INISIASI V III
Karakteristik Manajemen Risiko yang Baik
Untuk
dapat mempelajari manajemen risiko yang baik terlebih dahulu kita melihat salah
satu contoh kegagalan dalam mengelola risiko yang menyebabkan kebangkrutan
suatu institusi. Berikut ceritanya:
Baring
Bank
Baring bank dikenal sebagai bank yang
konservatif, dengan umur sekitar 233 tahun, dengan salah sartu nasabahnya
adalah ARu Elizabeth. Tetapi pada tahun
1995, seorang trader-nya Nick Leeson praktis secara individual
membangkrutkan bank tersebut. Bagaimana
hal tersebut terjadi.
Nick Leeson berasal dari Inggris, mempunyai
kualifikasi yang biasa-biasa saja. Tetapi pada tahun 1980-an ia rnemperoleh
pekerjaan di Bank Coutts, yang kemudian berpindah-pindah sampai akhimya bekerja
di Baring Bank. Di
Baring, dia dengan cepat dipromosikan sebagai trader.
Kemudian ia ditunjuk menjadi Manajer
untuk operasi yang baru di pasar futures SIMEX (Singapore Monetary Exchange), Singapura. Pada mulanya, kegiatannya
menghasilkan keuntungan yang cukup besar, sehingga atasannya mempercayainya.
Hidupnya juga cukup menyenangkan, dengan gaji 50.000 pound sterling, dengan
bonus menncapai 150.000 poundsterling, weekend di tempat eksotis, apartemen yang modem, pesta.
Leeson
memegang dua fungsi sekaligus di Baring Singapura yaitu fungsi pencatatan (back office) dan fungsi trading (front-office). Di Singapura, Baring mencatat setiap transaksi futuresnya, yang kemudian dikomunikasikan
ke SIMEX. Jika terjadi perbedaan, maka Baring harus memasukkan posisi baru untuk
menyamakan catatan antara keduanya. Kerugian atau keuntungan yang terjadi
dimasukkan ke dalam rekening 99905. Masalahnya komputer SIMEX seringkali
terjadi crash, sehingga Baring tidak tahu persis posisinya saat
itu. Aktivitas pada rekening 99905 menjadi runyam, tidak mulus. Padahal
rekening tersebut dilaporkan setiap hari ke kantor pusat di London. Pada
tanggal 3-Juli-1992, Gordon Bowser, pimpinan setelmen futures dan opsi di kantor London memutuskan bahwa software di London tidak bisa lagi menangani kekacauan dan
kesalahan yang terjadi di Singapura, karena komputer yang crash. Karena
itu dia menyarankan Leeson untuk tidak lagi memberikan informasi mengenai
kesalahan kecil. Leeson kemudian menjawab bahwa dia akan membuat rekening baru untuk
menampung kesalahan keccil tersebut. Rekening tersebut dinamai rekening 88888,
angka 8 dipilih karena merupakan angka favorit sekretarisnya, kemudian lima
kali dipilih karena rekening di SIMEX menggunakan lima digit.
Karena dia rnemegang rekening 88888, maka persoalan mulai muncul. Pada
mulanya ia mencatat kerugian kecil ke rekening 88888 tersebut. Dia seringkali
memasukkan uang dari klien yang masuk ke rekening tersebut dengan tujuan untuk
menutup kerugian yang terjadi sementara. Tetapi karena dia terlalu agresif melakukan
trading, kerugian-kerugian yang terjadi
diakumulasi di rekening 88888, dan menjadi semakin besar. Pada musim fall
1993, kerugian yang disernbooyikan
tersebut rneneapai 5,5 juta pondsterling. Dia harus memperoleh tambahan kas untuk
menutup kerugian tersebut.
