caprio dalam channel videonya :
Hakim Frank Caprio
Hakim Frank sering mengatasnamakan norma konstitusi negaranya dengan mendekatkan kepentingan pelanggar lalu lintas yang sedang mengalami kesulitan financial, kegawatdaruratan, bahkan secara psikologis terganggu karena sedang menjalani persidangan perceraian misalnya;
Penafsiran structural, adalah metode penafsiran suatu undang-undang dengan konstitusi yang derajat normanya lebih luas. Tekstual dalam UU tidak serta merta diterapkan secara langsung, akan tetapi mempertimbangkan nilai yang ada dalam konstitusi. Misalnya, dalam kasus Ustad Baasyir yang dimungkinkan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat dengan alasan pertimbangan Presiden yang mendalih kan perlakuan khusus bagi lansia yang terdapat dalam konstitusi dan kewenangan atribusi Presiden memungkinkan untuk melakukan putusan atau kebijaksanaan. Akan tetapi kasus ini tidak diteruskan oleh sebab Ustad Baasyir menolak untuk menandatangani dokumen setia kepada Pancasila.
Penafsiran hitoris, adalah metode penafsiran original intent yang didasarkan pada sejarah pembahasan dan pembentukan konstitusi atau undang-undang. Contoh adalah kasus Jones Vs Menara Boot Co. yang kasusnya oleh pengadilan tingkat kota ditafsirkan berbeda oleh Hakim Pengadilan Banding. Para hakim menggunakan pendakatan purposive dengan memeriksa peristiwa hukum ini adalah terkait dengan konteks perselisihan dalam pekerjaan bukan semata delik kekerasan fisik yang dialami oleh warga kulit hitam. Hakim mempertimbangkan bahwa sewaktu UU tentang Ketenagakerjaan dibuat memang dilatarbelakangi sejarah diskriminasi terhadap pekerja kulit hitam.
KRITIK DAN CONTOH PENAFSIRAN LITERAL
Penafsiran Literal adalah metode menafsirkan hukum berdasarkan tekstual yang tertulis dalam undang-undang. Oleh Sartjipto Raharjo, metode literal ini adalah bagian dari semangat yang mengharuskan idealnya setiap kalimat pasal dalam undang-undang sudah jelas (scripta).
Kritik terberat untuk metode literal adalah karena pembuat undang-undang dalam menyusun norma pasal tidak mempertimbangkan bagaimana nantinya para hakim memeriksa dan mengadili perkara hukum yang timbul karena adanya Undang-undang itu. Sebagian menyatakan metode literal jika dipaksakan dapat menjadikan kebebasan hakim dalam memeriksa dan melakukan pertimbangan dapat menjadi terbatas, atau telah dibatasi oleh pembuat Undang-undang.
Contohnya : Pengadilan Negeri Kota Pangkalpinang, mengadili terdakwa yang dijerat dengan Undang-Undang Darurat karena membawa senjata tajam, akan tetapi pembela hukum mempertanyakan tidak adanya barang bukti senjata tajam (Linggis) yang dibawakan dalam persidangan sekalipun dalam keterangan saksi-saksi juga terdakwa mengaku dirinya memegang linggis. Karena tekstual UU Darurat adalah mengenai benda tajam, maka dalam pertimbangannya hakim mengabaikan Pasal UU Darurat, dan memvonisnya berdasarkan pasal mengenai penganiayaan.
KAMUS HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN
Pada saat menyusun suatu produk peraturan perundangan menurut ajaran legalisme adalah melalui rangkaian perenungan ide dan etik oleh para pembuat peraturan perundangan. Akan tetapi pandangan ini dapat menjerumuskan pasal – pasal dalam rancangan peraturan perundangan itu terjebak dalam permainan kata-kata yang kelak sulit ditafsirkan oleh para penegak hukum, apalagi dalam hukum pidana peraturan perundangan tidak ambigu.
Oleh sebab itu, diperlukan peran akademisi dan praktisi hukum dalam pembentukan suatu peraturan perundangan. Para akademisi dapat membantu pembuat undang-undang mengenal dan memahami kamus hukum yang dibutuhkan agar kalimat dalam rancangan pasal peraturan perundangan bukanlah kumpulan kalimat kosong yang tidak dikenal dalam bahasa hukum.
Misalnya, dalam revisi UU ITE yang akhirnya lebih jelas setelah diadakan perubahan mengenai delik umum dalam unsure pidana dapat diaksesnya penghinaan atau pencemaran nama baik menjadi delik aduan yang harus diawali dengan adanya pengaduan tanpa perlu mempertentangkan lagi kalimat “dapat diaksesnya” sebagai unsure umum sesuai delik penghinaan dalam KUHP. Sehingga pengaduan atas penghinaan melalui pesan SMS antara 2 orang dapat ditinjau sebagai delik aduan.

AMNESTY INTERNATIONAL

26th Januari 2004 AI Index: IOR 40/001/2004 AMNESTY INTERNATIONAL Pengadilan Pidana Internasional Lembar fakta 1 Pendahuluan mengenai Pengadilan Pidana Internasional "Pembentukan Pengadilan tersebut masih merupakan sebuah harapan bagi generasi yang akan datang, dan merupakan suatu langkah besar dalam rangka gerakan menuju hak asasi manusia dan supremasi hukum yang universal." Kofi Annan, Sekjen PBB, 18 Juli 1998, dalam penandatanganan Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional di Roma 1. Apa itu Pengadilan Pidana Internasional? Pengadilan Pidana Internasional (ICC = The International Criminal Court) merupakan sebuah lembaga yudisial independen yang permanen, yang diciptakan oleh komunitas negara-negara internasional, untuk mengusut kejahatan yang mungkin dianggap sebagai yang terbesar menurut hukum internasional seperti: genosida, kejahatan lain terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. 2. Kapan ICC dibentuk? Pada bulan Juli 1998, sebuah konferensi diplomatik mengadopsi Statuta Roma dari ICC (Statuta Roma) dengan hasil jumlah suara 120 setuju dan hanya tujuh tidak setuju (21 tidak memberikan suara). Statuta Roma menjelaskan tentang kejahatan tersebut, tentang bagaimana pengadilan akan bekerja, dan negara-negara mana saja yang harus bekerjasama dalam hal tersebut. Ratifikasi ke-60 yang diperlukan untuk membentuk ICC dilakukan pada tanggal 11 April 2002, dan Statuta tersebut mulai dilaksanakan yuridiksinya pada tanggal 1 Juli 2002. Pada bulan Februari 2003, 18 hakim ICC pertama terpilih, dan Jaksa pertama terpilih pada bulan April 2003. 3. Mengapa Pengadilan tersebut perlu? Walaupun selama setengah abad komunitas internasional telah menciptakan sistem perlindungan terhadap hak asasi manusia secara internasional dan regional, jutaan orang masih terus menjadi korban genosida serta korban kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Secara memalukan, hanya segelintir saja dari mereka yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kejahatan ini pernah dibawa ke pengadilan nasional – itu sebabnya kebanyakan pelaku melakukan kejahatan ini dengan pemahaman bahwa mereka sangat tidak mungkin diadili atas tindakan yang mereka lakukan. ICC bertujuan sebagai berikut: • Bertindak sebagai pencegah terhadap orang yang berencana melakukan kejahatan serius menurut hukum internasional; • Mendesak para penuntut nasional – yang bertanggungjawab secara mendasar untuk mengajukan mereka yang bertanggungjawab terhadap kejahatan ini ke pengadilan – untuk melakukannya; • Mengusahakan supaya para korban dan keluarganya bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran, dan memulai proses rekonsiliasi; • Melakukan langkah besar untuk mengakhiri masalah pembebasan dari hukuman (impunity). 4. Apa pengaruh ICC pada pengadilanpengadilan nasional? Pengadilan-pengadilan nasional akan selalu memiliki yurisdiksi terhadap kejahatankejahatan semacam itu. Menurut prinsip “saling melengkapi”, ICC hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu atau tidak mau melakukannya. Misalnya, sebuah pemerintah mungkin tidak mau menuntut warga negaranya sendiri, khususnya bila mereka mempunyai jabatan 2 tinggi, atau jika sistem pengadilan pidana tidak berfungsi akibat konflik internal, yang kemudian mungkin tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi kejahatan-kejahatan sejenis ini. 5. Kapan pengadilan tersebut bisa menuntut individu yang telah dicurigai melakukan kejahatan besar menurut hukum internasional? Pengadilan tersebut memiliki yurisdiksi untuk menuntut para individu ketika: • Kejahatan dilakukan di wilayah negara yang telah meratifikasi Statuta Roma; • Kejahatan dilakukan oleh warga negara dari sebuah negara yang telah meratifikasi Statuta Roma; • Negara yang belum meratifikasi Statuta Roma tetapi telah membuat deklarasi yang menyetujui yurisdiksi pengadilan terhadap tindak kejahatan; • Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam atau melanggar perdamaian dan keamanan internasional, dan Dewan Keamanan PBB telah menyerahkan situasi tersebut ke Pengadilan Pidana Internasional tersebut, menurut Bab 7 Piagam PBB. 6. Apakah Pengadilan tersebut bisa menuntut para individu atas kejahatan yang dilakukan sebelum pembentukan Pengadilan tersebut? Tidak. Pengadilan tersebut hanya akan memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan setelah tanggal 1 Juli 2002, ketika Statuta Roma mulai diberlakukan. 7. Siapa yang akan memutuskan tentang kasus-kasus mana yang akan diajukan ke Pengadilan? Statuta Roma menetapkan kasus-kasus yang bisa disidangkan di Pengadilan ini didapat melalui tiga cara yang berbeda: 1. Jaksa Penuntut Pengadilan ini bisa mengawali tindakan investigasi pada suatu situasi di mana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, berdasarkan pada informasi dari sumber apa saja, termasuk dari korban atau keluarga korban, tetapi hanya bila Pengadilan tersebut memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan dan individu tersebut (lihat pertanyaan 4 dan 5). 2. Negara-negara yang telah meratifikasi Statuta Roma bisa meminta Jaksa untuk menginvestigasi suatu keadaan di mana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, tetapi hanya bila Pengadilan tersebut memiliki yurisdiksi. 