Dia kemudian mulai melakukan trading
yaitu
melakukan arbitrase antara kontrak futures Osaka (Jepang) dengan Singapura. Kantor London mengira bahwa transaksi
di dua tempat tersebut membutuhkan dua kali pernbayaran margin, padahal SIMEX
mensyaratkan pembayaran margin atas
posisi bersih (netting of margin). Dengan demikian kantor London
mengirirnkan uang lebih banyak dari yang seharusnya kepada Leeson. Sebagian digunakan
untuk trading, sebagian
lagi ditaruh di rekening 88888.
Perdagangan arbitrase tersebut nampaknya cukup
menguntungkan dengan risiko yang rendah. Sebagai contoh, pada tahun 1994,
auditor Baring yang me-review operasi di Singapura mengatakan "Sukses
kegiatan arbitrase di Singapura nampaknya dicapai tanpa menaikkan eksposur
terhadap indeks Nikkei 225". Pada tahun sebelumnya, Leeson memperoleh laba
sekitar 10 juta poundsterling, sekitar 10% dari total laba bank tahun itu.
Situasi tersebut nampaknya semakin rneningkatkan kepercayaan terhadap Leeson.
Pada akhir tahun 1994, kerugian dari rekening 88881 mencapai $512 juta. Leeson tetap bebas karena dia
memegang pencatatan rekening tersebut dan melakukan perdagangan. Jika kantor London
tidak mengawasinya dengan ketat, maka kerugian tidak akan pemah ketahuan.
Untuk menutup kerugian, Leeson harus memperoleh kas
untuk membayar margin dari futures-nya. la kemudian mulai menjual opsi put dan call sekaligus
dengan harga eksekusi sama, pada indeks Nikkei 225. Posisi tersebut dinamakan
sebagai short straddle, seperti pada bagan berikut ini
|
17,000
|
19,000
|
21,000
|
||||||
-3000
|
|||||||||
Melalui posisi tersebut dia memperoleh
pembayaran premi opsi dua kali, yaitu dari menjual opsi call dan menjual opsi put. Kunci
suksesnya adalah harga saham Nikkei tidak banyak berubah. Nikkei bergerak naik
atau turun dari 19.000, maka straddle tersebut akan memperoleh kerugian yang
signifikan.
Pada bulan Januari 1995, gempa bumi dahsyat
melanda Kobe, menewaskan 5.000 orang Indeks Nikkei turun menjadi 17.785. Leeson
menghadapi kesulitan besar, karena dia akan membayar jumlah uang yang besar
karena dia sudah menjual opsi put Nikkei. Kemudian dia membeli
Nikkei, long, sebanyak 55.399 kontrak yang akan jatuh tempo pada bulan Mei.
Sepertinya dia panik, dan ingin menggerakkan pasar Nikkei agar bisa naik.
Tetapi hal tersebut tidak cukup.
Pada akhimya Baring merugi sekitar $1,3 juta. Sekitar tiga perempat
dari kerugian datang dari kontrak futures yang terakhir tersebut. Pada saat itu Nick Leeson sudah menghilang. Dia
mengirimkan faks dari hotelnya di Kuala Lurnpur mengatakan 'My
sincere apologie. predicament that I have left on you' (Maaf atas kesulitan yang saya tinggalkan untuk
anda). Kemudian dia menandatanganinya ”Apologies, Nick’. Nick Leeson akhirnya tertangkap di Jerman dan dikirimkan balik ke
Singapura untuk diadili disana. Dia
dihukum 6,5 tahun karena perbuatannya tersebut.
(sumber buku Manajemen Risiko Dr. Mamduh M. Hanfi)
Materi Diskusi
Coba teman-Teman kaji mengenia
penyebab permasalahan yang terjadi pada Baring Bank. Dan sampaikan melalui
forum diskusi atas semua pendapat dari teman-teman.
Manajemen Risiko yang Baik.
Manajemen risiko yang baik bila
telah mencakup tiga hal-hal berikut ini Yaitu
- Formal dan sistematis, Formal berarti kegiatan manajemen risiko
dilakukan secara “resmi” oleh organisasi dengan tujuan tertentu dan
mendapat dukungan dari Top Manajemen.