3. Dewan Keamanan PBB bisa meminta Jaksa untuk menginvestigasi suatu keadaan di mana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1 dan 2, ICC akan memiliki yurisdiksi ketika Dewan Keamanan PBB menyerahkan hal tersebut kepada Jaksa, bahkan sekalipun jika kejahatan terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma, atau dilakukan oleh warga negara dari negara semacam itu. Walaupun begitu, masing-masing keadaan ini tergantung pada Jaksa, bukan pada negara atau Dewan Keamanan, untuk memutuskan apakah akan memulai sebuah investigasi atau tidak. Dan berdasarkan pada investigasi tersebut akan ditentukan apakah akan diajukan tuntutan atau tidak berdasarkan pada persetujuan yudisial . 8. Apa pentingnya sebanyak mungkin negara meratifikasi Statuta Roma Jaksa hanya bisa memulai suatu investigasi bila kejahatan telah dilakukan di wilayah suatu negara yang menganut Statuta, atau tertuduh merupakan warga negara dari sebuah negara yang menganut Statuta, kecuali jika Dewan Keamanan menyerahkan suatu situasi pada Pengadilan Pidana Internasional. Keengganan Dewan Keamanan untuk mendirikan tribunal pidana internasional ad hoc bagi situasi di luar bekas Yugoslavia dan Rwanda, menunjukkan bahwa tidak mungkin Dewan Keamanan menyerahkan banyak situasi pada Pengadilan tersebut. Itu sebabnya, sebagian besar keefektifan pengadilan akan diukur dari berapa banyak negara yang meratifikasi Statuta tersebut. Publikasi Proyek Peradilan Internasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun; b. bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; c. bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879); 3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327 ); 4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); Dengan persetujuan bersama antara DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. 3. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. 4. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual. 5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. BAB II KEDUDUKAN DAN TEMPAT KEDUDUKAN PENGADILAN HAM Bagian Kesatu Kedudukan Pasal 2 Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Bagian Kedua Tempat Kedudukan Pasal 3 (1) Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. (2) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. BAB III LINGKUP KEWENANGAN Pasal 4 Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 5 Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pasal 6 Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Pasal 7 Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: a. kejahatan genosida; b. kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 8 Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Pasal 9 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid. BAB IV HUKUM ACARA Bagian Kesatu Umum Pasal 10 Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana. Bagian Kedua Penangkapan Pasal 11 (1) Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup. (2) Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dipersangkakan. (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. (4) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik. (5) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari. (6) Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan. Bagian Ketiga Penahanan Pasal 12 (1) Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. (2) Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. (3) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pasal 13 (1) Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 14 (1) Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penuntutan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 15 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 16 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 17 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung. Bagian Keempat Penyelidikan Pasal 18 (1) Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. (2) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat. Pasal 19 (1) Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik berwenang: a. melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti; c. memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya; d. memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya; e. meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu; f. memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya; g. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1) pemeriksaan surat; 2) penggeledahan dan penyitaan; 3) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu; 4) mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan. (2) Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat penyelidik memberitahukan hal itu kepada penyidik. Pasal 20 (1) Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik. (2) Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik. (3) Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut. Bagian Kelima Penyidikan Pasal 21 (1) Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. (2) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kewenangan menerima laporan atau pengaduan. (3) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat. (4) Sebelum melaksanakan tugasnya, penyidik ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing. (5) Untuk dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc harus memenuhi syarat : a. warga negara Republik Indonesia; b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun; c. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; d. sehat jasmani dan rohani; e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia. Pasal 22 (1) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung. (5) Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan. (6) Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Keenam Penuntutan Pasal 23 (1) Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. (2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat. (3) Sebelum melaksanakan tugasnya penuntut umum ad hoc mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing. (4) Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat : a. warga negara Republik Indonesia; b. berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun; c. berpendidikan sarjana hukum dan berpengalaman sebagai penuntut umum; d. sehat jasmani dan rohani; e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; f. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan g. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia. Pasal 24 Penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan paling lambat 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima. Pasal 25 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Bagian Ketujuh Sumpah Pasal 26 Sumpah penyidik dan Jaksa Penuntut Umum ad hoc sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dan Pasal 23 ayat (3), lafalnya berbunyi sebagai berikut : "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan". Bagian Kedelapan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Paragraf 1 Umum Pasal 27 (1) Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (2) Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. (3) Majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diketuai oleh hakim dari Pengadilan HAM yang bersangkutan. Pasal 28 (1) Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Agung. (2) Jumlah hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang. (3) Hakim ad hoc diangkat untuk selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Paragraf 2 Syarat Pengangkatan Hakim Ad Hoc Pasal 29 Untuk dapat diangkat menjadi Hakim ad hoc harus memenuhi syarat: 1. warga negara Republik Indonesia; 2. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3. berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun; 4. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; 5. sehat jasmani dan rohani; 6. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; 7. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan 8. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia. Pasal 30 Hakim ad hoc yang diangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) sebelum melaksanakan tugasnya wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agamanya masing-masing yang lafalnya berbunyi sebagai berikut : "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak mem-beda-bedakan orang, dan akan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan". Paragraf 3 Acara Pemeriksaan Pasal 31 Perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Pasal 32 (1) Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi. (2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. (3) Jumlah hakim ad hoc di Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya 12 (dua belas) orang. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 30 juga berlaku bagi pengangkatan hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi. Pasal 33 (1) Dalam hal perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung. (2) Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 (lima) orang terdiri atas 2 (dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. (3) Jumlah hakim ad hoc di Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurangkurangnya 3 (tiga) orang. (4) Hakim ad hoc di Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (5) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diangkat untuk satu kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun. (6) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Mahkamah Agung harus memenuhi syarat : a. warga negara Republik Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun; d. berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; e. sehat jasmani dan rohani; f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; g. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan h. memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia. BAB V PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI Pasal 34 (1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. (3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI Pasal 35 (1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. (2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. (3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII KETENTUAN PIDANA Pasal 36 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 37 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, b, d, e, atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 38 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 39 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun. Pasal 40 Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g, h, atau i dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 41 Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40. Pasal 42 (1) Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu : a. komandan militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b. komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni : a. atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b. atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40. BAB VIII PENGADILAN HAM AD HOC Pasal 43 (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undangundang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. (3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum. Pasal 44 Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 45 (1) Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar. (2) Daerah hukum Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada pada Pengadilan Negeri di: a. Jakarta Pusat yang meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah; b. Surabaya yang meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur; c. Makassar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya; d. Medan yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 46 Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undangundang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa. Pasal 47 (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang. Pasal 48 Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang sudah atau sedang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini. Pasal 49 Ketentuan mengenai kewenangan Atasan Yang Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan Pasal 123 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut Undang-undang ini. Pasal 50 Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 191, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3911) dengan ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 51 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 23 Nopember 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Nopember 2000 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd DJOHAN EFFENDI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 208

Hukum Pidana Internasional 04

19 KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL KHUSUSNYA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Kus Rizkianto Abstrak Perkembangan hukum internasional dan hukum pidana internasional abad 21 telah memasuki abad “integrated world of community” di dalam menghadapi tantangan dan ancaman dengan melepaskan diri dari kenyataan keterkaitan dan keterikatan suatu bangsa terhadap kondisi objektif baik secara kultural, etnis, geografis maupun faktor sistem politik yang berkembang di negara yang bersangkutan sehingga kerjasama internasional sangat diperlukan dalam menegakkan hukum pidana internasional. Adapun bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dalam penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia antara lain : ekstradisi, pemindahan narapidana, bantuan hukum timbal balik, penyelidikan bersama, kerjasama melakukan teknik-teknik penyelidikan khusus, dan pemindahan proses pidana. Kata Kunci : Kerjasama Internasional, Penegakan HAM A. Pendahuluan Dalam konteks penegakan hukum pidana internasional, kerjasama internasional merupakan sesuatu yang conditio cine qua non. Kebutuhan akan kerjasama internasional berkaitan dengan sifat tindak pidana yang terjadi tidak hanya melibatkan dua yuridiksi hukum atau lebih, namun juga mempunyai aspek internasional yaitu ancaman terhadap keamanan dan perdamaian dunia ataupun menggoyahkan rasa kemanusiaan. Dengan melibatkan lebih dari satu sistem hukum yang berbeda, mau tidak mau menimbulkan saling ketergantungan antar negara di dunia ini, yang kemudian mendorong dilakukannya kerjasama-kerjasama internasional yang dalam banyak hal dituangkan dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional. Perbedaan falsafah dan pandangan hidup dan lainnya, tidak lagi menjadi hambatan dalam melakukan hubungan dan kerjasama antar negara. Globalisasi dan kemajuan teknologi dengan dampak positif negatifnya telah mendorong perlunya pengaturan-pengaturan yang tegas dan pasti dalam bentuk 20 rumusan perjanjian-perjanjian. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika dewasa ini dan masa-masa yang akan datang, akan semakin banyak tumbuhnya perjanjian- perjanjian internasional. Dewasa ini hukum internasional sebagaian besar terdiri dari perjanjian- perjanjian internasional. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa perjanjian internasional telah mendesak dan menggeser kedudukan dan peranan hukum kebiasaan internasional yang pada awal sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional menduduki tempat yang utama. Tepatlah apa yang dikatakan G.I. Tunkin, bahwa secara proporsional perjanjian internasional pada masa kini menduduki tempat yang utama dalam hukum internasional sebagai akibat dari munculnya persetujuan-persetujuan internasional secara meluas1 . Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengamanatkan, bahwa dalam membuat perjanjian internasional baik dengan satu negara maupun dengan organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, wajib memperhatikan dan memenuhi : (1) Harus didasarkan pada kesepakatan para pihak, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. (2) Harus berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip- prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu baru dalam sejarah perkembangannya tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM). Keterkaitan erat tersebut dapat digambarkan sebagai dua saudara kembar, yang memiliki ketergantungan yang kuat (interdependency), sinergis, dan berkesinambungan2 . Ketiga sifat saudara kembar tersebut dapat dicontohkan dengan terbentuknya jenis kejahatan baru dalam dimensi internasional (genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi) yang kemudian melahirkan proses hukum acara dan pembentukan 1 Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas University Press, Padang, 2006, hal 56. Diakses dari www.google.co.id/jurnalpidanainternasional pada tanggal 18 Oktober 2012 2 Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional Dan Hukum Hak Asasi Manusia, Makalah disajikan dalam Pelatihan Hukum HAM yang Diselenggarakan Oleh PUSHAM UII Yogyakarta Tanggal 23 September 2005, hlm. 16 21 peradilannya (ICC) di mana keseluruhannya membentuk suatu proses ilmu baru yang disebut hukum pidana internasional. Perkembangan Konvensi untuk Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Transnasional Terorganisasi pada tahun 2000 telah membentuk kriminalisasi tentang perdagangan orang, khususnya wanita dan anak-anak; penyelundupan migrant, dan penyelundupan senjata api. Selain itu perkembangan kejahatan transnasional dan internasional telah membentuk pula, asas-asas hukum baru (asas hukum, “au dedere au punere” (Grotius), “au dedere au judicare (Bassiouni) dan asas-asas lainnya yang telah diuraikan merupakan lingkup pembahasan hukum pidana internasional. Di dalam rangka reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Abad 21, Laporan High-level Panel on “Threats,Challenges and Change” di bawah petunjuk Sekjen PBB tahun 2004 menegaskan bahwa dewasa ini dapat dibedakan terdapat 6 (enam) kelompok ancaman terhadap penduduk dunia yaitu: (a) ancaman social dan ekonomi, termasuk kemiskinan, penyakit berbahaya dan kemerosotan lingkungan; (b) konflik antar-negara; (c) konflik internal, termasuk, perang saudara (civil war), genosida dan malapetaka dalam bentuk yang luas; (d) senjata nuklir, radiology,kimia dan biologis; (e) terorisme; dan (f) kejahatan transnasional terorganisasi. Dalam kaitan dengan pembagian kelompok ancaman tersebut di atas, maka prinsip-prinsip “non-intervention”, dan “state-souvereignty”, tidak dapat lagi dijadikan alasan untuk menolak campur tangan negara lainnya untuk ikut bertanggung jawab menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri suatu negara manakala telah terjadi salah satu dari keenam kelompok masalah tersebut di negaranya. Dalam hal laporan Panel Tingkat Tinggi Sekjen PBB menegaskan antara lain:” There is a growing recognition that the issue is not the “right to intervene” of any State, but the “responsibility to protect” of every State when it comes to people suffering from avodable catastrophe-mass murder and rape, ethnic cleansing by forcible expulsion , deliberate starvation and exposure to disease”3 . 3 United Nations, “A More Secured World”: Our Shared Responsibility; Reports of The Secretary- General’s High-level Panel on Threats,Challenges and Change;2004;page 23 22 Perkembangan dan perubahan pandangan dunia terhadap pengakuan dan penolakan prinsip non-intervensi sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa perkembangan hukum internasional dan hukum pidana internasional abad 21 telah memasuki abad “integrated world of community” di dalam menghadapi tantangan dan ancaman dengan melepaskan diri dari kenyataan keterkaitan dan keterikatan suatu bangsa terhadap kondisi objektif baik secara kultural, etnis, geografis maupun faktor sistem politik yang berkembang di negara yang bersangkutan 4 sehingga kerjasama internasional sangat diperlukan dalam menegakkan hukum pidana internasional. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan tentang bagaimana bentuk kerjasama internasional dalam penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran hak asasi manusia ? C. Pembahasan 1. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Yang Berat Pengertian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat pertama sekali muncul dalam hukum positif Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, menentukan bahwa yang termasuk pelanggaran HAM yang berat meliputi (1) kejahatan genoside dan (2) kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM yang berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materil maupun immaterial yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan tentang pengertian kejahatan genosida yaitu : Setiap perbuatan yang dilakukan dengan 4 Romli Atmasasmita, Op.cit.hlm. 14 23 maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara-cara : 1. membunuh anggota kelompok; 2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota- anggota kelompok; 3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian; 4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau 5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, ditentukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: 1. pembunuhan; 2. pemusnahan; 3. perbudakan; 4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; 5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; 6. penyiksaan; 7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk- bentuk kekerasan seksual lain yang setara; 8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum; 9. penghilangan orang secara paksa, atau 24 10. kejahatan apartheid. Rumusan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, apabila dibandingkan dengan rumusan yang terdapat dalam Statuta Roma tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) adalah lebih singkat, karena hanya mengambil 2 (dua) elemen dari yang terdapat di dalam ICC yaitu “kejahatan genosida” dan “kejahatan kemanusiaan”, padahal yang digolongkan dalam kejahatan berat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma menentukan: Juridiksi Mahkamah terbatas pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan, dan Mahkamah mempunyai juridiksi sesuai dengan Statuta berkenaan dengan kejahatan-kejahatan sebagai berikut : 1. kejahatan genosida (the crime of genocide); 2. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity); 3. kejahatan perang (war crimes); 4. kejahatan agresi (the crime of aggression). Kejahatan perang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 Statuta Roma digolongkan atas 4 (empat) kategori yaitu: 1. Pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa, terdiri dari 8 (delapan) jenis kejahatan perang yang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a Statuta Roma). 2. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional, terdiri dari 26 (dua puluh enam) jenis kejahatan perang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat 2 huruf b). 3. Pelanggaran terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, dalam hal terjadi konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, terdiri dari 4 (empat) jenis kejahatan perang spesifik, ( diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c). 25 4. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, terdiri dari 12 (dua belas) jenis kejahatan perang spesifik, (diatur dalam Pasal 8 ayat (2). Kejahatan perang sebagaimana telah ditentukan dalam Konvensi Jenewa yang telah diratifikasi sejak tahun 1958, telah dicoba diakomodir dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2012, yang substansinya dirumuskan mulai dari Pasal 394 sampai dengan Pasal 403. Oleh karena itu apabila RUU KUHP disahkan, maka peradilan nasional dapat mengadili setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum internasional. Dengan kata lain, apabila setiap perbuatan kejahatan perang tersebut dilakukan oleh warga negara Indonesia atau terjadi di Indonesia tidak perlu menunggu peradilan pidana internasional mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat seperti yang diatur dalam Statuta Roma. Kemudian mengenai kejahatan agresi tidak disebutkan pengertian atau batas-batasannya dalam Statuta Roma 1998, karena ketika perumusan Statuta Roma 1998 dilaksanakan telah terjadi perdebatan mengenai batas pengertiannya dan elemen-elemen kejahatan agresi, dan ketika itu berkembang pandangan berupa: the crimes aggression” adalah the mother of crimes, karena dengan dilakukannya agresi menimbulkan kejahatan-kejahatan lain yang mengikutinya5 . Oleh karena itu setelah 7 (tujuh) tahun kemungkinan dapat dilakukan amandemen, dengan syarat harus mendapat persetujuan dua pertiga dari anggota majelis. 2. Bentuk Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukum Pidana Internasional Mengenai bentuk kerjasama internasional dalam penegakan hukum pidana internasional, sebagimana disebutkan dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) antara lain seperti ekstradisi (Pasal 16), pemindahan narapidana (Pasal 17), bantuan hukum timbal balik (Pasal 18), penyelidikan bersama (Pasal 19), kerjasama dalam melakukan tehnik-tehnik 5 Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000, hal. viii. 26 penyelidikan khusus (Pasal 20), dan pemindahan proses pidana (Pasal 21). Pasal 27 UNTOC tentang kerjasama penegakan hukum, secara lebih khusus menekankan kerjasama penegakan hukum dalam pelbagai aspek yang lebih bersifat teknis operasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 huruf a sampai dengan f. Hal ini sudah dilakukan oleh Indonesia, terutama oleh Kepolisian Republik Indonesia, baik secara langsung dengan Kepolisian negara- negara sahabat (billateral) ataupun kerjasama melalui INTERPOL/ICPO (International Criminal Police Organisation). Persoalannya adalah, apakah setiap kerjasama antara instansi penegak hukum tersebut sudah dilandasi oleh suatu perjanjian internasional atau tidak ? Pasal 27 ayat 2 UNTOC menekankan kepada negara-negara pihak untuk membuat perjanjian internasional jika belum, atau jika sudah perjanjian tersebut diubah untuk disesuaikan6 . Adapun bentuk kerjasamanya antara lain : 1. Ekstradisi Beberapa asas ektradisi dimuat dalam UNTOC, yaitu asas kejahatan ganda (double criminality - Pasal 16 ayat 1), asas tidak menyerahkan warga negara (non extradition of nations - Pasal 16 ayat 10), asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (non extradition of political criminal – Pasal 16 ayat 14). Selain UNTOC, ekstradisi juga diatur dalam United Nation Model Treaty on Extradition tahun 1990 yang telah banyak dikuti oleh negara- negara lain khususnya dalam membuat perjanjian-perjanjian maupun dalam perundang-undangan ekstradisi. Bagi Indonesia, pelaksanaan ekstradisi didasarkan pada perjanjian bilateral sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi atau dimungkinkan pula atas dasar asas resiprositas yang dianut hukum internasional. Namun bagaimanapun UU No.1 Tahun1979 ini harus disesuaikan, karena tidak/belum memuat ketentuan-ketentuan yang mewajibkan mempercepat prosedur ektradisi dan menyederhanakan persyaratan pembuktian (Pala 8 UNTOC), tidak memuat ketentuan tidak 6 Abdul Fickar Hadjar, Konsepsi Tindak Pidana Transnasional & Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukumnya, Kertas kerja untuk disampaikan pada Rapat Tim Kompendium Hukum Kerjasama Internasional di Bidang Penegakan Hukum, BPHN, tanggal 25 September 2012 27 menyerahkan warga negara (Pasal 10 UNTOC) dan tidak memuat ketentuan berlakunya hukuman terhadap Warga Negara negara yang diminta (Psl 12). 2. Pemindahan Narapidana Tentang pemindahan narapidana, UNTOC hanya menghimbau untuk membuat perjanjian bilateral atau multilateral ataupun peraturan perundang- undangan didalam negara pihak. Sebuah perjanjian internasional yang dapat dijadikan rujukan adalah : Convention On The Transferof Sentenced Persons (1983) antara negara-negara Dewan Eropa (Council of Europe) dan Schengen Convention (Title III Chapter V) (1990) yang merupakan pelengkap dari Konvensi tahun 1983. Perjanjian internasional tentang pemindahan narapidana ini dibuat dengan pertimbangan kemanusiaan, yakni memberikan kesempatan kepada narapidana (asing) yang menjalani hukuman di negara lain untuk menjalani pidana atau sisa hukumannya di negara sendiri. Namun narapidana (asing) itu juga harus dihormati pilihannya untuk melaksanakan hukuman di negara lain atau di negaranya sendiri. Di Indonesia mengenai pemindahan diatur dalam Undang-Undang seperti KUHAP, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana. Meski tidak satu pasalpun secara eksplisit mengatur pemindahan narapidana, namun semua undang-undang itu pun tidak melarang untuk melakukan perjanjian kerjasama pemindahan narapidana seperti yang dihimbau UNTOC. 3. Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam hal bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters) dalam konteks negara-negara ASEAN (Brunai Darussalam, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Pilipina, Singapore dan Vietnam) telah ditanda tangani sebuah perjanjian: “Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters” di Kuala Lumpur pada tanggal 20 Nopember 2004. Miyanmar telah menjadi pihak dalam ASEAN Treaty on MLA itu pada bulan Desember 2009. Tinggal hanya Thailand yang belum menjadi pihak dalam Treaty ini. 28 Di dalam negeri, Indonesia telah mempunyai undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Jika dibandingkan antar ketentuan tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana UNTOC dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 memang ada ketentuan yang sama dan ada pula kekosongan di pihak yang satu ataupun lainnya. 4. Penyelidikan Bersama Pasal 19 UNTOC mengamanatkan kewajiban kepada negara-negara pihak untuk mempertimbangkan perjanjian billateral atau multilateral ataupun pengaturan tentang subjek dari penyelidikan, penuntutan atau proses peradilan di satu atau lebih negara. Pilihan membuat atau tidak membuat perjanjian sepenuhnya menjadi hak dari negara pihak, yang jikapun ada suatu kasus, para pihak masih dapat melakukan kerjasama kasus per kasus. Hukum Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ataupun UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak mengatur secara tegas tentang kemungkinan untuk melakukan penyelidikan bersama sebagaimana diamantkan UNTOC. Akan tetapi ketiga UU itupun tidak melarang. Dengan kata lin memberikan kemungkinan untuk melakukan erjasama internasional tersebut. 5. Kerjasama Melakukan Teknik-Teknik Penyelidikan Khusus Mengenai teknik penyelidikan khusus sebagaimana diamanatkan UNTOC, dalam peraturan perundang-undangan Indonesia terutama dalam undang- undang diluar KUHP sudah banyak yang mengaturnya, seperti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor Tahun 2009 tentang Narkotika. Jadi tentang teknik penyelidikan khusus ini sudah dapat dijadikan dasar untuk membuat 29 perjanjian-perjanjian internasional dalam penegakan hukum pidana transnasional. 6. Pemindahan Proses Pidana Pemindahan proses pidana ini merupakan pemindahan orang yang diduga, disangka ataupun didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dalam UNTOC ke negara pihak yang dipandang sebagai negara yang paling tepat dan efektif dalam melaksanakan penuntutan dan peradilannya. Tentu saja pemindahan ini sekaligus dengan barang-barang buktinya khususnya benda bergerak. Dengan demikian, proses penuntutan dan peradilannya dipusatkan pada negara pihak yang bersangkutan. Hukum Indonesia dalam hal ini KUHAP ataupun perundang-undangan lainnya tidak mengatur masalah pemindahan proses pidana ini, Namun Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara eksplisit memungkinkan untuk dilakukan pemindahan proses pidana ini. D. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dalam penegakan hukum pidana internasional khususnya pelanggaran Hak Asasi Manusia antara lain : Ekstradisi, Pemindahan Narapidana, Bantuan Hukum Timbal Balik, Penyelidikan Bersama, Kerjasama melakukan Teknik-teknik Penyelidikan Khusus, dan Pemindahan Proses Pidana. 2. Saran Pemerintah perlu segera mengakomodir bentuk kerjasama penegakan hukum pidana internasional tersebut dalam sebuah undang-undang atau perjanjian khusus dengan negara-negara di dunia demi tegaknya hukum dan keadilan. 30 DAFTAR PUSTAKA Buku : Jerry Fowler, Kata Pengantar Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional: KeadilanBagi Generasi Mendatang, Dalam Statuta Roma, Elsam, Jakarta, 2000. United Nations, “A More Secured World”: Our Shared Responsibility; Reports of The Secretary-General’s High-level Panel on Threats,Challenges and Change; 2004. Makalah : Abdul Fickar Hadjar, Konsepsi Tindak Pidana Transnasional & Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukumnya, Kertas kerja untuk disampaikan pada Rapat Tim Kompendium Hukum Kerjasama Internasional di Bidang Penegakan Hukum, BPHN, 2012. Romli Atmasasmita, Hukum Pidana Internasional Dan Hukum Hak Asasi Manusia, Makalah disajikan dalam Pelatihan Hukum HAM yang diselenggarakan Oleh PUSHAM UII Yogyakarta, 2005. Peraturan Perundang-undangan : Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 2012 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNTOC Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan & PemberantasanTindak Pidana Pencucian Uang Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Undang-undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi 31 Undang-undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Website : Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas University Press, Padang, 2006, hal 56. Diakses dari www.google.co.id/jurnalpidanainternasional pada tanggal 18 Oktober 2012

yang terbaik

No whatsapp jasa karya ilmiah Universitas Terbuka

Untuk no whatsapp nya ganti di 085293796340 Untuk testimoni ada di galeri. Untuk yg lain2 gak tak post krna sdh mulai di rame pembahasan ter...