- Terintegrasi, Terintegrasi menunjukkan bahwa kegiatan tersebut
menyatu dengan kegiatan lain dalam organisasi, khususnya kegiatan lini
dari suatu organisasi. Hal ini
dikarenakan dalam suatu institusi atau unit usaha, suatu unit tidak dapat
berdiri sendiri tetapi terkait dengan unit lain.
- Komprehensif. Komprehensif menunjukkan bahwa manajemen risiko
bukan merupakan kegiatan parsial, tetapi kegiatan yang menyeluruh.
Kegiatan manajemen risiko bukan hanya pekerjaan manajer risiko, tetapi
juga merupakan pekerjaan manajer lini. Kegiatan manajer risiko tidak hanya
dilakukan oleh bagian tertentu saja dari suatu organisasi dengan paradigma
yang terpisah, misal oleh manajer keuangan yang mengasuransikan bangunan
atau pabrik, tetapi dilakukan dengan kerangka yang komprehensif.
Lebih spesik lagi, manajemen
Risiko yang baik mencakup elemen-elemen berikut ini:
1. Memahami Bisnis Perusahaan
Memahami bisnis perusahaan
merupakan salah satu kunci keberhasilan manajemen risiko perusahaan. Tanggung
jawab tersebut tidak hanya ada di pundak direksi atau manajer, tetapi juga
semua anggota organisasi. Semuanya harus menyadari bahwa pekerjaannya akan
berpengaruh terhadap risiko organisasi, dan pekerjaannya berkaitan dengan
fungsi lainnya dalam suatu organisasi.
Dengan memahami bisnis perusahaan diharapkan seluruh potensi yang dapat
menyebabkan kerguan (risiko) dapat teridentifikasi dengan baik. Disamping itu dengan memahami bisnis
perusahaan termasuk didalamnya budaya organisasi dan karakteristik dari
organisasi dapat mendorong terciptanya konsep manajemen risiko yang sesuai pada
perusahaan tersebut serta dapat diimplmentasikan dengan baik.
2.
Formal dan Terintegrasi
Untuk pengelolaan risiko yang
efektif, perusahaan harus membuat manajemen risiko yang formal, yang merupakan
upaya khusus, yang didukung oleh organisasi (manajemen puncak). Pada kondisi seperti ini keterlibatan seluruh
karyawan menjadi suatu kewajiban dan juga mengigat dalam lingkup unit usahan
atau perusahaan manajemen risiko memerlukan sistem dan prosedure yang baku yang
didukung infrastruktur dan SDM. Secara singkat, manajemen risiko
formal tersebut mencakup:
- Infrastruktur keras: ruang kerja,
struktur organisasi, komputer, model statistic, dsb
- Infrastruktur lunak: budaya
kehati-hatian, organisasi yang responsif terhadap risiko, dsb
- Proses Manajemen Risiko: identifikasi,
pengukuran, dan pengelolaan risiko
Disamping pengelolaan risiko
secara formal, risiko perlu dikelola secara integratif. Tabel berikut ini menyajikan perbandingan antara paradigma manajemen
risiko lama dengan yang baru.
Paradigma Lama
|
Paradigma Baru
|
§
Pengelolaan
risiko dilakukan secara terpisah oleh masing-masing departemen atau fungsi.
Perhatian lebih pada akuntansi, audit internal
§
Ad-hoc:
manajemen risiko dilakukan jika manajer merasa perlu untuk melakukannya
§
Fokus yang
lebih sempit: terutama memfokuskan pada risiko yang diasuransikan dan risiko
keuangan
|
§
Terintegrasi:
manajemen risiko dikoordinasikan oleh eksekutif level puncak, setiap orang
melihat manajemen risiko sebagai bagian dari pekerjaan mereka
§ Terus menerus: manajemen risiko merupakan proses
yang berkelanjutan
§ Fokus Luas: semua risiko bisnis dan kesempatan
bisnis diperhatikan
|
Manajemen risiko terintegrasi
mempunyai keuntungan seperti lebih menyeluruh (semua risiko dilihat), biaya
pendanaan risiko lebih kecil (misal premi asuransi menjadi lebih murah), dan
menghilangkan ketidakkonsistenan antar bagian dalam organisasi. Untuk mencapai
manajemen risiko yang terintegrasi secara formal, perusahaan bisa melakukan
langkah berikut ini:
- Mengidentifikasi semua risiko,
meranking risiko tersebut (prioritisasi risiko).
- Beberapa perusahaan menggunakan sesi
brainstorming gabungan antara manajer perusahaan dengan konsultan untuk
mengidentifikasi semua risiko. Langkah berikutnya adalah meranking risiko
tersebut sehingga bisa dilihat urutan prioritasnya. Manajer dalam hal ini
bisa diminta untuk memberi ranking risiko-risiko yang diidentifikasi
dengan menggunakan dimensi tertentu (misal severity).
- Menghitung probabilatas dan dampak
risiko tersebut secara kuantitatif. Pendekatan kuantitatif tersebut
memungkinkan perusahaan menghitung dampak tersebut lebih akurat, meskipun
tidak semua risiko bisa dikuantitatifkan.
- Menggunakan ukuran risiko yang
terintegrasi dan mudah dipahami oleh organisasi secara keseluruhan. Salah
satu ukuran risiko semacam itu yang cukup popular adalah VAR (Value At Risk). VAR banyak
dibicarakan dalam buku ini.
- Melihat ketidakkonsistenan antar bagian, melihat efek
diversifikasi risiko-risiko yang ada di perusahaan, sekaligus melihat
kesempatan untuk penghematan dalam pendanaan risiko.
3.
Mengembangkan Infrastruktur Risiko
Dalam pelaksanaannya manajemen
risiko yang efektif perlu didukung sistem prosedure baku yang tercermin dalam
struktur organisasi beserta tugas dan fungsinya. Disamping itu ketersediaan prasarana dan
sarana menjadi suatu kebutuhan wajib yang harus dipenuhi termasuk didalamnya
pengembangan SDM terkait dengan fungsi dari
manajemen risiko tersebut
4.
Menetapkan Mekanisme Kontrol
Dengan tersedianya suatu sistem
dan prosedur baku, manajemen risiko mampu menjalankan fungsi pengendalian yang
baik, dimana mekanisme saling mengontrol bisa terjadi. Dengan mekanisme
tersebut, tidak ada orang yang mempunyai kekuasaan yang berlebihan untuk
mengambil risiko atas nama perusahaan.
Logika semacam itu barangkali
bisa disamakan dengan logika diversifikasi. Dalam diversifikasi, aset
didiversifikasikan sehingga ada mekanisme saling mengkompensasi. Jika ada satu
aset mengalami kerugian, ada aset lain yang mengalami keuntungan, sehingga
kerugian pada satu aset akan dikompensasi oleh keuntungan dari aset lainnya.
Konsentrasi yang berlebihan pada satu aset tidak diinginkan karena menghalangi
efek diversifikasi tersebut.
5.
Menetapkan batas (limits)
Dalam menjalankan mekanisme
kontrol, perlu juga diterapkan mekanisme dimana dimungkinkan suatu bentuk
pengendalian yang dapat berupa penentuan batas (limits).Dengan adanya limit
(batasan) ini, manajer dapat menentukan
batas kendali yang dimiliki sehingga mereka tahu kapan bisa/harus jalan dan
kapan harus berhenti. Keputusan bisnis bisa diumpamakan sebagai gas, sedangkan
manajemen risiko bisa diumpamakan sebagai rem. Jika manajemen risiko tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, maka perusahaan bisa diumpamakan seperti mobil
yang melaju kencang tanpa ada rem.
Penetapan batas akan
tergantung dari tipe risikonya. Sebagai contoh, untuk risiko pasar, batas
risiko barangkali VAR maksimum tertentu, pembatasan pada jenis instrumen yang
bisa diperdagangkan, kualifikasi trader, durasi, batas untuk stop-loss (jika
kerugian mencapai batas tertentu, maka posisi dijual, untuk mencegah kerugian
yang semakin membesar). Untuk risiko kredit, pembatasan mencakup antara lain,
konsentrasi kredit pada nasabah, sektor tertentu, atau negara tertentu, tingkat
risiko dari calon nasabah.Untuk risiko operasional, batas risiko mencakup
antara lain standar kualitas minimum (misal jumlah maksimum kesalahan yang bisa
ditolerir) untuk operasi, sistem, dan proses.
Disamping itu, penetapan batas
bisa diperluas untuk mengendalikan risiko bisnis. Sebagai contoh, perusahaan
bisa menetapkan prosedur dan mekanisme fungsi-fungsi perusahaan, seperti
menetapkan prosedur yang standar untuk rekrutmen (kualifikasi minimum,
investigasi latar belakangnya, dsb), disclosure (pengungkapan) produk, hukuman
dan kompensasi jika pegawai perusahaan melakukan pelanggaran atau menerapkan
perilaku manajemen risiko tertentu.
6.
Fokus Pada Aliran Kas
Aliran kas yang seharusnya
menjadi perhatian perusahaan. Banyak kejahatan atau pelanggaran yang pada
dasarnya ingin mengambil kas dari perusahaan. Karena itu manajemen risiko yang
baik harus bisa melakukan pengawasan yang memadai terhadap kas perusahaan.
Pengawasan tersebut bisa merupakan pengawasan yang sederhana, misal adanya
otorisasi untuk setiap cek yang dikeluarkan, atau untuk transfer uang. Mekanisme
pengawasan yang lain adalah pengecekan konsistensi antara transaksi kas dengan
posisi kas.
Banyak contoh dimana kegagalan
mengawasi kas bisa menimbulkan masalah. Sebagai contoh, Enron mencatat laba
bersih sebesar $3,3 milyar selama lima tahun 1996-2000. Pada periode yang sama, Enron hanya melaporkan $114 juta kas yang
diterima, hanya 3 persen dari laba bersih. Sepertinya dibutuhkan waktu yang
terlalu lama bagi Enron untuk merubah labanya menjadi kas. Periode yang terlalu
lama tersebut bisa menjadi indikator ada sesuatu yang salah yang terjadi pada
perusahaan. Pada akhirnya, terbukti bahwa Enron melakukan manipulasi catatan
akuntansi sehingga penjualan yang dilaporkan, dan laba yang diperoleh, terlalu
tinggi dari yang sebenarnya. Investor akhirnya tidak percaya lagi dengan Enron.
Enron pada akhirnya mengalami kebangkrutan karena tidak ada lagi investor yang
mau memberi dana pada Enron, sehingga kewajibannya tidak bisa dibayar.
7.
Sistem Insentif Yang Tepat
Seringkali risiko yang timbul terkait denga penyalahgunaan
wewenang yang dimiliki. Untuk itu dalam
rangka pengendalian karyawan disamping dituntut untuk dapat diciptakna suatu
mekanisme control dan pengendalian yang baik, juga diperlukan suatu bentuk
system pengahargaan. Dengan sistem ini
kesejahteraan secara umum relah terpenuhi dan selanjutnya dapat mendorong
tumbuhnya budaya profesional yang dapat menurunkan tumbuhnya keiingian dalam
penyalanggunana wewenang.
Sistem insentif yang tepat
akan membuat seseorang berperilaku tertentu. Sebagai contoh, jika kita ingin
mendisiplinkan karyawan, kita bisa membuat sistem insentif yang menghargai
kedisiplinan dan menghukum ketidaksiplinan. Karyawan yang disiplin diberi
bonus, karyawan yang tidak disiplin dipotong bonusnya. Sama halnya dengan
membangun perilaku kesadaran risiko. Sistem insentif juga bisa digunakan untuk
merubah perilaku seseorang agar menjadi lebih sadar akan risiko. Sebagai
contoh, Chase menggunakan Shareholders Valua Added (SVA) sebagai cara untuk mendorong perilaku sadar risiko. Manajer
Chase akan dinilai berdasarkan SVA yang mereka ciptakan. SVA dihitung sebagai
berikut ini:
SVA = Pendapatan operasional –
Beban untuk modal
Beban untuk modal dihitung
berdasarkan risiko dari modal tersebut. Sebagai contoh, jika manajer
menggunakan modal untuk kegiatan yang berisiko, maka beban modal akan lebih
besar, sesuai dengan risiko yang lebih tinggi tersebut. Melalui cara tersebut,
risiko dikaitkan dengan kinerja. Jika manajer melakukan aktivitas yang
berisiko, maka ia harus bisa menghasilkan keuntungan yang lebih besar untuk
mengkompensasi risiko tersebut.
Jika manajer dibebani dengan
target penjualan, tanpa memperhitungkan risiko, maka manajer akan selalu
berusaha meningkatkan penjualan. Ada kemungkinan besar bahwa risiko perusahaan
dalam situasi tersebut akan meningkat, karena secara umum ada hubungan positif
antara risiko dengan tingkat keuntungan (termasuk penjualan). Manajer akan
memasuki wilayah yang lebih berisiko karena mengejar target penjualan tersebut.
Perusahaan harus bisa
memberikan target yang realistis. Sebagai contoh, jika perusahaan menetapkan
target pertumbuhan penjualan sebesar 25% ketika rata-rata industri hanya
mempunyai pertumbuhan penjualan sebesar 5%, maka target semacam itu cenderung
mendorong perilaku yang berisiko tinggi. Sistem insentif yang tidak tepat
merupakan akar permasalahan dari banyak kasus manajemen risiko.
8.
Mengembangkan Budaya Sadar Risiko
Selama ini pembicaraan dalam
modul ini lebih banyak membicarakan sisi ‘keras’ (hard side) dari manajemen risiko. Kita membicarakan pengukuran risiko secara
kuantitatif, manajemen risiko dengan instrument yang serba kuantitatif
(derivative, asuransi, dsb), struktur organisasi, dan semacamnya. Sisi keras
tersebut diharapkan bisa mendorong perilaku sadar risiko dari anggota organisasi.
Disamping sisi keras tersebut, perlu diperhatikan juga sisi lunak (soft-side) dari manajemen risiko. Sisi lunak tersebut akan terlihat pada budaya
yang lebih sadar akan risiko dari anggota organisasi. Mendorong sisi lunak
tersebut bisa dilakukan melalui antara lain:
- Menetapkan suasana keseluruhan (setting
the tone) yang kondusif untuk perilaku yang berhati-hati, mulai dari atas
dengan menunjukkan komitmen dari manajemen puncak.
- Menetapkan prinsip-prinsip manajemen
risiko yang bisa mengarahkan budaya, perilaku, dan nilai risiko dari
organisasi
- Mendorong komunikasi yang terbuka untuk
mendiskusikan isu risiko, dampak risiko tersebut, belajar bersama dari
kejadian-kejadian di perusahaan atau di perusahaan lain.
- Memberikan program pelatihan dan
pengembangan yang berkaitan dengan manajemen risiko
- Mendorong perilaku yang mendukung
manajemen risiko melalui evaluasi dan sistem insentif yang sesuai
Selamat belajar
Sumber
buku BMP manajemen risiko dan Manajemen Risiko karya Mamduh M Hanafi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar